Kamis, 05 Juli 2018

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

http://www.pa-kudus.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=518:kedudukan-

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”

1. kedudukan dan kewenangan pengadilan agama

 Dasar Kedudukan Pengadilan Agama
UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan :
�Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu yang diatur dalam undang-undang ini�.
Pasal 3 UU Peradilan Agama tersebut menyatakan :
1)      Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh
a)       Pengadilan Agama
b)      Pengadilan Tinggi Agama
2)      Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
2.      Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama
a. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama
Sebagai peradilan khusus, Pengadilan Agama mempunyai tugas dan kewenangan tertentu seperti tersebut pada Pasal 49  UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, yang menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam di bidang :
1)      Perkawinan
2)      Kewarisan
3)      Wasiat
4)      Hibah
5)      Wakaf
6)      Zakat
7)      Infaq
8)      Shodaqoh
9)      Ekonomi Syari�ah
b.      Jenis-jenis Perkara yang Menjadi Kewenangan Pengadilan Agama
1)      Perkawinan
Bidang hukum Perkawinan atau hukum keluarga meliputi perkara-perkara :
a)       Ijin poligami beserta penetapan harta dalam perkawinan poligami.
b)      Ijin kawin apabila orang tua calon suami/ isteri tidak mengijinkan sementara calon suami/ isteri di bawah usia 21 tahun.
c)       Dispensasi kawin bagi calon suami/ isteri yang beragama Islam dan belum mencapai usia 19 dan 16 tahun.
d)      Penetapan wali adlol jika wali calon isteri menolak menikahkannya.
e)       Permohonan pencabutan penolakan perkawinan oleh KUA.
f)       Permohonan pencegahan perkawinan.
g)      Pembatalan perkawinan.
h)      Permohonan pengesahan nikah/ istibat nikah.
i)        Pembatalan penolakan perkawinan campuran (perkawinan antar warga negara yang berbeda).
j)        Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri.
k)      Cerai talak (perceraian yang diajukan suami).
l)        Cerai gugat (perceraian yang diajukan isteri).
m)    Talak khuluk (perceraian yang diajukan oleh isteri dengan membayar tebusan kepada suami).
n)      Li�an  yaitu cerai talak atas dasar alasan isteri berzina dengan pembuktian beradu sumpah antara suami isteri.
o)      Syiqaq yaitu cerai gugat atas dasar alasan perselisihan suami isteri dengan penunjukan hakam (juru damai) dari keluarga kedua belah pihak.
p)      Kewajiban nafkah dan mut�ah bagi bekas isteri.
q)      Gugatan harta bersama termasuk hutang untuk kepentingan keluarga.
r)        Gugatan penyangkalan anak.
s)       Permohonan/ gugatan pengakuan anak.
t)        Gugatan hak pemeliharaan anak.
u)      Gugatan nafkah anak.
v)      Permohonan pencabutan kekuasaan orang tua terhadap pemeliharaan anak.
w)    Permohonan perwalian.
x)      Gugatan pencabutan kekuasaan wali.
y)      Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasannya.
z)       Pengangkatan anak oleh WNI yang beragama Islam terhadap anak WNI yang beragama Islam.
2)      Kewarisan
a)       Permohonan penetapan ahli waris dan bagiannya masing-masing.
b)      Gugatan waris.
c)       Akta dibawah tangan mengenai keahli warisan.
d)      Akta komparasi tentang pembagian harta waris di luar sengketa.
3)      Wasiat
a)       Gugatan pengesahan wasiat.
b)      Gugatan pelaksanaan wasiat.
c)       Gugatan pembatalan wasiat.
4)      Hibah
a)       Gugatan pengesahan hibah.
b)      Gugatan pembatalan hibah.
5)      Wakaf
a)       Sengketa sah tidaknya wakaf.
b)      Sengketa pengelolaan harta wakaf.
c)       Sengketa keabsahan dan kewenangan nadlir wakaf.
d)      Gugatan sengketa wakaf oleh kelompok (class action).
6)      Zakat, Infaq, dan Shadaqah
a)       Sengketa antara Muzakki dengan BAZIZ.
b)      Sengketa antara Pejabat pengawas dengan BAZIZ.
c)       Sengketa antara Mustahik dengan BAZIZ.
d)      Sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan  baik sendiri maupun class action dengan BAZIZ.
7)      Ekonomi Syariah
Hukum Acara Yang Berlaku di Peradilan Agama
Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan :
�Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini�.
2. tugas peradilan agama


Tugas Pokok dan Fungsi Peradilan Agama


Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara  yang diajukan kepadanya, termasuk didalamnya menyelesaikan perkara voluntair.
 Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata tertentu  dan mengenai golongan rakyat tertentu.  Dalam struktur 0rganisasi Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Tugas-tugas lain Pengadilan Agama  ialah :
  1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam kepada instansi Pemerintah didaerah hukumnya apabila diminta.
  2. Melaksanakan hisab dan rukyatul hilal.
  3. Melaksanakan tugas-tugas lain pelayanan seperti pelayanan riset/penelitian, pengawasan terhadap penasehat hukum dan sebagainya.
  4. Menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beraga Islam.
Dengan demikian, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk menyelesaikan semua masalah dan sengketa yang termasuk di bidang perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah, infaq, shadaqah,  dan ekonomi syariah.
Fungsi:
  1. Melakukan pembinaan terhadap pejabat strykturan dan fungsional dan pegawai lainnya baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum
  2. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya (pasal 53 ayat 1 dan 2, UU No.3 Tahun 2006)
  3. Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman
3. jelaskan asas personalitas ke islaman uu no. 7 1989 di ubah dengan uu no.3 tahu 2003 dan perubahan ke- 2 dengan uu no.50 tahun 2009 huku acara peradilan agama


a.      Azas-azas Hukum Acara Peradilan Agama
1)   Azas Personalitas Keislaman
Arti azas personalitas keislaman adalah orang yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya  pemeluk agama Islam. Penganut agama lain di luar Islam tidak tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.
Asal personalitas keislaman diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009. Ketundukan personalitas muslim kepada lingkungan Peradilan Agama, �bukan� ketundukan yang bersifat umum meliputi semua bidang hukum perdata, tetapi ketundukan personalitas muslim kepadanya, hanya bersifat �khusus� sepanjang bidang hukum �tertentu�.
Dalam azas personalitas keislaman yang melekat pada UU Peradilan Agama tersebut, dijumpai beberapa penegasan yang melekat membarengi azas dimaksud :
a)       Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam.
b)      Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah, dan ekonomi syari�ah.
c)       Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasar hukum Islam, sengketanya tidak tunduk menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Misalnya, hubungan hukum ikatan perkawinan antara suami isteri adalah hukum Barat. Sekalipun suami isteri beragama Islam, azas personalitas keislaman mereka ditiadakan oleh landasan hubungan hukum yang mendasari perkawinan. Oleh karena itu, sengketa perkawinan yang terjadi antara mereka tidak tunduk menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tapi jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
2)      Azas Wajib Mendamaikan Terutama dalam Perkara Perceraian
Azas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan dengan tuntutan dan ajaran Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan islah (fa aslihu baina akhwaikum). Sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian. Dalam suatu putusan yang bagaimanapun adilnya, pasti harus ada pihak yang �dikalahkan� dan �dimenangkan�. Tidak mungkin kedua pihak sama-sama dimenangkan atau sama-sama dikalahkan. Seadil-adilnya putusan yang dijatuhkan Hakim, akan tetap dirasa tidak adil oleh pihak yang kalah. Bagaimanapun zalimnya putusan yang dijatuhkan, akan dianggap dan dirasa adil oleh pihak yang menang. Lain halnya dengan perdamaian, hasil perdamaian yang tulus berdasar kesadaran bersama dari pihak yang bersengketa, terbebas dari kualifikasi �menang� dan �kalah�. Mereka sama-sama menang dan sama-sama kalah. Sehingga kedua belah pihak pulih dalam suasana rukun dan persaudaraan, tidak dibebani dendan kesumat yang berkepanjangan.
Usaha perdamaian dalam sengketa perceraian menurut Pasal 82 UU Peradilan Agama, harus dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan selama perkara belum diputuskan.
Berdasakan Pasal 130 HIR, Majelis Hakim wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara sebelum memulai pemeriksaan perkara. Untuk mengimplementasikan pasal ini, para pihak diwajibkan menempuh proses mediasi di luar sidang yang teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi.
Dalam perkara perceraian (tentang status), jika mediasi berhasil dan para pihak telah  damai, maka pihak penggugat atau pemohon harus mencabut perkaranya. Dalam perkara sengketa harta benda, jika mediasi berhasil dan para pihak mencapai perdamaian, maka dibuatlah akta dading dan Majelis menjatuhkan putusan perdamaian.
Dengan dicapai perdamaian antara suami isteri dalam sengketa perceraian, bukan hanya keutuhan ikatan perkawinan saja dapat diselamatkan, tetapi sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan anak-anak secara normal. Kerukunan antara keluarga kedua belah pihak dapat berlanjut. Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah tangga. Suami isteri dapat terhindar dari gangguan pergaulan sosial kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak terhindar dari perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup. Memperhatikan itu semua, upaya mendamaikan sengketa perceraian, merupakan kegiatan yang terpuji dan lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di bidang yang lain.
3)      Azas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, diatur pada Pasal 57 ayat 3 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman : �Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan�.
Maksud dari pengertian azas ini dipertegas dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi : �Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan �sederhana� adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan �biaya ringan� adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Prosedur dan proses hukum acara perdata dalam RV sangat berbelit-belit dengan ssitem �dag vaarding� atau �schriijtelijke procedur� dan sistem �procureur� (procureur stelling) atau �verplichte rechtbijstand� dengan berbagai bentuk putusan sela atau interlocuter vonnis. Tanpa bantuan advokat atau pengacara, tidak mungkin seorang dapat membela dan mempertahankan hak dan kepentingannya. Semua proses pemeriksaan mesti secara tertulis. Lain halnya dengan hukum acara perdata yang diatur dalam HIR atau R.BG. Prosedur dan prosesnya sangat sederhana dengan sistem langsung secara lisan atau �mondelinge procedur� dan �onmiddlelijkeheid Van procedure� di persidangan. Tahap pemeriksaan pembuktian tidak memerlukan bentuk-bentuk putusan sela. Kesederhanaan ini yang dipertahankan azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Demikian pula hukum acara mufakat dalam fiqih Islam.
Penerapan azas ini tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesederhanaan, kecepatan pemeriksaan, jangan dimanipulasi untuk membelokkan hukum, kebenaran dan keadilan. Semua harus �tepat� menurut hukum (due to law).
4)      Azas Persidangan Terbuka Untuk Umum Kecuali Pemeriksaan Perkara Perceraian
Pasal 59 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 berbunyi :
a)       Sidang pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain dan jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara persidangan, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.
b)      Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya batal demi hukum.
c)       Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
Penerapan azas persidangan terbuka untuk umum dikecualikan dalam pemeriksaan perkara peerceraian. Mengenai pengecualian ini, Pasal 59 ayat (1) sendiri sudah membuka kemungkinan untuk itu dalam rumusan : �Kecuali apabila Undang-undang menentukan lain�. Hal ini sesuai dengan doktrin hukum yang mengajarkan �lex specialis drogat lex generalis�. Ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum. Keadaan inilah yang diatur dalam Pasal 80 ayat 2 UU Peradilan Agama tersebut jo Pasal 17 UU Nomor 33 PP Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal ini menyampingkan ketentuan azas umum yang diatur Pasal 59 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 04 Tahun 2004 yang berbunyi : �Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup�.
Pelanggaran atas Pasal 33 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 80 ayat 2 UU Peradilan Agama  mengakibatkan pemeriksaan batal demi hukum. Sebab nilai yang terkandung dalam ketentuan itu menyangkut azas ketertiban umum atau orde publik, oleh karena itu dia mutlak bersifat �imperatif�. Satu-satunya cara yang dapat dibenarkan hukum untuk pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, hanya menjangkau selama proses pemeriksaan saja. Penerapannya, hanya meliputi proses pemeriksaan jawab-menjawab, pemeriksaan pembuktian jangkauan ketentuan pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, tidak meliputi pengucapan putusan. Apabila sudah tiba saat proses pemeriksaan sidang pada tahap pengucapan putusan kembali ditegakkan azas persidangan terbuka yang tercantum  dalam Pasal 81 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 34 ayat 1 PP Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi : �Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum�.

4. sebut dan jelaskan isi gugatan


 Berkaitan dengan persyaratan isi gugatan tidak diatur dalam HIRmaupun RBg. Persyaratan mengenai isi gugatan ditemukan dalam pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat :
1.      Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat tinggal di….. tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia, dan kewarganegaraan (bila perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus disebut secara jelastentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Dalam praktik dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap putusan pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk menentukan tergugat sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.
2.      Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelsan tentang keadaan / peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat. Posita memuat dua bagian: (a) alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan (b) alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya.
3.      Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.

Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu: (a) tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut), (b) tuntutan tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti dalam hal perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mut’ah, nafkah idah, dan pembagian harta bersama, dan (c) tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah “agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya “atau” mohon putusan yang seadil-adilnya” bias juga ditulis dengan kata-kata “ex aequo et bono”.

E. 4. Gugatan Lisan dan/atau Tertulis
Semua gugatan / permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan / permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Kemudian Ketua Pengadilan yang berwenang tersebut memerintahkan kepada hakim untuk membuatkan surat permohonan / gugatan dengan cara mencatat dan memformulasikan segala sesuatu yang dikemukakan oleh peenggugat / pemohon dan membacakannya, kemudian surat gugatan / permohonan tersebut ditandatangani ketua/hakim yang membuatkannya itu, hal ini berdasar ketentuan Pasal 114 (1) R.Bg. atau Pasal 120 HIR. Sementara penggugat tidak tidak perlu tanda tangan atau membubuhkan cap jempolnya dan juga tidak usah diberi materai.
Dalam praktik proses pengajuan gugat secara lisan bagi buta huruf dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Gugatan disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang.
2.      Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan mencatat segala peristiwa yang disampaikan penggugat, kemudian diformulasikan dalam bentuk surat gugat.
3.      Gugatan yang diformulasikan tersebut dibacakan untuk penggugat dan ditanyakan kepadanya tentang isi gugatan itu, apakah sudah cukup atau masih perlu ditambah, dikurangi atau diubah.
4.      Gugatan yang dinyatakan cukup oleh penggugat, maka Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk tersebut untuk menandatanganinya.
Adapun gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, harus ditandatangani oleh penggugat / pemohon (Pasal 142 (1) R.Bg. / Pasal 118 (1) HIR). Apabila pemohon / penggugat telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan / permohonan harus ditandatangani oleh kuasa hukumnya tersebut (Pasal 147 (1) R.Bg. / Pasal 123 HIR).
Surat gugatan / permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk penggugat/ pemohon, satu rangkap untuk tergugat/ termohon atau menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan/ permohonan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera.


5. sebutkan 5 sumber peradilan agama, 5 contoh kewenangan absolut, 5 contoh kewenangan relatif pengadilan agama ?
  1. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.
Adapun sumber utama hukum acara peradilan agama adalah:
  1. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum).
  2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004.
  3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
  4. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004.
  5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor  Tahun 2006.
  6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.
  7. PP Nomor 9 Tahun 1975.
  8.  RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering).
  9. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
  10. Surat Edaran Mahkamah Agung.
  11. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih.
  12. Dan lain-lain.
Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama ialah:
  1. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
  6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
  7. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987.
  8. Yuriprudensi.
  9. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih.
  10. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama.
  11. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama

Kompetensi absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah sebagai berikut.
– perkawinan;
– waris;
– wasiat;
– hibah;
– wakaf;
– zakat;
– infaq;
– shadaqah; dan
– ekonomi syari’ah.
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. Perkawinan
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23. Penetapan Wali Adlal;
24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
2. Waris
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
3. Wasiat
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
4. Hibah
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5. Wakaf
Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
6. Zakat
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
7. Infaq
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
8. Shodaqoh
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
9. Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
– bank syari’ah;
– lembaga keuangan mikro syari’ah.
– asuransi syari’ah;
– reksa dana syari’ah;
– obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
– sekuritas syari’ah;
– pembiayaan syari’ah;
– pegadaian syari’ah;
– dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
– bisnis syari’ah.
Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:
1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Bahwa dengan adanya Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diatur tentang adanya pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama yang berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mempunyai kewenangan yang lebih luas.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, kewenangan Peradilan Agama di Aceh meliputi:
ahwal syahsiyah (hukum keluarga);
muamalah (hukum perdata);
jinayah (hukum Pidana);
yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qanun Aceh.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 49 tersebut menyebutkan bahwa:
a. Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang al-ahwal al-syahsiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelaan dari pasal tersebut, kecuali wakaf, hibah, dan sadaqah;
b. Yang dimaksud dengan kewenangan bidang muamalah meliputi kebendaan dan perikatan seperti:
– jual beli, hutang piutang;
qiradh (permodalan);
musaqah, muzara’ah, mukhabarah (bagi hasil pertanian);
wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian);
ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf’ah (hak langgeh), rahnu (gadai);
ihya’u al-mawat (pembukaan tanah), ma’adin (tambang), luqathah (barang temuan);
– perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful;
– perburuhan;
– harta rampasan;
– waqaf, hibah, sadaqah, dan hadiah.
c. Yang dimaksud dengan kewenangan di bidang jinayah adalah sebagai berikut.
Hudud yang meliputi:
– zina;
– menuduh berzina (qadhaf);
– mencuri;
– merampok;
– minuman keras dan napza;
– murtad;
– pemberontakan (bughat);
Qishash/diat yang meliputi:
– pembunuhan;
– penganiayaan;
Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syari’at selain hudud dan qishash/diat seperti:
– judi;
– khalwat;
– meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.
Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Perkara Warisan Dicabut
Kewenangan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara warisan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dibatasi dengan adanya hak opsi. Hak opsi adalah hak memilih hukum warisan apa yang akan dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Jadi hak opsi adalah pilihan hukum bagi pada pihak yang bersengketa khusus dalam perkara warisan untuk menempuh penyelesaian melalui jalur Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) atau Hukum Adat atau hukum Islam.
Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum angka 2 alinea ke-5 yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”.
Mengenai hak opsi ini Mahkamah Agung memberikan petunjuk bagi hakim-hakim dalam menyelesaikan perkara warisan dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa ketentuan pilihan hukum warisan merupakan permasalahan yang terletak di luar badan peradilan dan berlaku bagi golongan rakyat yang hukum kewarisannya tunduk pada Hukum Adat dan atau Hukum Perdata Barat (BW) dan atau Hukum Islam. Para pihak boleh memilih Hukum Adat atau Hukum Perdata Barat (BW) yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri Hukum atau memilih Hukum Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama. Pilihan hukum ini berlaku sebelum perkara diajukan ke pengadilan apabila suatu perkara warisan dimasukkan ke Pengadilan Agama maka pihak lawan telah gugur haknya untuk menentukan pilihan hukum dalam menyelesaikan perkara warisan. Apabila dalam perkara warisan diajukan ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri secara bersamaan oleh para pihak yang bersengketa maka hal ini telah terjadi sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan pada badan peradilan yang satu dengan pengadilan pada badan peradilan yang lain sehingga harus diselesaikan dahulu melalui Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Perkara ditunda sampai ada putusan Mahkamah Agung pengadilan mana yag berhak mengadili perkara tersebut.
Dengan adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kalimat yang terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.
Kewenangan Mengadili Tidak Meliputi Sengketa Hak Milik Atau Sengketa Lain Antar Orang Islam dengan Non Islam
Apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut.
1. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain antara orang Islam dengan selain orang Islam maka menjadi kewenangan Peradilan Umum untuk memutuskan perkara tersebut. Proses pemeriksaan perkara di Peradilan Agama terhadap objek sengketa yang masih terdapat sengketa milik atau sengketa lain antara orang Islam dan selain orang Islam ditunda terlebih dahulu sebelum mendapatkan putusan dari Peradilan Umum. Sebagaimana diatur dalam pasal berikut. “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”
2. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain antara orang Islam maka Peradilan Agama dapat memutus bersama-sama perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam pasal berikut. “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.”

KOMPETENSI RELATIF PERADILAN AGAMA
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan. Misalnya antara Pengadilan Negeri Bogor dan Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.
Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.
1. Kewenangan Relatif Perkara Gugatan
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi:
– gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal;
– apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat;
– apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat;
– apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
– Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.
Kewenangan relatif perkara gugatan pada Pengadilan Agama terdapat beberapa pengecualian sebagai berikut.
a. Permohonan Cerai Talak
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut.
– Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/termohon.
– Suami/pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/pemohon apabila istri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami.
– Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/pemohon.
– Apabila keduanya keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
b. Perkara Gugat Cerai
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut.
– Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri/penggugat.
– Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/tergugat.
– Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/tergugat.
– Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
2. Kewenangan Relatif Perkara Permohonan
Untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut.
– Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
– Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
– Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
– Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.




PENETAPAN DAN PUTUSAN

Putusan yaitu keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa atau perselisihan, dalam arti putusan merupakan produk pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa, yaitu produk pengadilan yang sesungguhnya. Disebut jurisdiction contentiosa, karena adanya 2 (dua) pihak yang berlawanan dalam perkara (penggugat dan tergugat).
Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbat nikah, dan sebagainya. Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria (bukan peradilan yang sesungguhnya). Karena pada penetapan hanya ada permohon tidak ada lawan hukum. Dalam penetapan. Hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun cukup dengan menggunakan kata”menetapkan”.
  1. Macam-macam Putusan
Dilihat dari fungsinya, putusan hakim terdiri atas :
  1. Putusan akhir (eind vonis), yaitu putusan yang mengakhiri dipersidangan dan putusan ini merupakan produk utama dari suatu persidangan.
  1. Putusan sela (tussen vonis), yaitu putusan yang dijatuhkan masih dalam proses persidangan sebelum putusan akhir dibacakan dengan tujuan untuk memperjelas dan memperlancar persidangan.
  2. Putusan serta- merta, yaitu putusan pengadilan agama yang pada putusan tersebut oleh salah satu pihak atau pihak yang berperkara dilakukan upaya hukum baik verzet, banding maupun kasasi dan memakan waktu relative lama, lalu ada suatu gugatan dari salah satu pihak, agar putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan agama dilaksanakan terlebih dahulu, tidak lagi menunggu putusan yang mempunyai hukum tetap.
Putusan sela dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
  1. putusan provisionil (provisioniele vonnis), yaitu putusan yang dijatuhkkan untuk memberikan jawaban tuntutan pihak yang berperkara agar dilakukan tindakan pendahuluan guna kepentingan pihak pemohon sebelum dijatuhkan putusan akhir, misalnya putusan tentang jaminan.
  2. putusan prepatoir (prepatoir vonnis), yaitu putusan persiapan sebelum putusan akhir. Putusan prepatoir tidak menyinggung pokok perkara.
  3. putusan insidentil (incidentile vonnis), yaitu putusan yang berhubungan dengan peristiwa (insiden) yang untuk sementara menghentikan pemeriksaan sidang tetapi belum berhubungan dengan pokok perkara misalnya putusan tentang gugat prodeo, eksepsi tidak berwenang, putusan tentang hakim dan lain- lain.
  4. putusan interlokotoir ( interlocotoir vonnis), yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya putusan pemeriksaan setempat, putusan pemeriksaan saksi- saksi.
Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, putusan dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
  1. putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak hadir dalam persidangan padahal sudah dipanggil secara resmi, sedangkan penggugat/pemohon hadir.
  2. putusan gugur, yaitu putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir meskipun sudah dipanggil secara resmi dan tergugat/termohon hadir dalam sidang dan mohon putusan.
  3. putusan kontradiktoir, yaitu putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak atau para pihak.
Dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/perkara, putusan dibagi menjadi 4 macam yaitu:
  1. Putusan tidak menerima penggugat, yaitu gugatan penggugat/permohonan pemohon tidak diterima karena tidak terpenuhinya syarat hokum baik formil maupun materil (putusan negatif).
  2. Putusan menolak gugatan penggugat, yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan, tetapi ternyata dalil- dalil penggugat tidak terbukti (putusan negatif).
  3. putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak tidak menerima selebihnya, yaitu putusan akhir yang dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memulai syarat ( putusan campuran positif dan negatif).
  4. putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, yaitu putusan yang terpenuhinya syarat gugat dan terbuktinya dalil- dali gugat (putusan positif).
Dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan putusan terbagi menjadi 3 macam yaitu:
  1. Diklatoir, yaitu putusan yang menyatakan suatu keadaan yang sah menurut hukum, karena itu amar putusan diklatoir berbunyi “menetapkan”
Putusan diklatoir terjadi dalam putusan sebagai berikut:
  1. Permohonan talak.
  2. Gugat cerai karena perjanjian ta’lik talak.
  3. Penetapan hak perawatan anak oleh ibunya.
  4. Penetapan ahli waris yang sah.
  5. Penetapan adanya harta bersama.
  6. Perkara- perkara volunter dan seterusnya.
  7. putusan gugur, ditolak dan tidak diterima.
  8. gugatan cerai bukan karena ta’lik talak.
  9. putusan verstek.
  10. putusan pembatalan perkawinan dan seterusnya.
  1. putusan konstitutif, yaitu putusan yang menciptakan keadaan hokum baru yang sah menurut hukum sebelumnya memang belum terjadi keadaan hukum tersebut. Amar putusan konstitutif berbunyi “menyatakan…….” Dan putusan konstitutif terdapat pada putusan- putusan sebagai berikut :
  1. Putusan kondenatoir, yaitu putusan yang bersifat menghukum pada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi.
Amar putusan kondemnatoir berbunyi “menghukum……” . Putusan ini mempunyai kekuatan eksekutorial, yang bila terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka atas permohonan penggugat, putusan dapat dilaksanakan dengan paksa (execution force) oleh pengadilan agama yang memutusnya.
Amar putusan kondemnatoir yang diterapkan dipengadilan agama antara lain :
  1. Penyerahan pembagian harta bersama.
  2. Penyerahan hak nafkah iddah, mut’ah.
  3. Penyerahan hak biaya alimentasi anak dan sebagainya.
Pada prinsipnya putusan kondemnatoir merupakan putusan penghukuman untuk :
    1. menyerahkan suatu barang.
    2. membayar sejumlah uang.
    3. melakukan suatu perbuatan tertentu.
    4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan.
    5. mengosongkan tanah/rumah lain- lain.
  1. Isi putusan
Isi putusan pengadilan agama adalah sebagai berikut :
  1. Bagian kepala putusan.
  2. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara.
  3. Identitas pihak- pihak.
  4. Duduk perkaranya (bagian posita).
  5. Tentang pertimbangan hukum.
  6. Dasar hukum.
  7. Dictum atau amar putusan.
  8. Bagian kaki putusan.
  9. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.
  1. Contoh Putusan dan Penetapan
P E N E T A P A N
Nomor:    /Pdt.G/20../PA Tgt.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Tanah Grogot yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu pada tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut dalam perkara  antara :
PEMOHON, umur 61 tahun, agama Islam, pendidikan…,pekerjaan…, tempat kediaman di Jl.Persib RT 13, Kelurahan Penajam, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, disebut pemohon;
M e l a w a n
PEMOHON, umur 46 tahun, agama Islam, pendidikan…,pekerjaan…, tempat kediaman di Jl.Propinsi RT 01, Kelurahan Penajam, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, disebut termohon;
Pengadilan Agama tersebut ;
Telah membaca Putusan Pengadilan Agama Tanah Grogot Nomor: /Pdt.G/2010/PA.Tgt, bertanggal Bulan 20.., yang telah berkekuatan hokum tetap (BHT);
Telah membaca Penetapan Hari Sidang Ikrar Talak (PHS) bertanggal …bulan… tahun…, Nomor: …/Pdt.G/20../PA.Tgt., yang menetapkan bahwa pemohon tersebut dapat menjatuhkan talaknya atas termohon pada Hari…, tanggal …bulan…tahun…dalam siding Pengadilan Agama Tanah Grogot;
Telah membaca Berita Acara Persidangan Ikrar Talak Pengadilan Agama Tanah Grogot bertanggal …bulan… tahun… Nomor: …/Pdt.G/20../PA.Tgt., yang menerangkan bahwa pemohon dan termohon tidak dating menghadap di persidangan meskipun keduanya telah dipanggil secara sah dan patut sesuai relaas panggilan masing-masing tanggal … bulan…tahun…; yang menerangkan bahwa pemohon belum mengucapkan ikrar talak terhadap termohon;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka ternyatalah bahwa pemohon telah tidak memenuhi siding pengucapan ikrar talak tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pengadilan Agama Tanah Grogot menilai bahwa pemohon tidak bersungguh-sungguh berperkara, sehingga ada alasan untuk dinyatakan bahwa:”gugurlah kekuatan putusan Nomor: …/Pdt.G/20../PA.Tgt, tanggal …bulan… 20.. tersebut”;
Mengingat, Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 serta semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan perkara ini.
MENGADILI
–  Menyatakan gugur kekuatan putusan Nomor: …/Pdt.G/20../PA.Tgt., tanggal …bulan… 20…;
–  Biaya penetapan ini sebesar Rp…,- (…) dibebankan kepada pemohon;
Ditetapkan  di : Tanah Grogot
Pada tanggal  :  … bulan… 20…
Ketua Majelis,

Putusan Hakim mempunyai tiga macam kekuatan yaitu :
        1. Kekuatan mengikat.
Putusan Hakim itu mengikat para pihak yang berperkara, para pihak harus tunduk dan menghormati putusan itu
          1. Kekuatan pembuktian.
Dengan putusan Hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan, dan menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya.
Putusan Hakim harus dianggap dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama antara pihak-pihak yang sama.
          1. Kekuatan eksekutorial.
Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang telah ditetapkan dalam itu secara paksa oleh alat-alat negara. Oleh karena itu setiap putusan Hakim harus memuat titel eksekutorial yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.