Minggu, 02 September 2018

HUKUM PAJAK 2


Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
NPWP
Pasal 2 (1) KUP :
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
 ayat (2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (3): Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
  1. tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
  2. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
Ayat (4): Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
FUNGSI:
          Merupakan suatu sarana Administrasi perpajakan yang digunakan sebagai       tanda pengenal diri atau identitas WP.
          Berguna untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak & dalam pengawasan adm pajak.
SANKSI:
Pasal 39 KUP: Min 6 bl maks 6 tahun penjara dan Denda min 2x  jumlah utang pajaknya, maks 4x jumlah utang pajaknya
HAPUSNYA NPWP Psl 2 ayat (6):
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
  1. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
  2. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
  3. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
  4. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
SPT
Ø  Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ø  Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu (di bwh PTKP) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ø  Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a.       pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
b.      penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
c.       harta dan kewajiban; dan/atau
pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Ø  Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a.       pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b.      pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ø   Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Ø  Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
Ø  Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
Ø  Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya,
Ø  dan sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan
serta sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.

SENGKETA PAJAK - PASAL 25
1.      Dalam pelaksanaan pembayaran pajak, sangat dimungkinkan jika jumlah pajak yang WP bayarkan tidak sesuai dengan perhitungan pajak yang dilakukan oleh Fiscuss, sehingga fisccus pajak akhirnya menerbitkan SKP kepada WP, seperti (Pasal 25 KUP):
a.       SKP Kurang Bayar
b.      SKP Kurang Bayar Tambahan
c.       SKP Nihil
2.      Contohnya WP merasa telah membayar pajak terlalu besar (Lebih Bayar), tapi Fiscuss menerbitkan SKP Nihil
a.       SKP Lebih Bayar

3.      Contohnya WP merasa
a.       Pemotongan atau Pemungutan Pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

4.      Terkait dengan SKP yang diterima dari Fiscuss tersebut, WP dapat mengajukan upaya hukum dalam bentuk Upaya Administrasi sebagaimana yang ditentukan dalam aturan Sengketa Tata Usaha Negara.

5.      Langkah atau saluran pertama yang dapat dilakukan dalam Upaya Administrasi untuk menyelesaikan sengketa atau konflik tersebut adalah mengajukan Surat Keberatan yang ditujukan kepada Dirjen Pajak cq. KPP atas SKP yang dikeluarkan oleh Fiscuss

6.      Setelah menerima Surat Keberatan dari WP, maka Dirjen Pajak/KPP akan mengeluarkan Surat Keputusan terhadap Surat Keberatan tersebut. Dan jika ternyata WP tidak puas atas Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak/KPP tersebut, maka WP dapat mengajukan upaya hukum berikutnya, yaitu mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak.

7.      KUP telah mengatur bahwa Putusan Banding dari Pengadilan Pajak adalah Final & Binding, yang berarti telah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diajukan upaya hukum berikutnya.

8.      Hanya saja, jika WP masih tidak puas terhadap Putusan Banding dari Pengadilan Pajak, WP dapat mengajukan Upaya Hukum Luar Biasa, yaitu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Hanya saja, upaya PK ini bukan lanjutan dari upaya banding.

9.      KUP mengatur bahwa dengan adanya sengketa pajak ini, hutang pajaknya tetap harus dibayar terlebih dahulu sebesar jumlah yang disepakati bersama antara WP dan Fiscuss Pajak. Dengan kata lain, dalam hal WP mengajukan keberatan, tidak menunda uang yang masuk ke dalam Negara. Intinya APBN harus tetap ada/"mengebul".

UPAYA PERADILAN PAJAK: UPAYA KEBERATAN & UPAYA BANDING

Dalam pajak, terdapat dua upaya peradilan pajak yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam rangka mencari keadilan terhadap Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh Fiscuss, yaitu Upaya Keberatan yang diajukan kepada Fiscuss Pajak itu sendiri dan Upaya Banding yang diajukan kepada Pengadilan Pajak.
Upaya Keberatan ini termasuk Peradilan Tidak Murni, sedangkan Upaya Banding ini termasuk Pengadilan Murni.
Perbedaan antaran Peradilan Tidak Murni dan Peradilan Murni adalah:
1.       Peradilan Administrasi Tidak Murni/Quasi Peradilan/Peradilan Semu/Doleansi  Peradilan ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu WP selaku yang berkewajiban untuk melaksanakan surat ketetapan Fiscuss dan Fiscuss itu sendiri sebagai pihak yang mengeluarkan surat ketetapan yang dijadikan sebagai objek sengketa sekaligus sebagai pihak yang mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang bersangkutan.  Sehingga, keputusan yang dikeluarkan peradilan ini adalah dari Pejabat Administrasi Tata Usaha Negara yang sebenarnya bersangkutan atau berhubungan dengan perkara itu sendiri.
2.       Peradilan Administrasi Murni  Peradilan Murni adalah peradilan yang selain melibatkan para pihak yang bersengketa, tetapi juga melibatkan pihak yang independent/mandiri yang mana tidak sama sekali terkait dengan perkaranya. Jadi dalam Peradilan Administrasi Murni terdiri dari 3 pihak, yaitu WP dan Fiscuss selaku pihak yang bersengketa serta Majelis Hakim dari Pengadilan Pajak selaku pihak yang memutuskan perkara tersebut.

UPAYA PAKSAAN

PAKSAAN
PAKSAAN ADALAH TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KREDITUR ATAU ORANG  YANG MEMPUNYAI HAK (DALAM HAL INI PEMERINTAH), TERHADAP DEBITUR ATAU  ORANG YANG MEMPUNYAI KEWAJIBAN  MENURUT KETENTUAN UU ATAU BERDASARKAN UU, UNTUK MEMAKSA ORANG YANG MEMPUNYAI KEWAJIBAN MELAKUKAN PRESTASI YANG DIPERJANJIKAN ATAU YANG DITENTUKAN OLEH UU.
PAKSAAN DAPAT BERUPA PAKSAAN MORAL, MATERI DAN PAKSAAN FISIK, SESUAI DENGA KETENTUAN UU.
SURAT PAKSA ADALAH:
KETENTUAN TERTULIS DARI PEJABAT YANG BERWENANG DENGAN TITEL EKSEKUTORIAL, YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG PASTI YANG MEWAJIBKAN WP YANG NAMANYA TERCANTUM DALAM SURAT PAKSA , UNTUK MEMBAYAR PAJAK-PAJAK YANG DISEBUT DALAM SURAT PAKSA, DALAM JANGKA WAKTU YG DITENTUKAN, DENGAN ANCAMAN SITA.

Jika dalam sengketa pajak, ternyata WP ternyata tidak mau membayar Hutang Pajak, maka akan dilakukan upaya berikutnya, yaitu Upaya Paksaan, yang terdiri dari diberikannya suatu Peringatan, Teguran, hingga akhirnya diterbitkan Surat Paksa.
1.    Upaya Paksaan adalah Tindakan hukum yang dilakukan oleh kreditur atau orang yang mempunyai hak, dalam hal ini adalah Pemerintah/Fiscuss, terhadap Debitur atau orang yang mempunyai kewajiban menurut ketentuan UU atau berdasarkan UU, untuk memaksa orang yang mempunyai kewajiban atau yang ditentukan oleh UU

2.   Upaya Paksaan ini berbeda-beda antara Paksaan dalam Hukum Pidana, Perdata dan Hukum Administrasi Negara, yaitu:
1.      Paksaan Pidana: Kurungan dan Penjara sebagaimana yang diatur dalam KUHP
2.      Paksaan Perdata: Paksaan yang berasal dari Putusan Pengadilan dan dari Luar Pengadilan, seperti
3.      Paksaan Hukum Administrasi Negara adalah berupa Paksaan Moral, Materi dan Fisik (Gizzeling)

3.   Bentuk konkret dari Upaya Paksa ini adalah diterbitkannya SURAT PAKSA oleh Fiscuss kepada WP, yaitu ketentuan tertulis dari Pejabat yang berwenang dengan Titel Eksekutorial (Mempunyai kekuatan Eksekusi layaknya Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan dan mempunyai Irah Irah:"demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa") yang mempunyai kekuatan hukum pasti yang mewajibkan WP yang tercantum namanya pada Surat Paksa untuk membayar pajak-pajak yang disebut dalam Surat Paksa dalam jangka waktu yang ditentukan dengan ancaman sita atau lelang.

Surat Paksa ini merupakan PARATE EKSEKUSI, yaitu Eksekusi di Luar Pengadilan, tetapi mempunyai kedudukan yang sama dengan Eksekusi Pengadilan, karena terdapat Titel Eksekutorialnya
Surat Paksa ini bertujuan untuk menagih pajak terhutang dari WP demi terpenuhinya fungsi budgeter dalam pajak, yaitu memenuhi APBN

UPAYA LANJUTAN SETELAH SURAT PAKSA – GUGATAN MASALAH FORMAL
Ketika dalam sengketa Pajak dimana WP sebenarnya tetap diwajibkan untuk membayar terlebih dahulu Hutang Pajaknya, tapi ternyata WP tersebut tetap tidak mau membayar meski sudah diperingatkan, ditegur dan bahkan telah diberikan Surat Paksa, maka ada satu upaya hukum berikutnya yang dapat dilakukan oleh WP tersebut, yaitu:
1.      Mengajukan upaya keberatan terhadap kekurangan formal dari Surat Paksa tersebut, seperti Surat Paksa tersebut ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang atau Surat Paksa tersebut disampaikan dalam waktu yang tidak tepat sebagaimana yang telah ditentukan oleh UU PPPSP

2.      Upaya keberatan tersebut diajukan melalui suatu pengajuan Gugatan ke Pengadilan Pajak yang isinya hanya berisi tentangan atau keberatan terhadap unsur formal dari Surat Paksa tersebut, dan tidak bisa berisi tentangan terhadap Unsur Materiilnya. Hal ini dikarenakan unsur materiilnya telah diperiksa dalam upaya-upaya sebelumnya, yaitu upaya Keberatan dan Upaya banding.

3.      Setelah ini semua dilakukan, tetapi WP masih tidak mau membayar, barulah dilakukan upaya Sita atau Paksa badan

PEMBUKUAN - PASAL 28
1.      Masalah Pembukuan ini sebenarnya sudah diatur dalam Hukum Perdata, sebagaimana yang diatur dalam KUHD dan UU No. 18 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Masalah pembukuan ini akan berguna nantinya ketika dijadikan sebagai alat bukti dalam Pengadilan. Hanya saja, dalam Hukum Perdata tidak mengatur mengenai sanksi-sanksi jika tidak dilakukan Pembukuan ini. Konsekuensi jika tidak dilakukannya Pembukuan hanya tidak ada atau kurangnya alat bukti yang dapat diberikan dalam Pengadilan.

2.      Hal tersebut sangat berbeda sekali dalam Hukum Pajak, dimana Pembukuan dalam dalam Hukum Pajak adalah hal yang sangat penting dan wajib, karena pembukuan tersebut yang dituangkan dalam Laporan Keuangan merupakan dasar pertimbangan untuk menimbulkan hutang pajak. Pembukuan inilah yang nantinya akan bersedia data tentang penghasilan seseorang yang nantikan akan dimasukkan kedalam SPT dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan SPT.

3.      Pembukuan atau Laporan Keuangan ini akan menjadi bagian dari SPT (lampiran) yang akan dilaporkan dan ketika tidak dilampirkan Pembukuan atau Laporan Keuangan tersebut dalam SPT, maka SPT tersebut akan dianggap tidak ada atau dianggap tidak/belum memasukkan SPT, sehingga akan ada sanksi karena tidak memasukkan SPT. Pembukuan yang dilakukan ini harus mengikuti norma-norma Ikatan Akuntasi Indonesia (IAI), yang berarti pembukuan ini harus dilakukan oleh Akuntan Publik yang terdaftar.

4.      Oleh karena dalam hukum perdata tidak diatur mengenai sanksi-sanksi jika tidak menyelenggarakan Pembukuan, sedangkan dipajak sangat penting dan dibutuhkan, maka dalam hukum pajak ini, yang bersifat Lex Spesialis, mengatur dengan jelas sanksi-sanksi yang dikenakan bagi WP yang wajib menyelenggarakan Pembukuan.

KEWAJIBAN PEMBUKUAN BAGI WP
A. WP yang WAJIB Melakukan Pembukuan – Pasal 28 (1) KUP
Pasal 28 (1) KUP ini menjelaskan bahwa terdapat Wajib Pajak yang WAJIB untuk melakukan Pembukuan, yaitu:
- WP orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas
- WP Badan

B. WP yang TIDAK WAJIB (DIKECUALIKAN) Melakukan Pembukuan – Pasal 28 ayat (2) KUP
a.    Pasal 28 ayat (2) KUP ini menjelaskan bahwa ada WP yang dikecualikan atau dapat tidak melakukan Pembukuan, yaitu hanya WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas, dimana sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 14 UU PPH.

b.   Meski WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas tersebut dikecualikan atau tidak wajib melakukan pembukuan, tetapi WP tersebut tetap diwajibkan untuk melakukan Pencatatan dengan menghitung penghasilan nettonya dengan cara menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas. Yang arti WP tersebut dapat melakukan pencatatan biasa saja, tanpa perlu mengikuti Norma-norma IAI.

 WP YANG DIKECUALIKAN MEMBUAT PEMBUKUAN – PASAL 14 UU PPH
1.      Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ada WP yang dikecualikan untuk melakukan pembukuan, yaitu WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas yang telah ditentukan oleh UU, yaitu dalam hal ini adalah Pasal 14 UU PPh.

2.      WP yang dikecualikan tersebut, sebagaimana yang telah ditentukan pada Pasal 14(2) UU PPh adalah para WP yang penghasilan bruto 1 tahunnya kurang dari Rp4,8 Milyar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan bebas yang berpenghasilan kurang dari 4,8 Milyar tidak perlu atau DIKECUALIKAN untuk melakukan pembukuan.

3.      Pasal 14 (1) UU PPh menjelaskan mengenai Norma Penghitungan yang harus digunakan oleh WP yang dikecualikan yang tidak mau melakukan pembukuan, yaitu Norma Penghitungan Penghasilan Nettonya adalah suatu Prosentase yang dibuat, disempurnakan dan dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jadi Norma yang digunakan benar-benar tergantung dari yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak

4.      Hanya saja, meski WP yang dikecualikan dapat melakukan pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan dengan Prosentase yang disediakan oleh Dirjen pajak, tetapi WP yang dikecualikan tersebut pun dapat melakukan pembukuan jika memang diinginkan. Karena sebenarnya pada kenyataanya, WP yang dikecualikan tersebut lebih senang melakukan pembukuan, karena WP tersebut tidak tergantung dengan Prosentase yang disediakan oleh Dirjen Pajak, melainkan benar-benar dihitung dari untung ruginya suatu usaha yang benar-benar diketahui oleh WP tersebut.

TINDAKAN FISCUS BAGI WP YANG TIDAK MEMBUAT PEMBUKUAN
Bagi para WP yang sebenarnya telah diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan, tapi ternyata tidak melakukannya, maka Fiscuss secara Ex Officio akan memperhitungkan pajak dan menerbitkan SKP bagi WP tersebut.
SKP ini sebenarnya adalah bentuk sanksi bagi WP yang lalai menyelenggarakan pembukuan, sebagaimana sesuai dengan fungsi SKP dalam ajaran materiil, karena pada dasarnya PPH itu adalah self assessment system yang memberikan kebebasan bagi WP untuk melakukan penghitungan sendiri. Dan sanksi ini pun dapat berkembang menjadi sanksi pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar