RANGKUMAN
HUKUM PAJAK
v PENGERTIAN
MASYARAKAT
·
Pengertian
masyarakat adalah sekumpulan/sekelompok
individu yang berada dalam satu
tempat tertentu, dalam jangka waktu tertentu, dan mempunyai tujuan tertentu.
·
Berdasarkan
Ferdinand Tunish, masyarakat
itu terbagi menjadi 2, yaitu:
a.
Gemenschaaf – Masyarakat Hukum
Adalah Masyarakat Hukum tidak mempunyai jangka waktu atau bersifat
permanen Contoh Masyarakat Hukum: NKRI
b.
Gusselschaaf – Masyarakat Bukan Hukum
Adalah Masyarakat Bukan Hukum mempunyai jangka waktu tertentu atau tidak
bersifat permanen Contoh Masyarakat Bukan Hukum: Mahasiswa suatu kelas
v PAJAK ADA
KARENA ADA MASYARAKAT
·
Pajak itu ada karena adanya suatu
masyarakat, jadi
jika tidak ada masyarakat tentunya tidak akan ada Pajak. Hal ini dikarenakan para individu yang tergabung dalam
suatu kelompok (Masyarakat), tentunya akan mempunyai kebutuhan dalam hidupnya,
seperti fasilitas kesehatan, atau yang biasa disebut dengan KEPENTINGAN UMUM. Oleh karena itu,
dengan adanya tuntutan akan kebutuhan Masyarakat (Kepentingan Umum), maka dibutuhkan Pajak yang mana pajak tersebut
diambil dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakat tersebut.
·
Tetapi,
dengan adanya suatu Masyarakat, belum
tentu atau mutlak terdapat pajak dalam masyarakat tersebut. Hal ini bisa
terjadi karena kondisi dari masyarakat tersebut yang sudah berkecukupan karena
adanya sumber lain yang sangat besar sehingga bisa mencukupi kebutuhan
masyarakatnya.
Contohnya adalah Negara Brunei yang
mana mampu untuk membebaskan pajak bagi warga negaranya, karena mempunyai
kekayaan yang sangat berlimpah, sehingga tidak membutuhkan lagi sumber
penghasilan dari warga negaranya.
·
Pajak adalah sumber pendapatan
negara yang renewable,
dimana pajak ini bersumber dari
masyarakat yang sifatnya tidak terbatas alias akan selalu berkembang
mengikuti dinamika pertumbuhan jumlah
yang masyarakat. Beda halnya dengan sumber daya alam yang sifatnya terbatas
(non-renewable), dimana suatu saat akan habis dan perlu dicari sumber daya alam
lainnya. Inilah yang menyebabkan bangsa indonesia pernah mengalami masa
membayar pajak yang sangat sedikit, karena pemerintah lebih mengutamakan
pendapatan negara dari sumber daya minyaknya (Pertamina)
v FUNGSI
PAJAK
A.
Fungsi BUDGETER (Fungsi Anggaran)
Adalah suatu usaha untuk memasukan uang atau pemasukan sebanyak-banyaknya ke dalam kas Negara
B.
Fungsi REGULEREND (Fungsi Mengatur)
Adalah suatu usaha menjadikan Pajak
sebagai INSTRUMEN atau ALAT UNTUK MENCAPAI TUJUAN TERTENTU yang diluar bidang
keuangan.
Contoh:
- Usaha pemerintah dalam memproteksi
produk dalam negeri dari serbuan produk-produk luar negeri adalah dengan cara
membuat atau mengenakan bea masuk (import) terhadap barang-barang produksi luar
negeri tersebut .
- Usaha pemerintah untuk membatasi
daya beli rokok atau minuman keras kepada masyarakat yang tidak seharusnya
menggunakannya (dibawah umur) adalah dengan cara mengenakan pajak atau cukai
terhadap rokok dan miras tersebut
- Usaha pemerintah untuk menarik para
investor asing untuk berinventasi di Indonesia adalah dengan cara memberikan
insetif pajak kepada para investor, sehingga para investor tertarik untuk
menanamkan modalnya di Indonesia
-
Pungutan
Pajak merupakan amanah Konstitusi,
yaitu UUD 1945, Pasal 23a, Amandemen
ke-III, yang berbunyi: “segala pajak dan pungutan lainnya yang sifatnya
memaksa harus dengan Undang Undang”
-
Alasan
Pajak harus didasarkan dengan UU karena Pajak
berhubungan dengan kepentingan Rakyat, sehingga segala hal mengenai
pembuatan hukum pajak tentunya harus dibuat oleh sekelompok yang dapat
mewakiliki kepentingan rakyat, dalam hal ini adalah para anggota DPR yang mana
merupakan representasi dari Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, rakyat harus mengetahui sejelas-sejelasnya
mengenai penarikan pajak yang dibebankan
tersebut.
v PENGHASILAN
TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Setiap Masyarakat yang mempunyai
penghasilan dari pekerjaannya wajib membayar pajak kepada Negara yang biasa
disebut dengan WAJIB PAJAK.
Hanya saja, tidak semua masyarakat yang memperoleh penghasilan dari pekerjaannya
wajib membayar pajak atau dapat
disebut dengan Wajib Pajak. Hal ini
dapat terjadi karena UU telah mengatur
mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu bagi siapapun masyarakat
yang penghasilannya dalam setahun kurang (dibawah) dari Rp15.840.000, tidak
perlu dikenakan pajak atas penghasilannya tersebut atau bukan termasuk sebagai
Wajib Pajak
Saat ini, nilai PTKP sudah naik
menjadi Rp24.300.000, sebagaimana
telah diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 162/011/2012, yang mana
berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2012, dan efektif diterapkan pada 1 Januari
2013
v CYCLUS
INCOME
Dalam pajak ini terdapat cyclus income yang mana terjadinya
suatu perputaran uang pajak, yang pada intinya uang pajak itu awalnya
didapatkan dari rakyat, yang mana nantinya uang pajak yang ditarik oleh rakyat
tersebut akan kembali atau dinikmati oleh rakyat itu juga.
Dimulai dari Penghasilan Masyarakat
yang WAJIB PAJAK yang akan masuk
kedalam penerimaan Negara. Penerimaan Negara ini terdiri dari
- Pajak
-
PNPB – UU 20 Tahun 2007
Contoh: Ketika melakukan Balik Nama
pada saat Pendaftaran Tanah
- Hibah
Ø
Penerimaan
Negara ini akan masuk kedalam APBN (Atau APBD untuk daerah)
Ø
APBN
ini kemudian dibelanjakan oleh Pemerintah, seperti Belanja pegawai, belanja
barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan social
dll.
Ø
Setelah
dibelanjakan oleh Pemerintah, masyarakat akan kembali menerima hasil pajak yang
dibayarkannya dalam bentuk bentuk Barang (fasilitas umum, jalan, dll) dan Jasa
(Pelayanan pemerintah). Hasil pajak yang diterima oleh masyarakat ini adalah
hasil pajak yang diterima secara tidak langsung.
7.
MEKANISME UU APBN
UU APBN adalah UU
yang mempunyai ARTI FORMAL (Tidak
mempunyai bobot materiil), dimana UU ini
tidak mengikat secara umum kepada Rakyat, melainkan hanya mengikat
Pemerintah (eksekutif) saja. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa UU ini merupakan suatu otorisasi dari Rakyat
Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh para anggota DPR kepada Pemerintah
(eksekutif) untuk menggunakan dan memanfaatkan uang yang telah disetujui fungsi
penggunaannya.
A. PAJAK
adalah suatu pungutan oleh Negara kepada masyarakat yang mana imbalan atau manfaatnya diterima secara TIDAK LANGSUNG oleh masyarakat
B. RETRIBUSI
adalah suatu pungutan yang ditarik oleh Pemerintah Daerah sebagai pembayaran
atas pemanfaatan layanan (Fasilitas)
atau jasa pekerjaan yang spesifik (ditunjuk) yang mana manfaatnya atau imbalannya dapat diterima/dirasakan SECARA
LANGSUNG oleh masyarakat yang membayarkan retribusi tersebut. Dengan kata lain, retribusi ini suatu pungutan
oleh pemerintah daerah yang mana imbalan atau manfaatnya dapat diterima secara
langsung oleh masyarakat.
Contohnya adalah Retribusi Parkir
Dasar hukum Retribusi ini adalah UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
C. SUMBANGAN
adalah suatu pungutan atau biaya
yang ditarik oleh Pemerintah Daerah kepada
sekelompok atau golongan tertentu saja, yang mana imbalannya hanya akan
dirasakan manfaatnya oleh golongan tersebut saja
D.
MATRIX PERBEDAAN PAJAK, RESTRIBUSI & SUMBANGAN
PAJAK
|
RETRIBUSI
|
SUMBANGAN
|
PERSAMAAN
Sama-sama suatu beban atau biaya
yang dipungut dari masyarakat demi suatu kepentingan dari masyarakat itu
sendiri
PERBEDAAN
Imbalan
|
Secara
tidak langsung
|
Secara
langsung
|
||||||
Pemungut
|
Pemerintah
|
Pusatdan
|
Pemerintah
Daerah
|
Pemerintah
Daerah
|
||||
Daerah
|
||||||||
Manfaat
|
Untuk
|
membiayai
|
Langsung
untuk pembayaran
|
Untuk
|
pembayaran
|
atas
|
||
pengeluaran
|
Pemerintah
|
atas jasa
atau layanan yang
|
kepentingan
Suatu golongan
|
|||||
dan kepentingan umum
|
dinikmati oleh Masyarakat
|
tertentu
|
||||||
Penerima
|
Pemerintah
|
dan Seluruh
|
Hanya
|
Individu
|
yang
|
Hanya
|
sekelompok
|
atau
|
Manfaat
|
Warga
Negara
|
membayarkan
saja
|
golongan
|
yang
|
||||
membayarkannya
|
||||||||
Sanksi
|
Sanksi
Pidana dan Sanksi
|
Sanksi
Ekonomis
|
Sanksi
ekonomis dan sanksi
|
|||||
Administrative
|
ex: tidak
bayar uang PAM,
|
Yuridis
|
(Dikenakan
|
akibat
|
||||
maka tinggal
dicabut
|
saja
|
hukum
tertentu)
|
||||||
PAM-nya
|
||||||||
Sifat
|
Sangat
Kuat atau Wajib
|
Bersifat
ekonomis
|
Kuat,
tapi tidak sekuat Pajak
|
|||||
Dasar
|
UU
No. 28 Tahun 2009
|
|||||||
Hukum
|
||||||||
Contoh
|
Retribusi
|
Parkir,
|
PAM,
|
|||||
Listrik
|
||||||||
·
Untuk
mencapai terciptanya masyarakat yang sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan
oleh konstitusi, perlu adanya suatu Pembangunan Nasional
·
Salah
satu Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh Negara adalah Pembangunan
Nasional di Sektor Publik, seperti pembangunan Rumah Sakit Negara (RSCM),
pembangunan fasilitas transportasi, infrastruktur jalan dan sebagainya, yang
mana sumber pembiayaannya berasal dari APBN
·
Ternyata
Pembangunan Nasional dari Sektor Publik ini tidak akan cukup untuk menciptakan
Masyarakat yang Sejahtera. Tentunya harus didukung juga oleh Pembangunan
Nasional dari Sektor Swasta, yaitu melalui investasi baik dari PMDN maupun PMA
·
Pajak
ini mempunyai peranan yang sangat penting terhadap Pembangunan Nasional baik
yang berasal dari Sektor Publik maupun Sektor Swasta. Dari Sektor Publik, Pajak
ini berperan atau berfungsi sebagai FUNGSI
BUDGETER (ANGGARAN), dimana Pajak ini merupakan salah satu sumber utama
bagi APBN.
·
Sama
halnya dengan Sektor Publik, Pajak juga mempunyai peranan atau fungsi yang
sangat penting bagi sektor swasta, yaitu sebagai FUNGSI REGULEREND (MENGATUR) dimana Pajak ini dijadikan sebagai
instrumen atau alat untuk mencapai tujuan tertentu yang diluar bidang keuangan,
yang dalam hal ini menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi dari
pihak swasta, baik PMDN maupun
PMA
·
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pajak ini digunakan untuk melaksanakan
pembangunan yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan dengan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya akan meningkatkan peranan
masyarakat dalam pembangunan nasional itu sendiri melalui pajak.
v SISTEM
PEMUNGUTAN PAJAK
A.
Official Assesment System
· Definisi: Suatu system pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah
(fiscus – Pegawai Pajak) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang.
·
Ciri-ciri Official Assesment System:
-
Wewenang untuk menentukan besarnya
pajak terutang berada pada fiscuss
-
Wajib pajak bersifat pasif
-
Utang pajak timbul setelah
diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) atau Surat
Ketetapan
Pajak (SKP)
·
Contoh Praktis:
Pajak PBB, dimana Pemerintah
(Pejabat Pajak) lah yang akan menentukan besaran nilai atau jumlah Pajak PBB
tersebut. Hal ini disebabkan karena dasar penghitungan nilai PBB adalah NILAI
JUAL OBJEK PAJAK BUMI atau Kelas Kelas Tanah yang mana harus ditentukan oleh
Pemerintah.
B.
Self Assesment System
· Definisi: suatu sistem pemungutan
pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang terutang dan harus dibayar
·
Contoh Praktis:
Pajak Penghasilan, dimana
masyarakatlah yang menghitung, menetapkan, menyetor dan melaporkan SPT adalah
masyarakat sendiri. Hal ini karena masyarakat sendirilah yang mengetahui secara
jelas penghasilannya, baik keuntungan dan kerugiannya
C.
Witholding Assesment System
· Definisi: suatu sistem pemungutan
pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut
besarnya pajak yang terutan oleh Wajiib Pajak. Pajak yang dipotong atau
dipungut oleh pihak lain ini, nantinya bisa menjadi kredit pajak atau merupakan
pelunasan atas pajak terutang
A.
Menurut Sifatnya
1)
Pajak LANGSUNG
Pajak yang dipungut secara PERIODIK dan pembebanannya TIDAK DAPAT DILIMPAHKAN atau digeser kepada pihak
lain dan hanya menjadi beban langsung dari Wajib Pajak yang bersangkutan.
Contohnya: PPH, PBB
2)
Pajak TIDAK LANGSUNG
Pajak yang yang dipungut secara INCIDENTAL (sekaligus) dan pembebanannya DAPAT DILIMPAHKAN atau digeser kepada pihak
lain.
Contoh: PPN yang sebenarnya ini
merupakan pajak dari Produsen yang akhirnya dilimpahkan kepada konsumennya
B.
Menurut Pemungutnya
1)
PAJAK PUSAT
Pajak yang dipungut oleh pemerintah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah pusat.
Contoh: PPH, PPN, PPnB, BM
2)
PAJAK DAERAH
Pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah.
Contoh: PBB, BPHTB, Pajak reklame,
pajak hiburan dll.
C.
Menurut Sasaran/Objeknya
1)
SUBJEKTIF
Pajak Subjektif adalah pajak yang
berpangkal atau berdasarkan pada subjek
dari Wajib Pajaknya, dalam arti besarnya nilai pajak ikut ditentukan oleh
keadaan diri Wajib Pajaknya tersebut.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPH),
yang mana setiap Wajib pajak akan mempunyai kondisi yang berbeda-beda dilihat
dari kondisi subjek atau seseorang tersebut, seperti status pernikahan,
tanggungan anak, jumlah penghasilan dan sebagainya. Tiap orang akan mempunyai
jumlah pajak yang berbeda, tergantung dari kondisi seseorang tersebut.
2)
OBJEKTIF
Pajak Objektif adalah pajak yang
berpangkal atau berdasarkan pada
objeknya saja tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak yang dipungutnya.
Contoh: PBB, penghitungan nilai
pajaknya hanya dilihat dari kondisi objkenya saja, seperti dari ukuran atau
luas dari bumi bangunannya, tidak tergantung dari kondisi subjeknya, atau PPN,
PPnBM dan Bea Materai (BM) yang harus dibayarkan ketika membeli barang dengan
tanpa melihat dari status pembelinya.
Hanya saja, terdapat dalam praktek,
dimana Pajak Objektif juga melihat dari kondisi subjeknya atau dengan kata lain
bergeser menjadi Pajak Subjektif. Contohnya adalah PBB bagi para pensiunan dan
jandanya, veteran perang, purnawirawan diberikan keringanan dalam membayar
PBB-nya, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat
terjadi karena dalam pajak terdapat AZAS KEADILAN dalam prakteknya. Dan untuk
mendapatkan keringanan, para subjek hukum tersebut (veteran, puranwirawan, dst)
harus mengajukan permohonan keringanan pajak ke Pemerintah, karena Pajak ini
merupakan
hukum publik, dimana segala
sesuatunya tidak dapat berlangsung secara otomatis, melainkan harus dimohonkan
bagi seseorang yang menginginkannya.
Unsur adalah sesuatu yang mutlak
harus ada agar supaya sesuatu itu akan ada. Dengan demikian, Unsur Pajak ini
sifatnya adalah mutlak dimana dengan tanpa adanya salah satu dari unsur pajak
ini,maka tidak akan mungkin ada atau terdapat Pajak. Unsur-unsur Pajak ini
terdiri dari:
1)
Ada Masyarakat
Pajak itu ada karena adanya suatu masyarakat, jadi jika tidak ada masyarakat
tentunya tidak akan ada Pajak. Hal
ini dikarenakan para individu yang tergabung dalam suatu kelompok (Masyarakat),
tentunya akan mempunyai kebutuhan dalam hidupnya, seperti fasilitas kesehatan,
atau yang biasa disebut dengan KEPENTINGAN
UMUM. Oleh karena itu, dengan adanya tuntutan akan kebutuhan Masyarakat (Kepentingan Umum), maka dibutuhkan
Pajak yang mana pajak tersebut diambil dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
dari masyarakat tersebut.
2)
Ada UU
Konstitusi (UUD 1945) sudah
mengamanatkan bahwa Pajak harus menggunakan UU, sebagaimana yang tercantum pada
Pasal 23a, Amandemen ke-III,
yang berbunyi: “segala pajak dan pungutan lainnya yang sifatnya memaksa harus
dengan Undang Undang”. Dengan demikian, sudah jelas bahwa UU adalah salah satu
unsur dari Pajak ini.
Alasan Pajak harus didasarkan dengan
UU karena Pajak berhubungan dengan kepentingan Rakyat, sehingga segala hal
mengenai pembuatan hukum pajak tentunya harus dibuat oleh sekelompok yang dapat
mewakiliki kepentingan rakyat, dalam hal ini adalah para anggota DPR yang mana
merupakan representasi dari Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, rakyat harus
mengetahui sejelas-sejelasnya mengenai penarikan pajak yang dibebankan
tersebut.
UUini sendiri mengandung atau tersirat beberapa azas, yaitu: -
Demokrasi
-
Perwakilan Rakyat : Rakyat
harus mengetahui tentang pajak itu sendiri
-
Musyawarah
-
Keadilan Sosial - Pemerataan
3)
Pemungut Pajak :
Penguasa Masyarakat atau Pemerintah
4)
Subjek Pajak
-
Subjek Pajak adalah seluruh
rakyat yang BERPOTENSI untuk menjadi
WAJIB PAJAK.
-
Sedangkan Wajib Pajak adalah Subjek
Pajak yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan dari Perundangan-undangan terkait
dengan Pajak, baik subjek dan objeknya
Contoh: seseorang yang sudah
memenuhi ketentuan UU PPH baik subjek maupun objeknya, tentunya sudah dapat
disebut dengan Wajib Pajak
5)
Objek Pajak – TATBESTAND
TATBESTAND adalah segala sesuatu yang bisa dijadikan objek pajak, yang
terdiri dari:
a.
Keadaan: Seseorang yang
memiliki tanah dan bangunan, akan dikenakan Pajak PBB setiap tahunnya
b.
Perbuatan: Ketika seseorang membeli
HP, maka dengan sendiri seseorang tersebut akan dikenakan PPN (Pajak
Pertambahan Nilai) dan PPBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)
c.
Peristiwa: Ketika seseorang
memenangi suatu undian berhadiah, seseorang tersebut akan langsung dikenakan
Pajak Hadiah
6)
Surat Ketetapan Pajak (Fakultatif –
Tergantung)
SKP ini sifatnya Fakultatif, yang berarti tidak semua
macam pajak yang memerlukan SKP. Hanya Pajak yang menggunakan Official
Assesment Sytem saja yang menggunakan SKP ini.
SKP ini sendiri termasuk Produk
Beschiking, yang artinya bersifat individual dimana ditujukan spesifik kepada individu (seseorang)
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Contoh: Pajak PBB
adalah Pajak yang mengharuskan atau memerlukan SKP karena menggunanakan official assessment system, dimana Pemerintah
(Pejabat Pajak) lah yang akan menentukan besaran nilai atau jumlah Pajak PBB
tersebut. Berbeda halnya dengan PPH yang tidak menggunaan SKP, karena
menggunakan system Self-Assessment,
dimana masyarakatlah yang menghitung, menetapkan, menyetor dan melaporkan
SPTnya
A.
Pengertian Ciri
Sesuatu yang tampak dari luar dan
dapat terlihat mudah oleh panca indera kita
B.
Ciri-Ciri Pajak
1)
Peralihan
kekayaan : dari seseorang atau Badan kepada Negara atau Masyarakat
2)
Tanpa ada imbalan yang secara
langsung dapat ditunjuk
3)
Dapat dipaksakan
4)
Berulang-ulang (Periodik) atau Sekaligus (Insidental)
· Periodik: Pajak Penghasilan yang
dipungut setiap tahun
·
Insidental: Ketika beli barang, ada
pajak pembelian barang tersebut)
5)
Untuk membiayai pengeluaran pemerintah – APBN
6)
Sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, sebagai
insentif, rangsangan
7)
Pajak Langsung atau Pajak Tidak Langsung
·
Pajak Langsung:
Pajak yang dipungut secara periodik dan tidak dapat digeser kepada orang lain.
Contohnya: PPH, PBB
· Pajak
Tidak Langsung:
Pajak yang dipungut secara incidental (Sekaligus) dan dapat digeser kepada orang lain. Seperti Produsen
yang menggeser pajak PPN-nya ke konsumennya
8)
Merupakan hutang – Perikatan
Perikatan adalah suatu hubungan
hukum dimana akan menimbulkan hak dan kewajiban. Perikatan pada Pajak ini lahir
karena UU, bukan Perjanjian
v PENGERTIAN
PAJAK
A.
Ekonomi
Peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan UU yang dapat dipaksakan
dan tidak mendapat imbalan
(Tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran Negara (APBN) dan
sebagai alat pendorong, penghambat dan
pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar keuangan
B.
Hukum
Perikatan yang timbul karena UU yang mewajibkan seseorang yang
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
oleh UU (TATBESTAND) untuk membayar
sejumlah uang kepada Negara yang dapat dipaksakan
tanpa mendapat suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran negara (APBN) dan
yang digunakan sebagai alat pendorong,
penghambat dan pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang
keuangan
v FALSAFAH
PAJAK
Falsafah Pajak ini dapat ditemukan atau tersirat
dalam Pasal 23a, Amandemen ke-III,
yang berbunyi:
“segala pajak dan pungutan lainnya
yang sifatnya memaksa harus dengan Undang Undang”. Kata Undang Undang ini
bermakna atau mempunyai arti bahwa Pajak itu HARUS DIKETAHUI OLEH RAKYAT,
dimana Rakyat Indonesia ini direpresentasikan (diwakilkan)
oleh para anggota DPR yang berperan sebagai Legislator atau
sebagai Pembuat UU atau Pajak harus ada KETERWAKILAN dari rakyat itu sendiri.
Hal ini dikarenakan karena Pajak ini diambil dari Rakyat dan tentunya harus
diketahui juga oleh rakyatnya (Dari rakyat untuk rakyat)
Jadi, pada intinya Falsafah Pajak
adalah adanya KETERWAKILAN RAKYAT
pada pajak, dimana segala sesuatu tentang pajak HARUS diketahui oleh Rakyat. Peralihan barang yang tidak diketahui
oleh Rakyat, tentunya tidak akan dikenakan Pajak. Seperti seseorang yang
kecopetan, dimana telah terjadi peralihan barang dari seseorang tersebut ke
Pencopet, sang pencopet tentunya tidak akan dikenakan pajak atas barang yang
didapatkan dari hasil mencopet tersebut.
Kebetulan Falsafah Pajak Indonesia
sejalan atau sama dengan system di Inggris, yaitu Taxation without
Representation dan USA, yaitu Taxation without Representation is Robbery.
Falsafah Pajak ini
sejalan dengan Sila ke -4 Pancasila, yaitu
Pajak merupakan representasi atau perwakilan rakyat, dimana Pajak harus diketahui
oleh rakyat karena dari rakyat untuk rakyat.
A.
Sila 1: Ketuhanan Yang Maha Esa
Pajak tidak boleh bertentangan
dengan agama, tidak bertentangan dengan
ketuhanan yang maha esa. Ini dapat dilihat bahwa di agama juga terdapat
pungutan-pungutan seperti zakat, sadaqoh di Agama Islam, dan pungutan 10% di
agama Nasrani
B.
Sila 2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Dalam pungutan pajak harus manusiawi dan adil. Pengertian Adil ini
sendiri sebenarnya sangat abstrak (tidak baku), dimana sangat tergantung ruang,
tempat dan waktu. Hanya saja, meski Adil itu tidak baku, tetap saja Adil itu
harus dirumuskan dalam suatu peraturan yang jelas.
Contohnya: Peraturan mengenai PTKP,
dimana ada ketentuan dari para Subjek Pajak yang tidak perlu membayar pajak
karena penghasilannya dibawah nilai PTKP yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah.
C.
Sila 3: Persatuan Indonesia
Dalam pajak tersirat asas gotong royong, dimana Rakyat
secara bersama-sama membayar pajak demi kepentingan umum yang lebih besar lagi.
D.
Sila 4: Kerakyaatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan
Sila ke-4 ini sangat berhubungan dengan Pasal 23a UUD 1945,
yaitu Pajak merupakan representasi atau perwakilan rakyat, dimana Pajak
harus diketahui oleh rakyat karena dari rakyat untuk rakyat.
E.
Sila 5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Hasil pajak itu ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, dimana baik wajib pajak maupun
yang tidak membayar pajak juga dapat
turut serta menikmati hasil pajak tersebut demi menuju menjadi masyarakat yang
sejahtera
v HUBUNGAN
PAJAK
Pada dasarnya Pajak itu tidak akan
bisa berdiri sendiri dan dilepaskan dengan bidang-bidang hukum lainnya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Pajak itu akan selalu berkaitan dengan bidang
hukum lainnya, seperti:
Hubungan Pajak
dengan Hukum Perdata
Segala perbuatan atau peristiwa yang
menjadi objek Pajak itu sebenarnya diambil dari bidang perdata, seperti
memperoleh penghasilan, jual beli, dan perjanjian
Hubungan Pajak
dengan Hukum Administrasi Negara
Pajak merupakan karena mengatur
hubungan antara Pemerintah dengan para Wajib Pajaknya
Hubungan Pajak
dengan Hukum Pidana
Sanksi yang diberikan terhadap
pelanggaran-pelanggaran atas pajak ini terdapat sanki pidananya bagi para Wajib
Pajak yang terbukti melakukan pelanggaran pajak
v RESISTENSI/PERLAWANAN
PAJAK
A.
Perlawanan Pasif
Adalah perlawanan yang timbulnya bukan dari wajib pajak, melainkan dari
kondisi perekonomian atau Negara itu sendiri, perkembangan intelektual dan
moral penduduknya dan dengan tekhnik pemungutan pajak itu sendiri.
Contoh: Bank itu mengenakan pajak ke
bunga tabungan nasabahnya. Hanya saja, sekitar peride 1050-an, menabung di bank
bukanlah pilihan utama masyarakat atau belum menjadi kebiasaan dan budaya.
Masyarakat lebih condong untuk menabung uangnya di bawah bantal atau dirumahnya
sendiri. Akibatnya pada saat itu, penerimaan pajak dari sektor pajak sangatlah
kecil, karena hanya sedikit masyarakat yang mau menabungkan uangnya di bank.
Adalah suatu usaha perlawanan yang
nyata yang dilakukan oleh para Wajib Pajak dan terlihat pada semua usaha dan
perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah dengan tujuan untuk
menghindari pajak, yang terdiri dari:
1) Penghindaran
dari Pajak (Tax
Avoidance) : suatu upaya dari para wajib pajak untuk menggantikan (substitusi) barang yang mengandung
pajak dengan barang yang bebas dari pajak.
Contoh: Pajak (PPN) hanya dikenakan
kepada produk-produk buah yang mengalami Fabrikasi (seperti buah kaleng) atau
mengalamai pertambahan nilai. Sedangkan buah-buah segar yang sama sekali tidak
mengalami proses fabrikasi atau terdapat pertambahan nilai, tidak dikenakan
pajak. Dengan melihat situasi seperti itu, akhirnya Wajib Pajak mengganti
produk Buah Kaleng tersebut dengan buah-buahan segar yang bebas dari pajak.
2)
Pengelakan (Tax evasion)
a. Legal
– Tax Planning
Suatu langkah-langkah yang dilakukan
oleh Wajib Pajak untuk mengelak pajak
dengan cara tidak melawan hukum yang
berlaku. Tentunya pengelakan secara legal ini harus dilakukan secara cermat, dimana Wajib Pajak
harus mencari celah-celah hukum yang mana dapat mengelakan wajib pajak
dikenakan pajak.
Contoh: Ketika seorang Wajib Pajak
ingin mengembangkan bisnisnya lebih besar, maka Wajib Pajak tersebut akan
mempelajari segala peraturan terkait, untuk mencari tahu langkah-langkah yang
menguntungkan terkait dengan pembayaran pajak atas ekspansi bisnisnya.
Ternyata, berdasarkan peraturan bagi ekspansi bisnis, ada yang namanya insentif
pajak jika ekspansi bisnisnya dilakukan di luar pulau Jawa
b.
Ilegal
Suatu langkah-langkah yang dilakukan
oleh Wajib Pajak untuk mengelak pajak
dengan cara
melawan
hukum yang berlaku
Contoh: Wajib pajak melakukan
manipulasi pajak dengan melakukan pembukuan ganda
3)
Melalaikan pajak
Suatu usaha Wajib Pajak untuk menolak pembayaran pajak yang telah
ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas yang harus dipenuhi
Contoh: Menghalangi penyitaan dengan
cara menyembunyikan barang-barang yang akan disita
v PENDEKATAN
PAJAK
1)
Ekonomi
Ditinjau dari segi ekonomi, pajak
dapat dilihat dari sisi Mikroekonomi dan Makroekonomi, yaitu:
a. Mikroekonomi: Pajak itu mengurangi pedapatan (income) individu, mengurangi daya beli (Konsumsi) seseorang, mengurangi
kesejahteraan individu, mengubah pola hidup wajib pajak
b. Makroekonomi: Pajak itu merupakan income atau pendapatan suatu Negara (masyarakat)
tanpa menimbulkan kewajiban pada
Negara terhadap wajib pajak
2)
Sosial
Pajak dapat dipandang secara
negative dan positive dengan melihat dampak yang dirasakan oleh rakyat. Pajak
akan diterima oleh rakyat, ketika tidak
memberatkan rakyat dan mempunyai
manfaat bagi rakyat itu sendiri
(meningkatkan kesadaran pajak). Sebaliknya, apabila pajak itu memberatkan
rakyat dan hasilnya tidak dirasakan langsung oleh rakyat, maka akan timbul
resistensi dari rakyat
3)
Agama
Pajak ini tidak bertentangan dengan agama, dimana dalam agamapunn juga
terdapat pungutan-pungutan demi kemashlatan umat (kepentingan bersama)
4)
Keuangan
Sama halnya dengan ekonomi makro,
pajak jika dilihat dari sisi keuangan adalah mempunyai fungsi budgeter,
yaitu seberapa besar hasil pemasukan pajak ini bagi keuangan negara
5)
Politik
Pajak itu dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu, karena pajak itu
adalah sesautu yang selalu melibatkan rakyat. Seringkali di periode pemilihan
kepala Negara atau daerah, para calon pemimpin menggunakan issue pajak dengan
menyampaikan janji-janji tertentu, seperti akan memberikan pembebasan bagi
pajak-pajak yang terlalu membebani rakyat.
Pembangunan Negara itu merupakan
suatu tujuan Negara, dimana dari pembangunan tersebeut diharapkan terciptanya
masyarakat yang sejahtera.
Pembangunan ini sendiri dilakukan di
dua sektor, yaitu sektor Publik yang mana dananya berasal dari APBN dan hibah
(Fungsi Budgeter pada Pajak), dan juga Sektor Privat (swasta) yang dananya
berasal dari investasi pihak swasta, baik lokal maupun asing (Fungsi mengatur
pada Pajak)
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pajak ini digunakan untuk melaksanakan pembangunan yang akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
tentunya akan meningkatkan peranan masyarakat dalam pembangunan nasional itu
sendiri melalui pajak.
7)
Hukum
a. Definisi
Pajak: Perikatan yang timbul karena UU yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU
(TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada Negara yang dapat dipaksakan
tanpa mendapat suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran negara (APBN) dan yang digunakan
sebagai alat pendorong, penghambat dan pencegah untuk mencapai tujuan
yang ada diluar bidang keuangan
b. Definisi
"Hukum Pajak":
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan hukum hak dan kewajiban antara Negara sebagai pemungut pajak
dan rakyat sebagai pembayar pajak, beserta seluruh lembaga yang melaksanakan
pungutan pajak.
c.
Sistematika Hukum Pajak
· Hukum
Pajak Formal:
hukum yang mengatur mengenai pelaksanaan
dari hukum materiil
- UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana
telah beberapa kali diubah yang terakhir oleh UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan
-
UU No. 19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
-
UU No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak
·
Hukum Pajak Materiil:
Hukum yang mengatur mengenai Subjek,
objek dan tarif pajak
-
UU PPH
- UU PPN
- UU PPnBM
-
UU PBB
-
UU BPHTB
d.
Bentuk Hukum:
Hukum Tertulis
e.
Sumber Hukum - UU
- Hukum
Internasional (Bilateral & Multilateral): Bukan mengenai timbulnya hutang
pajak, melainkan mengenai hukum pajak nasional digunakan atau tidak terhadap
Wajib Pajak
-
Yurisprudensi
v TEORI
TIMBULNYA HUTANG PAJAK
Secara umum, Hutang Pajak itu
timbulnya karena adanya perikatan yang timbul karena UU. Tetapi ternyata hutang
yang timbul tersebut, tidak cukup dengan UU saja, sebagaimana yang dijelaskan
dari 2 ajaran Materiil dan Formil, yaitu:
A.
Ajaran Material
Timbulnya hutang pajak itu adalah
karena adanya UU itu sendiri, selama Subjek Pajaknya memenuhi syarat subjek dan
syarat objek sebagai objek pajak.. Maksudnya adalah dengan munculnya suatu UU
tentang pajak, maka pada saat itulah timbul hutang pajaknya.
Contoh: Ketika UU PPH lahir,
seseorang yang telah memenuhi syarat UU PPH tersebut (syarat subjek dan Syarat
Objek), maka akan timbul hutang pajaknya (dengan sendirinya)
B.
Ajaran Formal
Timbulnya hutang pajak itu adalah karena
adanya UU dan ada perbuatan dari Fiscus dengan mengeluarkan SKP atau suatu surat keputusan yang bersifat BESCHIKING.
Contoh: Hutang pajak akan timbul
ketika sudah ada UU tentang PBB dan dikeluarkannya SPPT PBB oleh Fiscus
A.
Ajaran Material
SKP ini ternyata juga ada di ajaran
materiil, tapi mempunyai fungsi yang berbeda, yaitu:
1)
Tidak
menimbulkan hutang pajak
2)
Menentukan besarnya pajak
3)
Memberitahukan kepada WP
4)
Tempat
pencatatan pembayaran
Contohnya: ada SKP kurang bayar, SKP
Nihil atau SKP Lebih bayar yang dikirimkan oleh Pejabat pajak terkait dengan
informasi dari pembayaran pajak PPH yang telah dibayarkan
B.
Ajaran Formal
Sedangkan pada ajara formal, fungsi
SKP, yaitu
1)
Menimbulkan hutang pajak: SPPT
2)
Menentukan
besarnya pajak
3)
Memberitahukan kepada WP
4)
Tempat
pencatatan pembayaran
v TEORI
PEMBENARAN PUNGUTAN PAJAK
Merupakan suatu teori yang dapat membenarkan bahwa pajak dapat dipungut oleh Negara
(Pemerintah). Hanya saja, dari beberapa teori tersebut tidak semuanya memenuhi
alasan/menjawab pembenaran pajak tersebut, yaitu sebagai berikut:
A.
Teori yang TIDAK MEMENUHI/MENJAWAB Teori Asuransi:
Teori yang mengibaratkan Pajak itu
seperti Premi, yaitu bayar premi (pajak) untuk nantinya dapat menanggung
kerugian yang diderita. Dasar dari Premi
itu adalah Perjanjian antara pihak.
Sedangkan pajak itu adalah suatu perikatan yang timbul karena UU, bukan karena
adanya perjanjian.
Teori Daya Pikul
Pemungutan pajak ini sebesar dari
yang dipikul/kemampuan seseorang. Dengan demikian, tentunya teori ini tidak
menjawab pertanyaan mengenai pembenaran pungutan pajak, karena membicarakan
mengenai besaran nilai pajak yang harus dibayarkan (Tidak nyambung), bukan
mengenai pembenaran pungutan pajak
Teori Kepentingan
Pajak itu besarnya tergantung dari
kepentingan yang dilindungi. Teori ini tidak menjawab karena pajak itu
memberikan imbalan yang tidak langsung, tidak seperti kepentingan yang
dilindungi dimana merupakan imbalan langsung
B.
Teori yang MEMENUHI/MENJAWAB
Teori Daya Beli/Teori Pompa
Teori ini menyebutkan dipungutnya
pajak seperti sebuah pompa, dimana disedot dari bawah oleh pompa, yang kemudian
dikeluarkan lagi keatas. Teori ini menjawab tentang pembenaran pungutan pajak,
karena disedot dari rakyat dan diberikan juga kepada rakyat
Teori Kewajiban
Pajak Mutlak
Teori ini merupakan “Organ Theory”,
yaitu mengatakan bahwa Negara itu adalah suatu organisasi, dimana dengan
terbentuknya suatu Negara dalam bentuk organisasi maka selama itulah Negara itu
memungut pajak dari rakyatnya. Teori ini menjawab karena Negara diberikan Hak
oleh rakyat untuk memungut pajak.
Teori Pembenaran
Pajak Menurut Pancasila
Pancasila merupakan kristalisasi
dari Nilai-nilai. Salah satu nilai-nilai dari Pancasila itu adalah Nilai Gotong
Royong. Nilai gotong royong ini tumbuh dan tersirat dalam Nilai Pajak itu
sendiri, dimana rakyat secara bersama-sama membayar pajak demi kepentingan
rakyat itu juga.
A.
AZAS ADAM SMITH’ CANON: untuk keberhasilan pemungutan pajak,
maka setiap peraturan harus memuat
beberapa azas agar ketentuan hukum dalam perpajakan dapat ditaati dan
dilaksanakan oleh masyarakat, yang terdiri dari:
1)
Azas Certainty : Kepastian
Dalam hukum pajak, harus terdapat
pengertian-pengertian yang jelas dan tidak multitafsir sehingga kepastian hukum
di bidang pajak dapat tercapai
Contoh:
- UU PPH menjelaskan pengertian dari
Penghasilan, yaitu sesuatu yang menambah kemampuan ekonomis. Pengertian ini
mempunyai arti yang sangat luas, sehingga pada pasal berikutnya, pengertian
dari Penghasilan ini lebih dijelaskan lebih lanjut dengan merinci Penghasilan,
yang terdiri dari gaji, honor, upah, dll (Dirinci dengan jelas)
- Verjaring
(Daluwarsa) : Fiscus
dibatasi waktunya dalam memungut pajak, yaitu selama 5 tahun demi terciptanya kepastian hukum, atau
yang biasa disebut dengan Extinsive verjaring. Jadi setelah lewat 5 tahun,
fiscus tidak bisa memungut pajak yang terhutang dari WP karena kehilangan
haknya
·
Aquisitive Verjaring:
Dengan lampaunya waktu, seseorang
memperoleh hak
·
Extinsive verjaring:
Dengan lampaunya waktu, seseorang
kehilangan hak
2)
Azas Convenience of payment
Ini merupakan suatu azas yang
memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi para wajib pajak untuk melaksanakan
kewajibannya, seperti kemudahan dalam pembayaran, fasilitas tempat pembayaran
pajak, waktu pemungutan pajak PPH pada waktu gajian, dst.
3)
Azas Economics of collection – Asas Efisiensi
Dalam mengumpulkan uang pajak harus
mempertimbangkan unsur ekonomisnya. Hal ini berarti ketika melakukan pungutan
pajak, harus diusahakan agar biaya memungut pajaknya lebih besar dari hasil
pungutan pajak itu sendiri.
Contoh: Pemerintah tidak perlu
membangun kantor pemungut pajak khusus untuk WNA di Aceh, karena jumlah WNA
yang sangat sedikit di Aceh. Biaya pembangunan kantor yang besar tidak akan
sebanding dengan pemasukan pajak dari WNA yang sedikit tersebut
4)
Azas Equality & Equity
Equality: penentuan
dasar atau basic dalam penghitungan nilai pajak harus ditentukan dari nilai yang sama, sehingga penghitungannya
dihitung dari nilai Gross, bukan Netto/bruto
Contoh: Dasar penghitungan pajak
dalam UU PPH adalah nilai PKP (Penghasilan Kena Pajak), yang mana jumlahnya
adalah sama.
Equity: keadilan untuk kasus-kasus tertentu (Bukan keadilan Lawful)
Contoh:Seorang Wajib Pajak sepakat
akan membeli Tanah dan Bangunan yang mana akan dikenakan pajak atas tanah dan
bangunan tersebut. Tetapi, sebelum terjadinya perpindahan, tanah dan bangunan
tersebut musnah (Terbakar). Dengan demikian, wajib pajak tersebut harus
mengajukan pembatalanpengenaan pajak atas tanah dan bangunan tersebut.(Tidak
batal dengan sendirinya/NICHTE)
ATAU
Azas Yuridis, Ekonomis, Finansial dan Sosiologis
B.
AZAS YURIDIKSI PEMUNGUTAN
1)
Azas Domisili
Adalah azas pemungutan pajak
berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang. Jadi bagi siapapun, baik
warga lokal maupun warga asing, selama tinggal di suatu tempat, maka akan
dikenakan pajak sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku di tempat tersebut
2)
Azas Sumber
Pemungutan pajak ini dilihat
berdasarkan sumber penghasilan dari Wajib Pajaknya. Jika sumber penghasilannya
Indonesia, terlepas kewarganegaraannya, maka akan dikenakan pajak di Indonesia.
3)
Azas Kebangsaan
Pemungutan pajak ini dilihat
berdasarkan kebangsaan atau kewarganegaraan Wajib Pajaknya. Seperti wajib pajak
yang berwarga Negara Indonesia akan dikenakan pajak Indonesia, dimanapu wajib
pajak tersebut berdomisili.
1)
Pembayaran – Ps.1382 BW
Pembayaran hutang pajak ini
mempunyai ketentuan-ketentuan yang berbeda seperti pembayaran hutang perdata,
karena pembayaran hutang pajak ini merupakan hutang yang timbul akibat
perikatan yang lahir karena UU, tentunya hapusnya hutang pajak pun telah diatur
khusus oleh UU, seperti:
-
Cara pembayarannya yang sudah diatur
- Tempat pembayarannya: contoh: bank
persepsi, sebagai bank yang ditunjuk
-
Waktu pembayarannya
2)
Kompensasi Hutang – Ps. 1425 BW
Dalam hukum pajak dikenal yang
namanya Kompensasi Hutang atau Perjumpaan Hutang.
Contohnya ketika WP mempunyai
kelebihan bayar pajak, maka WP tersebut mempunyai 2 pilihan, yaitu dapat
dijumpakan/dikompensasikan dengan Hutang Pajak tahun berikutnya atau dikembalikan
atau diambil langsung uang lebih bayarnya (restitusi).
3)
Pembebasan Hutang – Ps. 1438 BW
Dalam pajak dikenal yang namanya
pembebasan hutang. Seperti WP yang memang hilang (tidak bisa ditemukan) atau
meninggal dunia dan tidak mempunyai harta yang cukup untuk membayar pajak
selama hidupnya, maka hutang pajaknya akan dihapuskan
4)
Pembatalan/Kebatalan – Ps. 1446 BW
Misalnya: ketika terjadi salah
hitung nilai pajak atau terjadi salah tulis nama, maka itu dapat dimintakan
pembatalan kepada Pejabat Pajak
5)
Daluwarsa – Ps. 1946 BW
Demi kepastian hukum, dalam Pajak
dikenal yang namanya Daluwarsa, dimana telah ditentukan waktu selama 5 tahun
bagi fiscus untuk dapat menagih pajak kepada WP. Jika lewat 5 tahun, maka
Fiscus akan kehilangan haknya untuk menagih pajak kepada WP
Sedangkan yang tidak menyebabkan
hapusnya hutang pajak, sebagaimana hapusnya perikatan pada umumnya, yaitu:
1)
Konsignasi/Penitipan – Ps. 1404 BW
Ini tidak bisa dilakukan, karena
dasar dari konsignasi adalah perjanjian, sedangkan pajak adalah hutang akibat
perikatan yang timbul karena UU
2)
Novatie – Ps. 1412: Pembaharuan Hutang
3)
Percampuran Hutang – Ps. 1436 BW
Percampuran hutang itu terjadi
karena perkawinan yang dasarnya adalah perjanjian. Tentunya ini tidak berlaku
untuk pajak
4)
Musnahnya barang – Ps 1444
Di pajak tidak dikenal
perjanjian-perjanjian penghapusan hutang karena musnahnya barang. Beda halnya
dengan Perdata yang dikenal dengan NICHTE atau batal demi hukum, sedangkan
Pajak dasarnya adalah bukan perjanjian
5)
Dipenuhinya Syarat Batal – Ps. 1265 BW
Karena pemenuhan syarat batal itu
hanya terdapat pada perjanjian
v SISTEM
PUNGUTAN PAJAK
1)
Sistem dipungut di Muka (Voor
heffing) Pajak
dipungut pada awal tahun.
Contoh: Pajak PBB
2)
Sistem pungutan di belakang (na effing) Pajak dipungut pada akhir tahun Contoh: PPH
Pungutan pajak dengan tidak
sebenarnya atau tidak riil. Biasanya terdapat pada Pajak zaman dahulu. Saat ini
aplikasinya kurang lebih sama dengan PPH Masa (PPH Pasal 25) atau PPH yang
dicicil, dimana PPH-nya sudah dapat mulai dibayar di awal tahun, meski jumlah
PPH yang seharusnya dibayarkan belum diketahui (karena baru dapat diketahui
pada akhir tahun). Sehingga besaran nilai PPH terutangnya dengan menggunakan
patokan PPH dari tahun sebelumnya. Jika nantinya PPH finalnya sudah keluar,
maka jumlah yang sudah dibayarkan dapat dijumpakan ke PPH Tahun berikutnya jika
ternyata kondisinya pajak yang telah kita bayarkan berlebih (lebih bayar)
4)
Sistem Riil
PPH yang sudah final atau riil
penghitungannya pada akhir tahun, dimana merupakan PPH Pasal 29.
5)
Sistem Campuran
PPH Pasal 25 dan Pasal 29
6)
Sistem Self Assesment
7)
Sistem Official Assessment
8)
Sistem Witholding Tax
Sistem pungutan pada sumbernya,
yaitu ketika pajak kita PPH Pasal 22, yaitu
9)
Kredit Pajak
PPH Pasal 25, ketika pajaknya dapat
dikredit.
v REFORMASI
PAJAK
A.
Sebelum 1983
Pajak di Indonesia mengalami
reformasi besar-besaran sejak tahun 1983. Sebelum tahun 1983, Indonesia masih
menggunakan system hukum Pajak dari Belanda, seperti Inkomsten Belasting (PPH),
Verponding (Pajak atas tanah Hak Barat bertransformasi menjadi PBB), Vermogens
Belasting, dll. Semua peraturan pajak tersebut menggunakan bahasa belanda
B.
Setelah 1983 - Reformasi Pajak Dimulai
Sejak tahun 1983, Pemerintah
memutuskan untuk melaksanakan Reformasi Pajak, karena beberapa alasan dan
tujuan, yaitu
1.
System pajak Belanda terlalu banyak
dan tidak sistematis,
dimana semua setiap aspek diatur dalam
masing-masing peraturan yang berbeda. Dengan reformasi Pajak kini, diharapkan
beberapa peraturan yang berbeda dapat disatukan/digabungkan menjadi satu
peraturan yang sama. Selain itu, juga untuk menyederhanakan aturan-aturan
tentang pajaknya itu sendiri, seperti menyederhanakan penghitungan tariff pajak
dan lain lain.
2.
Untuk menyesuaikan dengan struktur
organisasi Negara kita,
dimana kita sudah mempunyai konstitusi,
sehingga harus menyesuaikan dengan
filosofi dan falsafah Negara Indonesia
3.
Untuk menambah pendapatan Negara
atau APBN dari sektor Pajak,
karena sejak tahun 1983 dirasakan
cadangan migas Indonesia semakin menipis, sehingga perlu dicari alternative
pemasukan bagi keuangan Negara
A.
Hukum Formal
Hukum Formal Pajak adalah hukum atau
ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada Hukum Materiilnya.
Hukum Formal Pajak ini tidak diatur
dalam satu Peraturan saja, melainkan diatur dalam beberapa peraturan, yaitu:
1) UU
No. 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir diubah melalui UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan
Ketiga ("UU KUP").
2) UU
No. 19 Tahun 1997 Tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah melalui UU No. 19 Tahun
2000 ("UU PPSP")
3)
UU No. 14 Tahun 2002 Tentang
Pengadilan Pajak ("UU Pengadilan
Pajak")
B.
Hukum Materiil
Hukum Materiil adalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Subjek, Objek dan Tariff Pajak. Hukum
Materiil ini terdiri dari:
1) UU
No. 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir diubah melalui UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan
Ketiga ("UU PPH").
2)
UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No. 18 Tahun 2000 ("UU
PPN & PPnBM")
3)
UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana
telah diubah diubah melalui UU No.12
Tahun 1994 ("UU PBB")
4)
UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah
diubah diubah melalui UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan ke-1 ("UU BPHTB")
5)
UU No. 13 Tahun 1985 Tentang
Bea Materai ("UU BM")
v SEJARAH
LAHIRNYA PENGADILAN PAJAK
-
Pada
awalnya lahir suatu lembaga yang bernama Majelis
Pertimbangan Pajak (“MPP”).
-
Jika ditafsirkan dari Penjelasan
Pasal 58 UU No. 5 Tahun 1986 (“UU TUN”),
MPP ini merupakan Banding
Administrasi, yang mana bukan
merupakan suatu badan peradilan yang mandiri, melainkan suatu lembaga yang
mengakomodir Upaya Banding dari Keberatan dan putusannya masih didalam ruang
lingkup Putusan Tata Usaha Negara
- Tapi ternyata, hal tersebut
bertentangan dengan UU KUP yang mengamanatkan bahwa upaya banding harus
dilakukan oleh suatu badan peradilan yang mandiri, yang putusannya bukan
merupakan putusan Pejabat Tata Usaha Negara. Sehingga MPP ini diganti dan dibentuk
suatu lembaga baru, yaitu Badan Penyelesai Sengketa Pajak (“BPSP”)
- Tapi ternyata pada kenyataannya BPSP
ini tidak dapat disebut mandiri, karena sebenarnya BPSP ini tidak bermuara ke
Mahkamah Agung, yaitu suatu lembaga tertinggi dari peradilan yang bebas dan
independent. Dalam konsiderannya sama sekali tidak mengacu kepada UU Kekuasaan
Kehakiman. Pada dasarnya suatu lembaga peradilan dapat dikatakan suatu lembaga
yang bebas dan independen, jika lembaga peradilan tersebut berada di bawah
kekuasaan kehakiman, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung.
- Sehingga dapat diperdebatkan bahwa
BPSP ini masih merupakan Lembaga untuk Upaya Banding Administratif. Hal ini
diperkuat dengan preseden dari kasus Tommy Soeharto, yang pada waktu itu
mengajukan bandingnya tidak ke BPSP sebagaimana yang diamanatkan oleh KUP,
melainkan mengajukan ke PT TUN, karena Tommy Soeharto menganggap bahwa BPSP
tidak mandiri. Disinilah akhirnya timbul dualisme pemahaman mengenai suatu
lembaga yang independent dan mandiri dalam menyelesaikan sengketa pajak.
- Karena dualisme itulah, akhirnya
dengan UU 14 tahun 2002, dibentuk suatu Lembaga Peradilan yang independent dan
mandiri, yaitu Peradilan Pajak, yang mana dalam konsiderannya sudah mengacu
kepada UU Kekuasaan Kehakiman.
-
Hanya
saja, Pengadilan Pajak inipun masih dipertanyakan
kemandiriannya/independensinya karena pada kenyataannya secretariat dari
Pengadilan Pajak ini masih dibawah Kementerian Keuangan, bukan Mahkamah Agung
v UU KUP
1) Keberlakuan UU KUP
UU KUP ini berlaku untuk semua jenis Pajak yang diberlakukan
kepada Masyarakat.
Tapi meski demikian, juga ada
jenis-jenis pajak tertentu yang membuat aturan formil dan materiilnya dalam
satu peraturan, contohnya adalah PBB. Hal ini karena sulit untuk menyatukan
aturan-aturan terkait dengan PBB yang sifatnya adalah Pajak Objektif, dengan
pajak-pajak lainnya yang bersifat Subjektif. Contohnya NPWP sama sekali tidak
dikenal dalam PBB, melainkan hanya digunakan pada PPH, PPN (Pajak Subjektif),
yang mana sifatnya Self Assessment
2) Bentuk Hukum Formil
Hukum
Formil ini dapat berupa Undang Undang dan juga Peraturan Perundang-Undangan
dibawahnya. Sedangkan untuk hukum Materiil, WAJIB diatur dalam bentuk Undang
Undang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar