Minggu, 02 September 2018

HUKUM PAJAK 1



RANGKUMAN HUKUM PAJAK

v  PENGERTIAN MASYARAKAT

·            Pengertian masyarakat adalah sekumpulan/sekelompok individu yang berada dalam satu tempat tertentu, dalam jangka waktu tertentu, dan mempunyai tujuan tertentu.

·            Berdasarkan Ferdinand Tunish, masyarakat itu terbagi menjadi 2, yaitu:

a.        Gemenschaaf – Masyarakat Hukum

Adalah Masyarakat Hukum tidak mempunyai jangka waktu atau bersifat permanen Contoh Masyarakat Hukum: NKRI

b.        Gusselschaaf – Masyarakat Bukan Hukum

Adalah Masyarakat Bukan Hukum mempunyai jangka waktu tertentu atau tidak bersifat permanen Contoh Masyarakat Bukan Hukum: Mahasiswa suatu kelas

v  PAJAK ADA KARENA ADA MASYARAKAT

·            Pajak itu ada karena adanya suatu masyarakat, jadi jika tidak ada masyarakat tentunya tidak akan ada Pajak. Hal ini dikarenakan para individu yang tergabung dalam suatu kelompok (Masyarakat), tentunya akan mempunyai kebutuhan dalam hidupnya, seperti fasilitas kesehatan, atau yang biasa disebut dengan KEPENTINGAN UMUM. Oleh karena itu, dengan adanya tuntutan akan kebutuhan Masyarakat (Kepentingan Umum), maka dibutuhkan Pajak yang mana pajak tersebut diambil dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakat tersebut.

·            Tetapi, dengan adanya suatu Masyarakat, belum tentu atau mutlak terdapat pajak dalam masyarakat tersebut. Hal ini bisa terjadi karena kondisi dari masyarakat tersebut yang sudah berkecukupan karena adanya sumber lain yang sangat besar sehingga bisa mencukupi kebutuhan masyarakatnya.

Contohnya adalah Negara Brunei yang mana mampu untuk membebaskan pajak bagi warga negaranya, karena mempunyai kekayaan yang sangat berlimpah, sehingga tidak membutuhkan lagi sumber penghasilan dari warga negaranya.

·            Pajak adalah sumber pendapatan negara yang renewable, dimana pajak ini bersumber dari masyarakat yang sifatnya tidak terbatas alias akan selalu berkembang mengikuti dinamika pertumbuhan jumlah yang masyarakat. Beda halnya dengan sumber daya alam yang sifatnya terbatas (non-renewable), dimana suatu saat akan habis dan perlu dicari sumber daya alam lainnya. Inilah yang menyebabkan bangsa indonesia pernah mengalami masa membayar pajak yang sangat sedikit, karena pemerintah lebih mengutamakan pendapatan negara dari sumber daya minyaknya (Pertamina)

v  FUNGSI PAJAK

A.       Fungsi BUDGETER (Fungsi Anggaran)
Adalah suatu usaha untuk memasukan uang atau pemasukan sebanyak-banyaknya ke dalam kas Negara

B.       Fungsi REGULEREND (Fungsi Mengatur)

Adalah suatu usaha menjadikan Pajak sebagai INSTRUMEN atau ALAT UNTUK MENCAPAI TUJUAN TERTENTU yang diluar bidang keuangan.

Contoh:

-       Usaha pemerintah dalam memproteksi produk dalam negeri dari serbuan produk-produk luar negeri adalah dengan cara membuat atau mengenakan bea masuk (import) terhadap barang-barang produksi luar negeri tersebut .


-       Usaha pemerintah untuk membatasi daya beli rokok atau minuman keras kepada masyarakat yang tidak seharusnya menggunakannya (dibawah umur) adalah dengan cara mengenakan pajak atau cukai terhadap rokok dan miras tersebut

-       Usaha pemerintah untuk menarik para investor asing untuk berinventasi di Indonesia adalah dengan cara memberikan insetif pajak kepada para investor, sehingga para investor tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia


v  DASAR HUKUM KONSTITUSI PAJAK

-            Pungutan Pajak merupakan amanah Konstitusi, yaitu UUD 1945, Pasal 23a, Amandemen ke-III, yang berbunyi: “segala pajak dan pungutan lainnya yang sifatnya memaksa harus dengan Undang Undang”

-            Alasan Pajak harus didasarkan dengan UU karena Pajak berhubungan dengan kepentingan Rakyat, sehingga segala hal mengenai pembuatan hukum pajak tentunya harus dibuat oleh sekelompok yang dapat mewakiliki kepentingan rakyat, dalam hal ini adalah para anggota DPR yang mana merupakan representasi dari Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, rakyat harus mengetahui sejelas-sejelasnya mengenai penarikan pajak yang dibebankan tersebut.

v  PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Setiap Masyarakat yang mempunyai penghasilan dari pekerjaannya wajib membayar pajak kepada Negara yang biasa disebut dengan WAJIB PAJAK.

Hanya saja, tidak semua masyarakat yang memperoleh penghasilan dari pekerjaannya wajib membayar pajak atau dapat disebut dengan Wajib Pajak. Hal ini dapat terjadi karena UU telah mengatur mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu bagi siapapun masyarakat yang penghasilannya dalam setahun kurang (dibawah) dari Rp15.840.000, tidak perlu dikenakan pajak atas penghasilannya tersebut atau bukan termasuk sebagai Wajib Pajak

Saat ini, nilai PTKP sudah naik menjadi Rp24.300.000, sebagaimana telah diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 162/011/2012, yang mana berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2012, dan efektif diterapkan pada 1 Januari 2013

v  CYCLUS INCOME

Dalam pajak ini terdapat cyclus income yang mana terjadinya suatu perputaran uang pajak, yang pada intinya uang pajak itu awalnya didapatkan dari rakyat, yang mana nantinya uang pajak yang ditarik oleh rakyat tersebut akan kembali atau dinikmati oleh rakyat itu juga.

Dimulai dari Penghasilan Masyarakat yang WAJIB PAJAK yang akan masuk kedalam penerimaan Negara. Penerimaan Negara ini terdiri dari

-       Pajak

-       PNPB – UU 20 Tahun 2007

Contoh: Ketika melakukan Balik Nama pada saat Pendaftaran Tanah
-       Hibah
Ø           Penerimaan Negara ini akan masuk kedalam APBN (Atau APBD untuk daerah)

Ø           APBN ini kemudian dibelanjakan oleh Pemerintah, seperti Belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan social dll.

Ø           Setelah dibelanjakan oleh Pemerintah, masyarakat akan kembali menerima hasil pajak yang dibayarkannya dalam bentuk bentuk Barang (fasilitas umum, jalan, dll) dan Jasa (Pelayanan pemerintah). Hasil pajak yang diterima oleh masyarakat ini adalah hasil pajak yang diterima secara tidak langsung.
7.         MEKANISME UU APBN
UU APBN adalah UU yang mempunyai ARTI FORMAL (Tidak mempunyai bobot materiil), dimana UU ini tidak mengikat secara umum kepada Rakyat, melainkan hanya mengikat Pemerintah (eksekutif) saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UU ini merupakan suatu otorisasi dari Rakyat Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh para anggota DPR kepada Pemerintah (eksekutif) untuk menggunakan dan memanfaatkan uang yang telah disetujui fungsi penggunaannya.








v  PERBEDAAN PAJAK, RETRIBUSI & SUMBANGAN

A.       PAJAK adalah suatu pungutan oleh Negara kepada masyarakat yang mana imbalan atau manfaatnya diterima secara TIDAK LANGSUNG oleh masyarakat

B.       RETRIBUSI adalah suatu pungutan yang ditarik oleh Pemerintah Daerah sebagai pembayaran atas pemanfaatan layanan (Fasilitas) atau jasa pekerjaan yang spesifik (ditunjuk) yang mana manfaatnya atau imbalannya dapat diterima/dirasakan SECARA LANGSUNG oleh masyarakat yang membayarkan retribusi tersebut. Dengan kata lain, retribusi ini suatu pungutan oleh pemerintah daerah yang mana imbalan atau manfaatnya dapat diterima secara langsung oleh masyarakat.

Contohnya adalah Retribusi Parkir

Dasar hukum Retribusi ini adalah UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

C.       SUMBANGAN adalah suatu pungutan atau biaya yang ditarik oleh Pemerintah Daerah kepada sekelompok atau golongan tertentu saja, yang mana imbalannya hanya akan dirasakan manfaatnya oleh golongan tersebut saja


D.       MATRIX PERBEDAAN PAJAK, RESTRIBUSI & SUMBANGAN

PAJAK
RETRIBUSI
SUMBANGAN

PERSAMAAN

Sama-sama suatu beban atau biaya yang dipungut dari masyarakat demi suatu kepentingan dari masyarakat itu sendiri

PERBEDAAN
Imbalan
Secara tidak langsung
Secara langsung











Pemungut
Pemerintah
Pusatdan
Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah


Daerah














Manfaat
Untuk
membiayai
Langsung untuk pembayaran
Untuk
pembayaran
atas

pengeluaran
Pemerintah
atas  jasa  atau  layanan  yang
kepentingan Suatu golongan

dan kepentingan umum
dinikmati oleh Masyarakat
tertentu











Penerima
Pemerintah
dan   Seluruh
Hanya
Individu
yang
Hanya
sekelompok
atau
Manfaat
Warga Negara
membayarkan saja

golongan

yang






membayarkannya






Sanksi
Sanksi Pidana dan Sanksi
Sanksi Ekonomis

Sanksi ekonomis dan sanksi

Administrative
ex:  tidak  bayar  uang  PAM,
Yuridis
(Dikenakan
akibat



maka  tinggal  dicabut
saja
hukum tertentu)




PAM-nya










Sifat
Sangat Kuat atau Wajib
Bersifat ekonomis

Kuat, tapi tidak sekuat Pajak









Dasar


UU No. 28 Tahun 2009




Hukum








Contoh


Retribusi
Parkir,
PAM,






Listrik















v  HUBUNGAN PAJAK DENGAN PEMBANGUNAN NASIONAL

·         Untuk mencapai terciptanya masyarakat yang sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan oleh konstitusi, perlu adanya suatu Pembangunan Nasional

·         Salah satu Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh Negara adalah Pembangunan Nasional di Sektor Publik, seperti pembangunan Rumah Sakit Negara (RSCM), pembangunan fasilitas transportasi, infrastruktur jalan dan sebagainya, yang mana sumber pembiayaannya berasal dari APBN

·         Ternyata Pembangunan Nasional dari Sektor Publik ini tidak akan cukup untuk menciptakan Masyarakat yang Sejahtera. Tentunya harus didukung juga oleh Pembangunan Nasional dari Sektor Swasta, yaitu melalui investasi baik dari PMDN maupun PMA

·         Pajak ini mempunyai peranan yang sangat penting terhadap Pembangunan Nasional baik yang berasal dari Sektor Publik maupun Sektor Swasta. Dari Sektor Publik, Pajak ini berperan atau berfungsi sebagai FUNGSI BUDGETER (ANGGARAN), dimana Pajak ini merupakan salah satu sumber utama bagi APBN.

·         Sama halnya dengan Sektor Publik, Pajak juga mempunyai peranan atau fungsi yang sangat penting bagi sektor swasta, yaitu sebagai FUNGSI REGULEREND (MENGATUR) dimana Pajak ini dijadikan sebagai instrumen atau alat untuk mencapai tujuan tertentu yang diluar bidang keuangan, yang dalam hal ini menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi dari pihak swasta, baik PMDN maupun

PMA

·         Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pajak ini digunakan untuk melaksanakan pembangunan yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya akan meningkatkan peranan masyarakat dalam pembangunan nasional itu sendiri melalui pajak.

v  SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

A.       Official Assesment System

·   Definisi: Suatu system pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiscus – Pegawai Pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.

·   Ciri-ciri Official Assesment System:

-       Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiscuss

-       Wajib pajak bersifat pasif

-       Utang pajak timbul setelah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat

Ketetapan Pajak (SKP)

·   Contoh Praktis:

Pajak PBB, dimana Pemerintah (Pejabat Pajak) lah yang akan menentukan besaran nilai atau jumlah Pajak PBB tersebut. Hal ini disebabkan karena dasar penghitungan nilai PBB adalah NILAI JUAL OBJEK PAJAK BUMI atau Kelas Kelas Tanah yang mana harus ditentukan oleh Pemerintah.

B.       Self Assesment System

·   Definisi: suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang dan harus dibayar

·   Contoh Praktis:

Pajak Penghasilan, dimana masyarakatlah yang menghitung, menetapkan, menyetor dan melaporkan SPT adalah masyarakat sendiri. Hal ini karena masyarakat sendirilah yang mengetahui secara jelas penghasilannya, baik keuntungan dan kerugiannya








C.       Witholding Assesment System

·   Definisi: suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutan oleh Wajiib Pajak. Pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain ini, nantinya bisa menjadi kredit pajak atau merupakan pelunasan atas pajak terutang


v  JENIS ATAU KARAKTERISTIK PAJAK

A.       Menurut Sifatnya

1)        Pajak LANGSUNG

Pajak yang dipungut secara PERIODIK dan pembebanannya TIDAK DAPAT DILIMPAHKAN atau digeser kepada pihak lain dan hanya menjadi beban langsung dari Wajib Pajak yang bersangkutan.
Contohnya: PPH, PBB

2)        Pajak TIDAK LANGSUNG

Pajak yang yang dipungut secara INCIDENTAL (sekaligus) dan pembebanannya DAPAT DILIMPAHKAN atau digeser kepada pihak lain.

Contoh: PPN yang sebenarnya ini merupakan pajak dari Produsen yang akhirnya dilimpahkan kepada konsumennya

B.       Menurut Pemungutnya

1)        PAJAK PUSAT

Pajak yang dipungut oleh pemerintah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah pusat.

Contoh: PPH, PPN, PPnB, BM

2)        PAJAK DAERAH

Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah.
Contoh: PBB, BPHTB, Pajak reklame, pajak hiburan dll.

C.       Menurut Sasaran/Objeknya

1)        SUBJEKTIF

Pajak Subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjek dari Wajib Pajaknya, dalam arti besarnya nilai pajak ikut ditentukan oleh keadaan diri Wajib Pajaknya tersebut.

Contoh: Pajak Penghasilan (PPH), yang mana setiap Wajib pajak akan mempunyai kondisi yang berbeda-beda dilihat dari kondisi subjek atau seseorang tersebut, seperti status pernikahan, tanggungan anak, jumlah penghasilan dan sebagainya. Tiap orang akan mempunyai jumlah pajak yang berbeda, tergantung dari kondisi seseorang tersebut.

2)        OBJEKTIF

Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya saja tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak yang dipungutnya.

Contoh: PBB, penghitungan nilai pajaknya hanya dilihat dari kondisi objkenya saja, seperti dari ukuran atau luas dari bumi bangunannya, tidak tergantung dari kondisi subjeknya, atau PPN, PPnBM dan Bea Materai (BM) yang harus dibayarkan ketika membeli barang dengan tanpa melihat dari status pembelinya.

Hanya saja, terdapat dalam praktek, dimana Pajak Objektif juga melihat dari kondisi subjeknya atau dengan kata lain bergeser menjadi Pajak Subjektif. Contohnya adalah PBB bagi para pensiunan dan jandanya, veteran perang, purnawirawan diberikan keringanan dalam membayar PBB-nya, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat terjadi karena dalam pajak terdapat AZAS KEADILAN dalam prakteknya. Dan untuk mendapatkan keringanan, para subjek hukum tersebut (veteran, puranwirawan, dst) harus mengajukan permohonan keringanan pajak ke Pemerintah, karena Pajak ini merupakan


hukum publik, dimana segala sesuatunya tidak dapat berlangsung secara otomatis, melainkan harus dimohonkan bagi seseorang yang menginginkannya.


v  .UNSUR PAJAK

Unsur adalah sesuatu yang mutlak harus ada agar supaya sesuatu itu akan ada. Dengan demikian, Unsur Pajak ini sifatnya adalah mutlak dimana dengan tanpa adanya salah satu dari unsur pajak ini,maka tidak akan mungkin ada atau terdapat Pajak. Unsur-unsur Pajak ini terdiri dari:

1)        Ada Masyarakat

Pajak itu ada karena adanya suatu masyarakat, jadi jika tidak ada masyarakat tentunya tidak akan ada Pajak. Hal ini dikarenakan para individu yang tergabung dalam suatu kelompok (Masyarakat), tentunya akan mempunyai kebutuhan dalam hidupnya, seperti fasilitas kesehatan, atau yang biasa disebut dengan KEPENTINGAN UMUM. Oleh karena itu, dengan adanya tuntutan akan kebutuhan Masyarakat (Kepentingan Umum), maka dibutuhkan Pajak yang mana pajak tersebut diambil dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakat tersebut.

2)        Ada UU

Konstitusi (UUD 1945) sudah mengamanatkan bahwa Pajak harus menggunakan UU, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 23a, Amandemen ke-III, yang berbunyi: “segala pajak dan pungutan lainnya yang sifatnya memaksa harus dengan Undang Undang”. Dengan demikian, sudah jelas bahwa UU adalah salah satu unsur dari Pajak ini.

Alasan Pajak harus didasarkan dengan UU karena Pajak berhubungan dengan kepentingan Rakyat, sehingga segala hal mengenai pembuatan hukum pajak tentunya harus dibuat oleh sekelompok yang dapat mewakiliki kepentingan rakyat, dalam hal ini adalah para anggota DPR yang mana merupakan representasi dari Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, rakyat harus mengetahui sejelas-sejelasnya mengenai penarikan pajak yang dibebankan tersebut.

UUini sendiri mengandung atau tersirat beberapa azas, yaitu: - Demokrasi

-   Perwakilan Rakyat : Rakyat harus mengetahui tentang pajak itu sendiri

-   Musyawarah
-   Keadilan Sosial - Pemerataan

3)        Pemungut Pajak : Penguasa Masyarakat atau Pemerintah

4)        Subjek Pajak
-   Subjek Pajak adalah seluruh rakyat yang BERPOTENSI untuk menjadi WAJIB PAJAK.

- Sedangkan Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan dari Perundangan-undangan terkait dengan Pajak, baik subjek dan objeknya

Contoh: seseorang yang sudah memenuhi ketentuan UU PPH baik subjek maupun objeknya, tentunya sudah dapat disebut dengan Wajib Pajak

5)        Objek Pajak TATBESTAND
TATBESTAND adalah segala sesuatu yang bisa dijadikan objek pajak, yang terdiri dari:

a.  Keadaan: Seseorang yang memiliki tanah dan bangunan, akan dikenakan Pajak PBB setiap tahunnya

b. Perbuatan: Ketika seseorang membeli HP, maka dengan sendiri seseorang tersebut akan dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)

c. Peristiwa: Ketika seseorang memenangi suatu undian berhadiah, seseorang tersebut akan langsung dikenakan Pajak Hadiah

6)        Surat Ketetapan Pajak (Fakultatif Tergantung)
SKP ini sifatnya Fakultatif, yang berarti tidak semua macam pajak yang memerlukan SKP. Hanya Pajak yang menggunakan Official Assesment Sytem saja yang menggunakan SKP ini.



SKP ini sendiri termasuk Produk Beschiking, yang artinya bersifat individual dimana ditujukan spesifik kepada individu (seseorang) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Contoh: Pajak PBB adalah Pajak yang mengharuskan atau memerlukan SKP karena menggunanakan official assessment system, dimana Pemerintah (Pejabat Pajak) lah yang akan menentukan besaran nilai atau jumlah Pajak PBB tersebut. Berbeda halnya dengan PPH yang tidak menggunaan SKP, karena menggunakan system Self-Assessment, dimana masyarakatlah yang menghitung, menetapkan, menyetor dan melaporkan SPTnya
v  CIRI PAJAK

A.    Pengertian Ciri
Sesuatu yang tampak dari luar dan dapat terlihat mudah oleh panca indera kita

B.     Ciri-Ciri Pajak
1)        Peralihan kekayaan : dari seseorang atau Badan kepada Negara atau Masyarakat

2)        Tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk

3)        Dapat dipaksakan

4)        Berulang-ulang (Periodik) atau Sekaligus (Insidental)
·    Periodik: Pajak Penghasilan yang dipungut setiap tahun
·    Insidental: Ketika beli barang, ada pajak pembelian barang tersebut)

5)        Untuk membiayai pengeluaran pemerintah – APBN

6)        Sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, sebagai insentif, rangsangan

7)        Pajak Langsung atau Pajak Tidak Langsung
·    Pajak Langsung: Pajak yang dipungut secara periodik dan tidak dapat digeser kepada orang lain.
Contohnya: PPH, PBB

·    Pajak Tidak Langsung: Pajak yang dipungut secara incidental (Sekaligus) dan dapat digeser kepada orang lain. Seperti Produsen yang menggeser pajak PPN-nya ke konsumennya

8)        Merupakan hutang Perikatan

Perikatan adalah suatu hubungan hukum dimana akan menimbulkan hak dan kewajiban. Perikatan pada Pajak ini lahir karena UU, bukan Perjanjian

v  PENGERTIAN PAJAK

A.       Ekonomi

Peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan UU yang dapat dipaksakan dan tidak mendapat imbalan (Tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara (APBN) dan sebagai alat pendorong, penghambat dan pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar keuangan

B.       Hukum

Perikatan yang timbul karena UU yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada Negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapat suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara (APBN) dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat dan pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan


v  FALSAFAH PAJAK
Falsafah Pajak ini dapat ditemukan atau tersirat dalam Pasal 23a, Amandemen ke-III, yang berbunyi:

“segala pajak dan pungutan lainnya yang sifatnya memaksa harus dengan Undang Undang”. Kata Undang Undang ini bermakna atau mempunyai arti bahwa Pajak itu HARUS DIKETAHUI OLEH RAKYAT, dimana Rakyat Indonesia ini direpresentasikan (diwakilkan)
oleh para anggota DPR yang berperan sebagai Legislator atau sebagai Pembuat UU atau Pajak harus ada KETERWAKILAN dari rakyat itu sendiri. Hal ini dikarenakan karena Pajak ini diambil dari Rakyat dan tentunya harus diketahui juga oleh rakyatnya (Dari rakyat untuk rakyat)

Jadi, pada intinya Falsafah Pajak adalah adanya KETERWAKILAN RAKYAT pada pajak, dimana segala sesuatu tentang pajak HARUS diketahui oleh Rakyat. Peralihan barang yang tidak diketahui oleh Rakyat, tentunya tidak akan dikenakan Pajak. Seperti seseorang yang kecopetan, dimana telah terjadi peralihan barang dari seseorang tersebut ke Pencopet, sang pencopet tentunya tidak akan dikenakan pajak atas barang yang didapatkan dari hasil mencopet tersebut.

Kebetulan Falsafah Pajak Indonesia sejalan atau sama dengan system di Inggris, yaitu Taxation without Representation dan USA, yaitu Taxation without Representation is Robbery.

Falsafah Pajak ini sejalan dengan Sila ke -4 Pancasila, yaitu Pajak merupakan representasi atau perwakilan rakyat, dimana Pajak harus diketahui oleh rakyat karena dari rakyat untuk rakyat.

v  HUBUNGAN PAJAK DENGAN PANCASILA

A.       Sila 1: Ketuhanan Yang Maha Esa

Pajak tidak boleh bertentangan dengan agama, tidak bertentangan dengan ketuhanan yang maha esa. Ini dapat dilihat bahwa di agama juga terdapat pungutan-pungutan seperti zakat, sadaqoh di Agama Islam, dan pungutan 10% di agama Nasrani

B.       Sila 2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Dalam pungutan pajak harus manusiawi dan adil. Pengertian Adil ini sendiri sebenarnya sangat abstrak (tidak baku), dimana sangat tergantung ruang, tempat dan waktu. Hanya saja, meski Adil itu tidak baku, tetap saja Adil itu harus dirumuskan dalam suatu peraturan yang jelas.

Contohnya: Peraturan mengenai PTKP, dimana ada ketentuan dari para Subjek Pajak yang tidak perlu membayar pajak karena penghasilannya dibawah nilai PTKP yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah.

C.       Sila 3: Persatuan Indonesia

Dalam pajak tersirat asas gotong royong, dimana Rakyat secara bersama-sama membayar pajak demi kepentingan umum yang lebih besar lagi.

D.       Sila 4: Kerakyaatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan

Sila ke-4 ini sangat berhubungan dengan Pasal 23a UUD 1945, yaitu Pajak merupakan representasi atau perwakilan rakyat, dimana Pajak harus diketahui oleh rakyat karena dari rakyat untuk rakyat.

E.       Sila 5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Hasil pajak itu ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, dimana baik wajib pajak maupun yang tidak membayar pajak juga dapat turut serta menikmati hasil pajak tersebut demi menuju menjadi masyarakat yang sejahtera

v  HUBUNGAN PAJAK

Pada dasarnya Pajak itu tidak akan bisa berdiri sendiri dan dilepaskan dengan bidang-bidang hukum lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pajak itu akan selalu berkaitan dengan bidang hukum lainnya, seperti:

   Hubungan Pajak dengan Hukum Perdata

Segala perbuatan atau peristiwa yang menjadi objek Pajak itu sebenarnya diambil dari bidang perdata, seperti memperoleh penghasilan, jual beli, dan perjanjian

   Hubungan Pajak dengan Hukum Administrasi Negara
Pajak merupakan karena mengatur hubungan antara Pemerintah dengan para Wajib Pajaknya

   Hubungan Pajak dengan Hukum Pidana

Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran-pelanggaran atas pajak ini terdapat sanki pidananya bagi para Wajib Pajak yang terbukti melakukan pelanggaran pajak

v  RESISTENSI/PERLAWANAN PAJAK
A.       Perlawanan Pasif

Adalah perlawanan yang timbulnya bukan dari wajib pajak, melainkan dari kondisi perekonomian atau Negara itu sendiri, perkembangan intelektual dan moral penduduknya dan dengan tekhnik pemungutan pajak itu sendiri.

Contoh: Bank itu mengenakan pajak ke bunga tabungan nasabahnya. Hanya saja, sekitar peride 1050-an, menabung di bank bukanlah pilihan utama masyarakat atau belum menjadi kebiasaan dan budaya. Masyarakat lebih condong untuk menabung uangnya di bawah bantal atau dirumahnya sendiri. Akibatnya pada saat itu, penerimaan pajak dari sektor pajak sangatlah kecil, karena hanya sedikit masyarakat yang mau menabungkan uangnya di bank.


B.       Perlawanan Aktif

Adalah suatu usaha perlawanan yang nyata yang dilakukan oleh para Wajib Pajak dan terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah dengan tujuan untuk menghindari pajak, yang terdiri dari:

1)   Penghindaran dari Pajak (Tax Avoidance) : suatu upaya dari para wajib pajak untuk menggantikan (substitusi) barang yang mengandung pajak dengan barang yang bebas dari pajak.

Contoh: Pajak (PPN) hanya dikenakan kepada produk-produk buah yang mengalami Fabrikasi (seperti buah kaleng) atau mengalamai pertambahan nilai. Sedangkan buah-buah segar yang sama sekali tidak mengalami proses fabrikasi atau terdapat pertambahan nilai, tidak dikenakan pajak. Dengan melihat situasi seperti itu, akhirnya Wajib Pajak mengganti produk Buah Kaleng tersebut dengan buah-buahan segar yang bebas dari pajak.

2)   Pengelakan (Tax evasion)
a.     Legal – Tax Planning

Suatu langkah-langkah yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mengelak pajak dengan cara tidak melawan hukum yang berlaku. Tentunya pengelakan secara legal ini harus dilakukan secara cermat, dimana Wajib Pajak harus mencari celah-celah hukum yang mana dapat mengelakan wajib pajak dikenakan pajak.

Contoh: Ketika seorang Wajib Pajak ingin mengembangkan bisnisnya lebih besar, maka Wajib Pajak tersebut akan mempelajari segala peraturan terkait, untuk mencari tahu langkah-langkah yang menguntungkan terkait dengan pembayaran pajak atas ekspansi bisnisnya. Ternyata, berdasarkan peraturan bagi ekspansi bisnis, ada yang namanya insentif pajak jika ekspansi bisnisnya dilakukan di luar pulau Jawa

b.     Ilegal
Suatu langkah-langkah yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mengelak pajak dengan cara

melawan hukum yang berlaku
Contoh: Wajib pajak melakukan manipulasi pajak dengan melakukan pembukuan ganda

3)   Melalaikan pajak

Suatu usaha Wajib Pajak untuk menolak pembayaran pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas yang harus dipenuhi
Contoh: Menghalangi penyitaan dengan cara menyembunyikan barang-barang yang akan disita

v  PENDEKATAN PAJAK
1)        Ekonomi
Ditinjau dari segi ekonomi, pajak dapat dilihat dari sisi Mikroekonomi dan Makroekonomi, yaitu:

a.    Mikroekonomi: Pajak itu mengurangi pedapatan (income) individu, mengurangi daya beli (Konsumsi) seseorang, mengurangi kesejahteraan individu, mengubah pola hidup wajib pajak

b.   Makroekonomi: Pajak itu merupakan income atau pendapatan suatu Negara (masyarakat) tanpa menimbulkan kewajiban pada Negara terhadap wajib pajak



2)        Sosial

Pajak dapat dipandang secara negative dan positive dengan melihat dampak yang dirasakan oleh rakyat. Pajak akan diterima oleh rakyat, ketika tidak memberatkan rakyat dan mempunyai
manfaat bagi rakyat itu sendiri (meningkatkan kesadaran pajak). Sebaliknya, apabila pajak itu memberatkan rakyat dan hasilnya tidak dirasakan langsung oleh rakyat, maka akan timbul resistensi dari rakyat

3)        Agama

Pajak ini tidak bertentangan dengan agama, dimana dalam agamapunn juga terdapat pungutan-pungutan demi kemashlatan umat (kepentingan bersama)

4)        Keuangan

Sama halnya dengan ekonomi makro, pajak jika dilihat dari sisi keuangan adalah mempunyai fungsi budgeter, yaitu seberapa besar hasil pemasukan pajak ini bagi keuangan negara

5)        Politik

Pajak itu dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu, karena pajak itu adalah sesautu yang selalu melibatkan rakyat. Seringkali di periode pemilihan kepala Negara atau daerah, para calon pemimpin menggunakan issue pajak dengan menyampaikan janji-janji tertentu, seperti akan memberikan pembebasan bagi pajak-pajak yang terlalu membebani rakyat.

6)        Pembangunan

Pembangunan Negara itu merupakan suatu tujuan Negara, dimana dari pembangunan tersebeut diharapkan terciptanya masyarakat yang sejahtera.

Pembangunan ini sendiri dilakukan di dua sektor, yaitu sektor Publik yang mana dananya berasal dari APBN dan hibah (Fungsi Budgeter pada Pajak), dan juga Sektor Privat (swasta) yang dananya berasal dari investasi pihak swasta, baik lokal maupun asing (Fungsi mengatur pada Pajak)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pajak ini digunakan untuk melaksanakan pembangunan yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya akan meningkatkan peranan masyarakat dalam pembangunan nasional itu sendiri melalui pajak.

7)        Hukum

a.    Definisi Pajak: Perikatan yang timbul karena UU yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada Negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapat suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara (APBN) dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat dan pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan

b.   Definisi "Hukum Pajak": seperangkat peraturan yang mengatur hubungan hukum hak dan kewajiban antara Negara sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak, beserta seluruh lembaga yang melaksanakan pungutan pajak.

c.    Sistematika Hukum Pajak
·   Hukum Pajak Formal: hukum yang mengatur mengenai pelaksanaan dari hukum materiil

-       UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhir oleh UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan

-       UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

-       UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

·   Hukum Pajak Materiil: Hukum yang mengatur mengenai Subjek, objek dan tarif pajak

-       UU PPH
-       UU PPN
-       UU PPnBM

-       UU PBB

-       UU BPHTB

d.   Bentuk Hukum: Hukum Tertulis

e.    Sumber Hukum - UU

- Hukum Internasional (Bilateral & Multilateral): Bukan mengenai timbulnya hutang pajak, melainkan mengenai hukum pajak nasional digunakan atau tidak terhadap Wajib Pajak

-   Yurisprudensi

v  TEORI TIMBULNYA HUTANG PAJAK

Secara umum, Hutang Pajak itu timbulnya karena adanya perikatan yang timbul karena UU. Tetapi ternyata hutang yang timbul tersebut, tidak cukup dengan UU saja, sebagaimana yang dijelaskan dari 2 ajaran Materiil dan Formil, yaitu:

A.       Ajaran Material

Timbulnya hutang pajak itu adalah karena adanya UU itu sendiri, selama Subjek Pajaknya memenuhi syarat subjek dan syarat objek sebagai objek pajak.. Maksudnya adalah dengan munculnya suatu UU tentang pajak, maka pada saat itulah timbul hutang pajaknya.

Contoh: Ketika UU PPH lahir, seseorang yang telah memenuhi syarat UU PPH tersebut (syarat subjek dan Syarat Objek), maka akan timbul hutang pajaknya (dengan sendirinya)

B.       Ajaran Formal

Timbulnya hutang pajak itu adalah karena adanya UU dan ada perbuatan dari Fiscus dengan mengeluarkan SKP atau suatu surat keputusan yang bersifat BESCHIKING.

Contoh: Hutang pajak akan timbul ketika sudah ada UU tentang PBB dan dikeluarkannya SPPT PBB oleh Fiscus

v  FUNGSI SKP

A.       Ajaran Material
SKP ini ternyata juga ada di ajaran materiil, tapi mempunyai fungsi yang berbeda, yaitu:
1)        Tidak menimbulkan hutang pajak

2)        Menentukan besarnya pajak

3)        Memberitahukan kepada WP
4)        Tempat pencatatan pembayaran

Contohnya: ada SKP kurang bayar, SKP Nihil atau SKP Lebih bayar yang dikirimkan oleh Pejabat pajak terkait dengan informasi dari pembayaran pajak PPH yang telah dibayarkan

B.       Ajaran Formal
Sedangkan pada ajara formal, fungsi SKP, yaitu

1)        Menimbulkan hutang pajak: SPPT
2)        Menentukan besarnya pajak

3)        Memberitahukan kepada WP
4)        Tempat pencatatan pembayaran

v  TEORI PEMBENARAN PUNGUTAN PAJAK

Merupakan suatu teori yang dapat membenarkan bahwa pajak dapat dipungut oleh Negara (Pemerintah). Hanya saja, dari beberapa teori tersebut tidak semuanya memenuhi alasan/menjawab pembenaran pajak tersebut, yaitu sebagai berikut:

A.       Teori yang TIDAK MEMENUHI/MENJAWAB Teori Asuransi:

Teori yang mengibaratkan Pajak itu seperti Premi, yaitu bayar premi (pajak) untuk nantinya dapat menanggung kerugian yang diderita. Dasar dari Premi itu adalah Perjanjian antara pihak. Sedangkan pajak itu adalah suatu perikatan yang timbul karena UU, bukan karena adanya perjanjian.

  Teori Daya Pikul

Pemungutan pajak ini sebesar dari yang dipikul/kemampuan seseorang. Dengan demikian, tentunya teori ini tidak menjawab pertanyaan mengenai pembenaran pungutan pajak, karena membicarakan mengenai besaran nilai pajak yang harus dibayarkan (Tidak nyambung), bukan mengenai pembenaran pungutan pajak

  Teori Kepentingan

Pajak itu besarnya tergantung dari kepentingan yang dilindungi. Teori ini tidak menjawab karena pajak itu memberikan imbalan yang tidak langsung, tidak seperti kepentingan yang dilindungi dimana merupakan imbalan langsung

B.       Teori yang MEMENUHI/MENJAWAB
Teori Daya Beli/Teori Pompa

Teori ini menyebutkan dipungutnya pajak seperti sebuah pompa, dimana disedot dari bawah oleh pompa, yang kemudian dikeluarkan lagi keatas. Teori ini menjawab tentang pembenaran pungutan pajak, karena disedot dari rakyat dan diberikan juga kepada rakyat

  Teori Kewajiban Pajak Mutlak

Teori ini merupakan “Organ Theory”, yaitu mengatakan bahwa Negara itu adalah suatu organisasi, dimana dengan terbentuknya suatu Negara dalam bentuk organisasi maka selama itulah Negara itu memungut pajak dari rakyatnya. Teori ini menjawab karena Negara diberikan Hak oleh rakyat untuk memungut pajak.

  Teori Pembenaran Pajak Menurut Pancasila

Pancasila merupakan kristalisasi dari Nilai-nilai. Salah satu nilai-nilai dari Pancasila itu adalah Nilai Gotong Royong. Nilai gotong royong ini tumbuh dan tersirat dalam Nilai Pajak itu sendiri, dimana rakyat secara bersama-sama membayar pajak demi kepentingan rakyat itu juga.

v  AZAS PEMUNGUTAN PAJAK

A.       AZAS ADAM SMITH’ CANON: untuk keberhasilan pemungutan pajak, maka setiap peraturan harus memuat beberapa azas agar ketentuan hukum dalam perpajakan dapat ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat, yang terdiri dari:

1)   Azas Certainty : Kepastian

Dalam hukum pajak, harus terdapat pengertian-pengertian yang jelas dan tidak multitafsir sehingga kepastian hukum di bidang pajak dapat tercapai

Contoh:

-       UU PPH menjelaskan pengertian dari Penghasilan, yaitu sesuatu yang menambah kemampuan ekonomis. Pengertian ini mempunyai arti yang sangat luas, sehingga pada pasal berikutnya, pengertian dari Penghasilan ini lebih dijelaskan lebih lanjut dengan merinci Penghasilan, yang terdiri dari gaji, honor, upah, dll (Dirinci dengan jelas)

-       Verjaring (Daluwarsa) : Fiscus dibatasi waktunya dalam memungut pajak, yaitu selama 5 tahun demi terciptanya kepastian hukum, atau yang biasa disebut dengan Extinsive verjaring. Jadi setelah lewat 5 tahun, fiscus tidak bisa memungut pajak yang terhutang dari WP karena kehilangan haknya

·    Aquisitive Verjaring: Dengan lampaunya waktu, seseorang memperoleh hak
·    Extinsive verjaring: Dengan lampaunya waktu, seseorang kehilangan hak

2)   Azas Convenience of payment

Ini merupakan suatu azas yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi para wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya, seperti kemudahan dalam pembayaran, fasilitas tempat pembayaran pajak, waktu pemungutan pajak PPH pada waktu gajian, dst.

3)   Azas Economics of collection – Asas Efisiensi

Dalam mengumpulkan uang pajak harus mempertimbangkan unsur ekonomisnya. Hal ini berarti ketika melakukan pungutan pajak, harus diusahakan agar biaya memungut pajaknya lebih besar dari hasil pungutan pajak itu sendiri.

Contoh: Pemerintah tidak perlu membangun kantor pemungut pajak khusus untuk WNA di Aceh, karena jumlah WNA yang sangat sedikit di Aceh. Biaya pembangunan kantor yang besar tidak akan sebanding dengan pemasukan pajak dari WNA yang sedikit tersebut

4)   Azas Equality & Equity
Equality: penentuan dasar atau basic dalam penghitungan nilai pajak harus ditentukan dari nilai yang sama, sehingga penghitungannya dihitung dari nilai Gross, bukan Netto/bruto

Contoh: Dasar penghitungan pajak dalam UU PPH adalah nilai PKP (Penghasilan Kena Pajak), yang mana jumlahnya adalah sama.
  Equity: keadilan untuk kasus-kasus tertentu (Bukan keadilan Lawful)

Contoh:Seorang Wajib Pajak sepakat akan membeli Tanah dan Bangunan yang mana akan dikenakan pajak atas tanah dan bangunan tersebut. Tetapi, sebelum terjadinya perpindahan, tanah dan bangunan tersebut musnah (Terbakar). Dengan demikian, wajib pajak tersebut harus mengajukan pembatalanpengenaan pajak atas tanah dan bangunan tersebut.(Tidak batal dengan sendirinya/NICHTE)


ATAU Azas Yuridis, Ekonomis, Finansial dan Sosiologis

B.       AZAS YURIDIKSI PEMUNGUTAN

1)   Azas Domisili

Adalah azas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang. Jadi bagi siapapun, baik warga lokal maupun warga asing, selama tinggal di suatu tempat, maka akan dikenakan pajak sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku di tempat tersebut

2)   Azas Sumber

Pemungutan pajak ini dilihat berdasarkan sumber penghasilan dari Wajib Pajaknya. Jika sumber penghasilannya Indonesia, terlepas kewarganegaraannya, maka akan dikenakan pajak di Indonesia.

3)   Azas Kebangsaan

Pemungutan pajak ini dilihat berdasarkan kebangsaan atau kewarganegaraan Wajib Pajaknya. Seperti wajib pajak yang berwarga Negara Indonesia akan dikenakan pajak Indonesia, dimanapu wajib pajak tersebut berdomisili.
v  HAPUSNYA HUTANG PAJAK

1)        Pembayaran – Ps.1382 BW

Pembayaran hutang pajak ini mempunyai ketentuan-ketentuan yang berbeda seperti pembayaran hutang perdata, karena pembayaran hutang pajak ini merupakan hutang yang timbul akibat perikatan yang lahir karena UU, tentunya hapusnya hutang pajak pun telah diatur khusus oleh UU, seperti:

-       Cara pembayarannya yang sudah diatur
-       Tempat pembayarannya: contoh: bank persepsi, sebagai bank yang ditunjuk

-       Waktu pembayarannya

2)        Kompensasi Hutang – Ps. 1425 BW
Dalam hukum pajak dikenal yang namanya Kompensasi Hutang atau Perjumpaan Hutang.

Contohnya ketika WP mempunyai kelebihan bayar pajak, maka WP tersebut mempunyai 2 pilihan, yaitu dapat dijumpakan/dikompensasikan dengan Hutang Pajak tahun berikutnya atau dikembalikan atau diambil langsung uang lebih bayarnya (restitusi).

3)        Pembebasan Hutang – Ps. 1438 BW

Dalam pajak dikenal yang namanya pembebasan hutang. Seperti WP yang memang hilang (tidak bisa ditemukan) atau meninggal dunia dan tidak mempunyai harta yang cukup untuk membayar pajak selama hidupnya, maka hutang pajaknya akan dihapuskan

4)        Pembatalan/Kebatalan – Ps. 1446 BW

Misalnya: ketika terjadi salah hitung nilai pajak atau terjadi salah tulis nama, maka itu dapat dimintakan pembatalan kepada Pejabat Pajak

5)        Daluwarsa – Ps. 1946 BW

Demi kepastian hukum, dalam Pajak dikenal yang namanya Daluwarsa, dimana telah ditentukan waktu selama 5 tahun bagi fiscus untuk dapat menagih pajak kepada WP. Jika lewat 5 tahun, maka Fiscus akan kehilangan haknya untuk menagih pajak kepada WP

Sedangkan yang tidak menyebabkan hapusnya hutang pajak, sebagaimana hapusnya perikatan pada umumnya, yaitu:

1)        Konsignasi/Penitipan – Ps. 1404 BW

Ini tidak bisa dilakukan, karena dasar dari konsignasi adalah perjanjian, sedangkan pajak adalah hutang akibat perikatan yang timbul karena UU

2)        Novatie – Ps. 1412: Pembaharuan Hutang



3)        Percampuran Hutang – Ps. 1436 BW

Percampuran hutang itu terjadi karena perkawinan yang dasarnya adalah perjanjian. Tentunya ini tidak berlaku untuk pajak

4)        Musnahnya barang – Ps 1444

Di pajak tidak dikenal perjanjian-perjanjian penghapusan hutang karena musnahnya barang. Beda halnya dengan Perdata yang dikenal dengan NICHTE atau batal demi hukum, sedangkan Pajak dasarnya adalah bukan perjanjian

5)        Dipenuhinya Syarat Batal – Ps. 1265 BW
Karena pemenuhan syarat batal itu hanya terdapat pada perjanjian

v  SISTEM PUNGUTAN PAJAK

1)         Sistem dipungut di Muka (Voor heffing) Pajak dipungut pada awal tahun.

Contoh: Pajak PBB

2)         Sistem pungutan di belakang (na effing) Pajak dipungut pada akhir tahun Contoh: PPH

3)         Sistem Fiksi

Pungutan pajak dengan tidak sebenarnya atau tidak riil. Biasanya terdapat pada Pajak zaman dahulu. Saat ini aplikasinya kurang lebih sama dengan PPH Masa (PPH Pasal 25) atau PPH yang dicicil, dimana PPH-nya sudah dapat mulai dibayar di awal tahun, meski jumlah PPH yang seharusnya dibayarkan belum diketahui (karena baru dapat diketahui pada akhir tahun). Sehingga besaran nilai PPH terutangnya dengan menggunakan patokan PPH dari tahun sebelumnya. Jika nantinya PPH finalnya sudah keluar, maka jumlah yang sudah dibayarkan dapat dijumpakan ke PPH Tahun berikutnya jika ternyata kondisinya pajak yang telah kita bayarkan berlebih (lebih bayar)

4)         Sistem Riil
PPH yang sudah final atau riil penghitungannya pada akhir tahun, dimana merupakan PPH Pasal 29.

5)         Sistem Campuran
PPH Pasal 25 dan Pasal 29

6)         Sistem Self Assesment

7)         Sistem Official Assessment

8)         Sistem Witholding Tax

Sistem pungutan pada sumbernya, yaitu ketika pajak kita PPH Pasal 22, yaitu

9)         Kredit Pajak
PPH Pasal 25, ketika pajaknya dapat dikredit.

v  REFORMASI PAJAK

A.     Sebelum 1983

Pajak di Indonesia mengalami reformasi besar-besaran sejak tahun 1983. Sebelum tahun 1983, Indonesia masih menggunakan system hukum Pajak dari Belanda, seperti Inkomsten Belasting (PPH), Verponding (Pajak atas tanah Hak Barat bertransformasi menjadi PBB), Vermogens Belasting, dll. Semua peraturan pajak tersebut menggunakan bahasa belanda

B.       Setelah 1983 - Reformasi Pajak Dimulai

Sejak tahun 1983, Pemerintah memutuskan untuk melaksanakan Reformasi Pajak, karena beberapa alasan dan tujuan, yaitu

1.   System pajak Belanda terlalu banyak dan tidak sistematis, dimana semua setiap aspek diatur dalam masing-masing peraturan yang berbeda. Dengan reformasi Pajak kini, diharapkan beberapa peraturan yang berbeda dapat disatukan/digabungkan menjadi satu peraturan yang sama. Selain itu, juga untuk menyederhanakan aturan-aturan tentang pajaknya itu sendiri, seperti menyederhanakan penghitungan tariff pajak dan lain lain.
2.   Untuk menyesuaikan dengan struktur organisasi Negara kita, dimana kita sudah mempunyai konstitusi, sehingga harus menyesuaikan dengan filosofi dan falsafah Negara Indonesia
3.   Untuk menambah pendapatan Negara atau APBN dari sektor Pajak, karena sejak tahun 1983 dirasakan cadangan migas Indonesia semakin menipis, sehingga perlu dicari alternative pemasukan bagi keuangan Negara

v  UKUM POSITIF PAJAK

A.        Hukum Formal

Hukum Formal Pajak adalah hukum atau ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Hukum Materiilnya.

Hukum Formal Pajak ini tidak diatur dalam satu Peraturan saja, melainkan diatur dalam beberapa peraturan, yaitu:

1)   UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir diubah melalui UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga ("UU KUP").

2)   UU No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah melalui UU No. 19 Tahun 2000 ("UU PPSP")

3)   UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak ("UU Pengadilan Pajak")

B.        Hukum Materiil

Hukum Materiil adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Subjek, Objek dan Tariff Pajak. Hukum Materiil ini terdiri dari:

1)      UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir diubah melalui UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga ("UU PPH").

2)      UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No. 18 Tahun 2000 ("UU PPN & PPnBM")

3)      UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No.12 Tahun 1994 ("UU PBB")

4)      UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan ke-1 ("UU BPHTB")

5)      UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai ("UU BM")

v  SEJARAH LAHIRNYA PENGADILAN PAJAK
-        Pada awalnya lahir suatu lembaga yang bernama Majelis Pertimbangan Pajak (“MPP”).

-       Jika ditafsirkan dari Penjelasan Pasal 58 UU No. 5 Tahun 1986 (“UU TUN”), MPP ini merupakan Banding

Administrasi, yang mana bukan merupakan suatu badan peradilan yang mandiri, melainkan suatu lembaga yang mengakomodir Upaya Banding dari Keberatan dan putusannya masih didalam ruang lingkup Putusan Tata Usaha Negara

-       Tapi ternyata, hal tersebut bertentangan dengan UU KUP yang mengamanatkan bahwa upaya banding harus dilakukan oleh suatu badan peradilan yang mandiri, yang putusannya bukan merupakan putusan Pejabat Tata Usaha Negara. Sehingga MPP ini diganti dan dibentuk suatu lembaga baru, yaitu Badan Penyelesai Sengketa Pajak (“BPSP”)






-       Tapi ternyata pada kenyataannya BPSP ini tidak dapat disebut mandiri, karena sebenarnya BPSP ini tidak bermuara ke Mahkamah Agung, yaitu suatu lembaga tertinggi dari peradilan yang bebas dan independent. Dalam konsiderannya sama sekali tidak mengacu kepada UU Kekuasaan Kehakiman. Pada dasarnya suatu lembaga peradilan dapat dikatakan suatu lembaga yang bebas dan independen, jika lembaga peradilan tersebut berada di bawah kekuasaan kehakiman, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung.

-       Sehingga dapat diperdebatkan bahwa BPSP ini masih merupakan Lembaga untuk Upaya Banding Administratif. Hal ini diperkuat dengan preseden dari kasus Tommy Soeharto, yang pada waktu itu mengajukan bandingnya tidak ke BPSP sebagaimana yang diamanatkan oleh KUP, melainkan mengajukan ke PT TUN, karena Tommy Soeharto menganggap bahwa BPSP tidak mandiri. Disinilah akhirnya timbul dualisme pemahaman mengenai suatu lembaga yang independent dan mandiri dalam menyelesaikan sengketa pajak.

-       Karena dualisme itulah, akhirnya dengan UU 14 tahun 2002, dibentuk suatu Lembaga Peradilan yang independent dan mandiri, yaitu Peradilan Pajak, yang mana dalam konsiderannya sudah mengacu kepada UU Kekuasaan Kehakiman.
-       Hanya saja, Pengadilan Pajak inipun masih dipertanyakan kemandiriannya/independensinya karena pada kenyataannya secretariat dari Pengadilan Pajak ini masih dibawah Kementerian Keuangan, bukan Mahkamah Agung

v  UU KUP

1) Keberlakuan UU KUP
UU KUP ini berlaku untuk semua jenis Pajak yang diberlakukan kepada Masyarakat.
Tapi meski demikian, juga ada jenis-jenis pajak tertentu yang membuat aturan formil dan materiilnya dalam satu peraturan, contohnya adalah PBB. Hal ini karena sulit untuk menyatukan aturan-aturan terkait dengan PBB yang sifatnya adalah Pajak Objektif, dengan pajak-pajak lainnya yang bersifat Subjektif. Contohnya NPWP sama sekali tidak dikenal dalam PBB, melainkan hanya digunakan pada PPH, PPN (Pajak Subjektif), yang mana sifatnya Self Assessment
2) Bentuk Hukum Formil

Hukum Formil ini dapat berupa Undang Undang dan juga Peraturan Perundang-Undangan dibawahnya. Sedangkan untuk hukum Materiil, WAJIB diatur dalam bentuk Undang Undang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar