Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
NPWP
Pasal 2 (1) KUP :
Setiap Wajib Pajak yang
telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
ayat (2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha
yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha,
dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Pajak.
Ayat (3): Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan:
- tempat pendaftaran dan/atau tempat
pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2);
dan/atau
- tempat pendaftaran pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu.
Ayat (4): Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena
Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2).
FUNGSI:
•
Merupakan suatu sarana Administrasi perpajakan
yang digunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas WP.
•
Berguna untuk menjaga ketertiban dalam
pembayaran pajak & dalam pengawasan adm pajak.
SANKSI:
Pasal 39 KUP: Min 6 bl
maks 6 tahun penjara dan Denda min 2x
jumlah utang pajaknya, maks 4x jumlah utang pajaknya
HAPUSNYA NPWP Psl 2
ayat (6):
Penghapusan Nomor Pokok
Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
- diajukan permohonan penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila
Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
- Wajib Pajak badan dilikuidasi
karena penghentian atau penggabungan usaha;
- Wajib Pajak bentuk usaha tetap
menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
- dianggap perlu oleh Direktur
Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak
yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
SPT
Ø Setiap
Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas,
dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata
uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ø Dikecualikan
dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak
Penghasilan tertentu (di bwh PTKP) yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Ø Fungsi
Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a.
pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
b.
penghasilan
yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
c.
harta
dan kewajiban; dan/atau
pembayaran
dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang
pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan
Ø Bagi Pengusaha
Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan
dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang:
a.
pengkreditan
Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b.
pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak
dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ø Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi
Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Ø Apabila Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar
Ø Rp. 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
Ø Rp. 100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya,
Ø dan sebesar Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan
serta sebesar
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
SENGKETA PAJAK - PASAL 25
1.
Dalam pelaksanaan pembayaran pajak, sangat
dimungkinkan jika jumlah pajak yang WP bayarkan tidak sesuai dengan perhitungan
pajak yang dilakukan oleh Fiscuss, sehingga fisccus pajak akhirnya menerbitkan
SKP kepada WP, seperti (Pasal 25 KUP):
a. SKP Kurang Bayar
b. SKP Kurang Bayar Tambahan
c.
SKP
Nihil
2.
Contohnya WP merasa telah membayar pajak
terlalu besar (Lebih Bayar), tapi Fiscuss menerbitkan SKP Nihil
a.
SKP
Lebih Bayar
3.
Contohnya WP merasa
a.
Pemotongan atau Pemungutan Pajak oleh pihak
ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
4.
Terkait dengan SKP yang diterima dari Fiscuss
tersebut, WP dapat mengajukan upaya hukum dalam bentuk Upaya Administrasi
sebagaimana yang ditentukan dalam aturan Sengketa Tata Usaha Negara.
5.
Langkah
atau saluran pertama yang dapat dilakukan dalam Upaya Administrasi untuk
menyelesaikan sengketa atau konflik tersebut adalah mengajukan Surat Keberatan
yang ditujukan kepada Dirjen Pajak cq. KPP atas SKP yang dikeluarkan oleh
Fiscuss
6.
Setelah menerima Surat Keberatan dari WP, maka
Dirjen Pajak/KPP akan mengeluarkan Surat Keputusan terhadap Surat Keberatan
tersebut. Dan jika ternyata WP tidak puas atas Surat Keputusan yang dikeluarkan
oleh Dirjen Pajak/KPP tersebut, maka WP dapat mengajukan upaya hukum
berikutnya, yaitu mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak.
7.
KUP telah mengatur bahwa Putusan Banding dari
Pengadilan Pajak adalah Final & Binding, yang berarti telah berkekuatan
hukum tetap dan tidak dapat diajukan upaya hukum berikutnya.
8.
Hanya saja, jika WP masih tidak puas terhadap
Putusan Banding dari Pengadilan Pajak, WP dapat mengajukan Upaya Hukum Luar
Biasa, yaitu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Hanya saja,
upaya PK ini bukan lanjutan dari upaya banding.
9.
KUP mengatur bahwa dengan adanya sengketa pajak
ini, hutang pajaknya tetap harus dibayar terlebih dahulu sebesar jumlah yang
disepakati bersama antara WP dan Fiscuss Pajak. Dengan kata lain, dalam hal WP
mengajukan keberatan, tidak menunda uang yang masuk ke dalam Negara. Intinya
APBN harus tetap ada/"mengebul".
UPAYA PERADILAN PAJAK: UPAYA KEBERATAN &
UPAYA BANDING
Dalam pajak,
terdapat dua upaya peradilan pajak yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam
rangka mencari keadilan terhadap Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh Fiscuss,
yaitu Upaya Keberatan yang diajukan kepada Fiscuss Pajak itu sendiri dan Upaya
Banding yang diajukan kepada Pengadilan Pajak.
Upaya Keberatan
ini termasuk Peradilan Tidak Murni, sedangkan Upaya Banding ini termasuk
Pengadilan Murni.
Perbedaan antaran Peradilan Tidak Murni dan
Peradilan Murni adalah:
1. Peradilan
Administrasi Tidak Murni/Quasi Peradilan/Peradilan Semu/Doleansi Peradilan ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu WP selaku yang berkewajiban untuk
melaksanakan surat ketetapan Fiscuss dan Fiscuss itu sendiri sebagai pihak yang mengeluarkan surat
ketetapan yang dijadikan sebagai objek sengketa sekaligus sebagai pihak yang
mengambil keputusan dalam perselisihan pajak yang bersangkutan. Sehingga, keputusan yang dikeluarkan
peradilan ini adalah dari Pejabat Administrasi Tata Usaha Negara yang
sebenarnya bersangkutan atau berhubungan dengan perkara itu sendiri.
2. Peradilan
Administrasi Murni Peradilan
Murni adalah peradilan yang selain melibatkan para pihak yang bersengketa,
tetapi juga melibatkan pihak yang independent/mandiri yang mana tidak sama
sekali terkait dengan perkaranya. Jadi dalam Peradilan Administrasi Murni
terdiri dari 3 pihak, yaitu WP dan Fiscuss selaku pihak yang bersengketa serta
Majelis Hakim dari Pengadilan Pajak selaku pihak yang memutuskan perkara
tersebut.
UPAYA PAKSAAN
PAKSAAN
PAKSAAN ADALAH TINDAKAN
HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KREDITUR ATAU ORANG
YANG MEMPUNYAI HAK (DALAM HAL INI PEMERINTAH), TERHADAP DEBITUR
ATAU ORANG YANG MEMPUNYAI KEWAJIBAN MENURUT KETENTUAN UU ATAU BERDASARKAN UU,
UNTUK MEMAKSA ORANG YANG MEMPUNYAI KEWAJIBAN MELAKUKAN PRESTASI YANG
DIPERJANJIKAN ATAU YANG DITENTUKAN OLEH UU.
PAKSAAN DAPAT BERUPA
PAKSAAN MORAL, MATERI DAN PAKSAAN FISIK, SESUAI DENGA KETENTUAN UU.
SURAT PAKSA ADALAH:
KETENTUAN TERTULIS DARI
PEJABAT YANG BERWENANG DENGAN TITEL EKSEKUTORIAL, YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM
YANG PASTI YANG MEWAJIBKAN WP YANG NAMANYA TERCANTUM DALAM SURAT PAKSA , UNTUK
MEMBAYAR PAJAK-PAJAK YANG DISEBUT DALAM SURAT PAKSA, DALAM JANGKA WAKTU YG
DITENTUKAN, DENGAN ANCAMAN SITA.
Jika dalam
sengketa pajak, ternyata WP ternyata tidak mau membayar Hutang Pajak, maka akan
dilakukan upaya berikutnya, yaitu Upaya Paksaan, yang terdiri dari diberikannya
suatu Peringatan, Teguran, hingga akhirnya diterbitkan Surat Paksa.
1. Upaya
Paksaan adalah Tindakan hukum yang dilakukan oleh kreditur atau orang
yang mempunyai hak, dalam hal ini adalah Pemerintah/Fiscuss, terhadap Debitur
atau orang yang mempunyai kewajiban menurut ketentuan UU atau berdasarkan UU,
untuk memaksa orang yang mempunyai kewajiban atau yang ditentukan oleh UU
2. Upaya
Paksaan ini berbeda-beda antara Paksaan dalam Hukum Pidana, Perdata dan Hukum
Administrasi Negara, yaitu:
1.
Paksaan Pidana: Kurungan dan Penjara sebagaimana
yang diatur dalam KUHP
2.
Paksaan Perdata: Paksaan yang berasal dari
Putusan Pengadilan dan dari Luar Pengadilan, seperti
3. Paksaan
Hukum Administrasi Negara adalah berupa Paksaan Moral, Materi dan Fisik (Gizzeling)
3. Bentuk
konkret dari Upaya Paksa ini adalah diterbitkannya SURAT PAKSA oleh Fiscuss kepada WP, yaitu ketentuan tertulis dari Pejabat yang berwenang dengan Titel Eksekutorial (Mempunyai kekuatan
Eksekusi layaknya Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan dan mempunyai Irah
Irah:"demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa") yang mempunyai kekuatan hukum
pasti yang mewajibkan WP yang tercantum namanya pada Surat Paksa untuk membayar
pajak-pajak yang disebut dalam Surat Paksa dalam jangka waktu yang ditentukan
dengan ancaman sita atau lelang.
Surat Paksa ini
merupakan PARATE EKSEKUSI, yaitu Eksekusi di Luar Pengadilan, tetapi mempunyai
kedudukan yang sama dengan Eksekusi Pengadilan, karena terdapat Titel
Eksekutorialnya
Surat Paksa ini bertujuan untuk menagih pajak terhutang dari WP demi terpenuhinya
fungsi budgeter dalam pajak, yaitu memenuhi APBN
UPAYA LANJUTAN SETELAH SURAT PAKSA – GUGATAN
MASALAH FORMAL
Ketika dalam
sengketa Pajak dimana WP sebenarnya tetap diwajibkan untuk membayar terlebih
dahulu Hutang Pajaknya, tapi ternyata WP tersebut tetap tidak mau membayar
meski sudah diperingatkan, ditegur dan bahkan telah diberikan Surat Paksa, maka
ada satu upaya hukum berikutnya yang dapat dilakukan oleh WP tersebut, yaitu:
1. Mengajukan
upaya keberatan terhadap kekurangan formal dari Surat Paksa tersebut, seperti
Surat Paksa tersebut ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang atau Surat
Paksa tersebut disampaikan dalam waktu yang tidak tepat sebagaimana yang telah
ditentukan oleh UU PPPSP
2. Upaya
keberatan tersebut diajukan melalui suatu pengajuan Gugatan ke Pengadilan Pajak
yang isinya hanya berisi tentangan atau keberatan terhadap unsur formal dari
Surat Paksa tersebut, dan tidak bisa berisi tentangan terhadap Unsur
Materiilnya. Hal ini dikarenakan unsur materiilnya telah diperiksa dalam upaya-upaya
sebelumnya, yaitu upaya Keberatan dan Upaya banding.
3. Setelah
ini semua dilakukan, tetapi WP masih tidak mau membayar, barulah dilakukan
upaya Sita atau Paksa badan
PEMBUKUAN - PASAL 28
1. Masalah
Pembukuan ini sebenarnya sudah diatur dalam Hukum Perdata, sebagaimana yang
diatur dalam KUHD dan UU No. 18 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Masalah
pembukuan ini akan berguna nantinya ketika dijadikan sebagai alat bukti dalam
Pengadilan. Hanya saja, dalam Hukum Perdata tidak mengatur mengenai sanksi-sanksi
jika tidak dilakukan Pembukuan ini. Konsekuensi jika tidak dilakukannya
Pembukuan hanya tidak ada atau kurangnya alat bukti yang dapat diberikan dalam
Pengadilan.
2. Hal
tersebut sangat berbeda sekali dalam Hukum Pajak, dimana Pembukuan dalam dalam
Hukum Pajak adalah hal yang sangat
penting dan wajib, karena pembukuan tersebut yang dituangkan dalam
Laporan Keuangan merupakan dasar
pertimbangan untuk menimbulkan hutang pajak. Pembukuan inilah yang
nantinya akan bersedia data tentang penghasilan seseorang yang nantikan akan
dimasukkan kedalam SPT dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan SPT.
3. Pembukuan
atau Laporan Keuangan ini akan menjadi bagian dari SPT (lampiran) yang akan
dilaporkan dan ketika tidak dilampirkan Pembukuan atau Laporan Keuangan
tersebut dalam SPT, maka SPT tersebut akan dianggap tidak ada atau dianggap
tidak/belum memasukkan SPT, sehingga akan ada sanksi karena tidak memasukkan
SPT. Pembukuan yang dilakukan ini harus mengikuti norma-norma Ikatan Akuntasi
Indonesia (IAI), yang berarti pembukuan ini harus dilakukan oleh Akuntan Publik
yang terdaftar.
4. Oleh
karena dalam hukum perdata tidak diatur mengenai sanksi-sanksi jika tidak
menyelenggarakan Pembukuan, sedangkan dipajak sangat penting dan dibutuhkan,
maka dalam hukum pajak ini, yang bersifat Lex Spesialis, mengatur dengan
jelas sanksi-sanksi yang dikenakan bagi WP yang wajib menyelenggarakan
Pembukuan.
KEWAJIBAN PEMBUKUAN BAGI WP
A. WP yang WAJIB Melakukan Pembukuan – Pasal 28 (1) KUP
Pasal 28 (1)
KUP ini menjelaskan bahwa terdapat Wajib
Pajak yang WAJIB untuk melakukan Pembukuan, yaitu:
- WP orang Pribadi yang
melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan
Bebas
- WP Badan
B.
WP yang TIDAK WAJIB (DIKECUALIKAN) Melakukan
Pembukuan – Pasal 28 ayat (2) KUP
a. Pasal
28 ayat (2) KUP ini menjelaskan bahwa ada WP yang dikecualikan atau dapat tidak melakukan Pembukuan, yaitu
hanya WP Orang Pribadi yang melakukan
Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas, dimana sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 14 UU PPH.
b.
Meski WP
Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas tersebut dikecualikan atau tidak wajib
melakukan pembukuan, tetapi WP tersebut tetap diwajibkan untuk melakukan Pencatatan dengan menghitung penghasilan
nettonya dengan cara menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas. Yang arti WP tersebut dapat melakukan
pencatatan biasa saja, tanpa perlu mengikuti Norma-norma IAI.
WP YANG DIKECUALIKAN MEMBUAT
PEMBUKUAN – PASAL 14 UU PPH
1.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa ada WP yang dikecualikan untuk
melakukan pembukuan, yaitu WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan
Usaha/Pekerjaan Bebas yang telah ditentukan oleh UU, yaitu dalam hal ini adalah
Pasal 14 UU PPh.
2.
WP yang dikecualikan tersebut, sebagaimana yang
telah ditentukan pada Pasal 14(2) UU
PPh adalah para WP yang penghasilan bruto 1 tahunnya kurang dari
Rp4,8 Milyar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan bebas yang
berpenghasilan kurang dari 4,8 Milyar tidak perlu atau DIKECUALIKAN untuk melakukan
pembukuan.
3.
Pasal
14 (1) UU PPh menjelaskan mengenai Norma Penghitungan yang harus
digunakan oleh WP yang dikecualikan yang tidak mau melakukan pembukuan, yaitu
Norma Penghitungan Penghasilan Nettonya adalah suatu Prosentase yang dibuat,
disempurnakan dan dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jadi Norma yang
digunakan benar-benar tergantung dari yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak
4.
Hanya saja, meski WP yang dikecualikan dapat
melakukan pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan dengan Prosentase
yang disediakan oleh Dirjen pajak, tetapi WP yang dikecualikan tersebut pun
dapat melakukan pembukuan jika memang diinginkan. Karena sebenarnya pada
kenyataanya, WP yang dikecualikan tersebut lebih senang melakukan pembukuan,
karena WP tersebut tidak tergantung dengan Prosentase yang disediakan oleh
Dirjen Pajak, melainkan benar-benar dihitung dari untung ruginya suatu usaha
yang benar-benar diketahui oleh WP tersebut.
TINDAKAN FISCUS BAGI WP YANG TIDAK MEMBUAT
PEMBUKUAN
Bagi para WP yang
sebenarnya telah diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan, tapi ternyata
tidak melakukannya, maka Fiscuss secara Ex Officio akan memperhitungkan
pajak dan menerbitkan SKP bagi WP tersebut.
SKP ini sebenarnya
adalah bentuk sanksi bagi WP yang lalai menyelenggarakan pembukuan, sebagaimana
sesuai dengan fungsi SKP dalam ajaran materiil, karena pada dasarnya PPH itu
adalah self assessment system yang memberikan kebebasan bagi WP untuk
melakukan penghitungan sendiri. Dan sanksi ini pun dapat berkembang menjadi
sanksi pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar