Abstrak
Salah satu hal yang menarik adalah karena
praktek sewa rahim banyak menggugat kemapanan struktur sosial di masyarakat
antara lain dengan hadirnya bayi-bayi mungil hasil persenyawaan suami istri
yang dititipkan pada seorang perempuan serta tidak terikat hubungan pernikahan
dengan suami dari istri tadi. Praktek sewa rahim ini mempunyai
indikasi pelanggaran terhadap hak-hak anak secara berantai, mulai dari hak
hidup sampai dengan hak waris dan nasab. Banyak
negara yang melegalkan akan tetapi banyak juga yang melarang. Demikian juga
para ulama, ada yang menghalalkan dengan syarat tertentu dan ada yang
mengharamkan tanpa syarat apapun.
Ditinjau dari aspek teknologi dan
ekonomi proses surrogate mother ini
cukup menjanjikan terhadap penanggulangan beberapa kasus infertilitas, tetapi
ternyata proses ini terkendala oleh aturan perundang-undangan yang berlaku
serta pertimbangan etika, norma-norma yang berlaku di Indonesia. Begitu juga
dengan perjanjian yang dibuat, apakah bisa berlaku berdasarkan hukum perikatan
nasional, terlebih-lebih objek yang diperjanjikan sangatlah tidak lazim, yaitu
rahim, baik sebagai benda maupun difungsikan sebagai jasa.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia di muka bumi
ini bertujuan untuk menjadikannya sebagai khalifah agar mengurusi persoalan
kehidupan di dunia. Oleh karenanya bersamaan dengan hal itu Allah SWT
menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan, dan menghasilkan keturunan yang
banyak, sehingga merekalah yang nantinya akan hidup di muka bumi ini sebagai
manusia-manusia yang mewarisi tugas untuk mengemban amanah tersebut.
Sudah menjadi fitrah manusia
berkeinginan untuk memiliki keturunan pada saat setelah berlangsungnya
pernikahan. Akan tetapi, masih banyak dari kalangan suami-istri yang menjumpai
hambatan untuk memperoleh keturunan. Sehingga ada beberapa diantara mereka yang
tidak dapat menghasilkan keturunan kemudian mengangkat seseorang untuk
dijadikannya sebagai anak.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi, cara untuk memperoleh anak pun dengan mudah didapatkan dengan
memanfaat teknologi yang telah berkembang di era globalisasi ini, maka
ditempuhlah dengan jalan menggunakan bayi tabung dan dengan cara sewa rahim
atau rental rahim atau surrogate mother.
Di Indonesia tentunya sudah tidak lazim
lagi mendengar kata bayi tabung, bahkan prakteknya sudah dilakukan secara
terbuka dan telah dilegalkan oleh pemerintah. Sedangkan untuk surrogate mother
itu sendiri masih kita dapatkan pro dan kontra mengenai tata cara dan praktek
dalam penggunannya.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana
Perlindungan Hak anak jika
anak tersebut di lahirkan dari Surrogate Mother di Indonesia?
C.
Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui pandangan hukum positif di Indonesia tentang Surrogate Mother.
2. Untuk
mengetahui perlindungan
hak anak yang lahir dari ibu penggnti ?
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Surrogate Mother
1.
Pengertian Surrogate
Mother
Perkembangan teknologi di bidang kedokteran, telah
menemukan metode baru yaitu inseminasi buatan yang
dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program bayi
tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang
dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri
yang tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan
pembuahan in virto fertilization (IVF) yang semakin pesat,
muncul ide surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational
agreement) yaitu wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu
perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan
imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai
keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.
Praktek surrogate mother atau lazim
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti/sewa rahim tergolong
metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia,
praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan
di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami
istri yang sah dengan ketentuan :
a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari
suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan
tertentu.[2]
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara
alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti
(surrogate mother), secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di luar cara alami dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat
keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 73/Menkes/Per/II/1999
tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan : Pasal 4, juga
menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan
kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya
terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik.
Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat
kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada
pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari
pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan
wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate
mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal
ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari
pasangan suami isteri tersebut.[3]
Bentuk-bentuk
Penyewaan Rahim [4]
1. Benih isteri (ovum) disenyawakan
dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.
Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik,
tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan yang terus, akibat
penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
2. Sama dengan bentuk yang pertama,
kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukan dan dimasukkan ke dalam
rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu.
3. Ovum isteri disenyawakan dengan
sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.
Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan
pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
4. Sperma suami disenyawakan dengan
ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan
ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovarium dan rahimnya tidak
mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid
(menopause).
5. Sperma suami dan ovum isteri
disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami
yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak
suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.
Latar
Belakang Terjadinya Sewa Rahim
Sewa
rahim biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, di antaranya adalah :
1. Seorang perempuan atau seorang istri
tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara normal karena memiliki penyakit
atau kecacatan yang dapat menghalanginya dari mengandung dan melahirkan anak.
2. Seorang perempuan tidak memiliki
rahim akibat tindakan operasi pembedahan rahim.
3. Perempuan tersebut ingin memiliki
anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak
dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya.
4. Perempuan yang ingin memiliki anak
tetapi masa haidnya telah putus haid (menopause).
5. Perempuan yang menjadikan rahimnya
sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan ekonominya.
. Konsep darurat dalam sewa rahim
Makna darurat
adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, dimana tidak mungkin dihindari
yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar larangan syar’i yang
bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang maka akan menyebabkan
sesuatu yang membahayakan dirinya .
Kemudian para
ulama’ memberikan persyaratan bagi seseorang bisa dikatakan dalam keadaan
darurat harus terdapat 5 syarat, syarat-syarat tersebut adalah;
a.
Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau
belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.
b.
Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.
c.
Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus
dilakukan sekadarnya saja.
d.
Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak
boleh melebihi waktu darurat tersebut.
e.
Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat
tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pandangan Hukum Di Indonesia Tentang
Surrogate Mother
1. Sewa Rahim dalam Tinjauan Hukum
Perdata
Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan
hukum perjanjian atau perikatan. Menurut pasal 1313 KUH Perdata,
perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu perbuatan dimana seseorang atau
beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain.
Dengan kata lain masing-masing orang yang mengadakan perjanjian mempunyai
keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Kemudian pada pasal
1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan sebagai sesuatu yang dilahirkan karena
perjanjian maupun undang-undang. Karena itu, berdasarkan kedua pasal
tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan merupakan undang-undang bagi
mereka dan termasuk kepada unsur perjanjian.
Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka
persyaratan dari suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak. Dalam
pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian meliputi bebarapa hal antara lain
: [5]
1. Kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu
pokok persoalan tertentu.
4. Suatu
sebab yang tidak terlarang.
Menurut Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate
mother dianggap tidak sah jika tidak memenuhi salah satu persyaratan
tersebut, antara lain persyaratan tentang adanya sebab yang halal. Surrogate
mother dinyatakan tidak sah dengan alasan tersebut dengan dalil
sebagai berikut : [6]
1. Melanggar peraturan
perundang-undangan yang ada (hukum positif):
a)
UU
RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi:
upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan
suami-istri yang sah dengan ketentuan:
1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari
suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan
tertentu.
b)
Permenkes
RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi
Reproduksi Buatan.
1. Pasal 4 : Pelayanan teknologi
reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang
terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan
serta berdasarkan pada suatu indikasi medik.
2. Pasal 10 :
1) Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan
administratif.
2) Tindakan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin
penyelenggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan.
c)
SK
Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di
RS, terdapat 10 pedoman:
1. Pelayanan teknologi buatan hanya
dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan;
(pedoman no.1)
2.
Pelayanan
reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga
kerangka pelayanan merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas
secara keseluruhan; (pedoman no.2)
3. Dilarang melakukan surrogacy dalam
bentuk apapun; (pedoman no.4)
2.
Bertentangan dengan kesusilaan:
a) Tidak sesuai dengan norma moral dan
adat istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di
lingkungannya.
b) Bertentangan dengan kepercayaan yang
dianut salah satu agama (Islam) karena terdapat unsur pokok yang mengharamkan
praktik surrogate mother, yaitu unsur zina.
3.
Bertentangan dengan ketertiban umum:
a. Akan menjadi pergunjingan di dalam
masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan
dikucilkan dari pergaulan.
b. Terlebih lagi bila status dari
wanita surrogate mother adalah gadis atau janda.
4. Point 1,2, dan 3 diperkuat dengan
pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi “perjanjian-perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas dinyatakan di dalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga pasal ini menyatakan
bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat
terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga
terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
5. Bertentangan juga terhadap
pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di mana rahim itu
bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (hukum sewa-menyewa)
yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio
mengatakan anak hasil bayi tabung merupakan anak sah. Namun jika embrio
diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis
status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang
mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
2. Perlindungan Anak Hasil Sewa Rahim
Sewa Rahim ditinjau dari Hak Asasi Anak
Anak adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak sebagaimana hak yang dimiliki orang
dewasa. Hak anak setara dengan hak orang dewasa. Akan tetapi dalam kasus
penyewaan rahim anak diperlakukan sebagaimana barang atau benda yang dapat
berpindah dari ibu yang satu ke ibu yang lain. Hak anak untuk mendapatkan
kasih sayang dari ibu yang melahirkan hilang karena tergerus oleh perjanjian
orang dewasa, yang satu bermotif ekonomi dan yang lainya bermaksud memenuhi
segala macam keinginannya yang tidak mampu ia dapatkan. Akibat dari tarik
menarik dua kehendak ini, anak dijadikan sebagai obyek “perdagangan”.
Praktek sewa rahim atau ibu pengganti tidak disadari sudah
menghancurkan masa depan kehidupan manusia. Bagaimana mungkin seorang ibu
tega memberikan bayi yang dikandung dan dilahirkannya kepada orang lain,
padahal ia sudah mempertaruhkan nyawanya sendiri. Dari beberapa indikasi
terjadinya praktek sewa rahim latar belakang ekonomilah yang paling kuat
melandasi praktek sewa rahim tersebut, sehingga untuk mengadakan perjanjian
tidak mempertimbangkan akibat-akibat yang mungkin akan dialaminya, baik bagi
dirinya sediri maupun bagi bayi yang akan dilahirkannya kelak.
Dalam
kasus sewa rahim terdapat sederet pelanggaran terhadap hak asasi anak.
Hak tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa pelanggaran :
1.
Penelantaran :
a. Anak kehilangan kasih sayang, anak
yang dilahirkan oleh “si ibu sewa” tidak mendapatkan kasih sayang dari ibu
kandungnya sendiri.
b. Anak tidak mengetahui orang tuanya,
dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
c. Anak disuramkan asal usulnya.
d. Anak dipisahkan dari ibu kandungnya.
2.
Perlakuan salah :
a. Anak berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum antara lain tidak dilahirkan di luar pernikahan sah, baik
menurut agama maupun negara.
b. Anak dieksploitasi secara ekonomi.
c. Anak membawa beban psikologi
yang berat.
Dalam
prakteknya, sewa rahim atau ibu pengganti membuka peluang lebar adanya anak
yang dilahirkan di luar nikah. Seorang gadis atau janda yang bersedia untuk
melahirkan tanpa nikah dan hanya disewa rahimnya saja, dapat membawa dampak
buruk serta penderitaan terhadap masa depan anak, di antaranya adalah :
1. Anak
terlahir dengan status “anak di luar nikah”.
2. Anak
kehilangan hak waris orang tua kandungnya.
3. Anak
mendapat stigma buruk di masyarakat.
4.
Anak tersebut dapat disangkal oleh orang tua kandungnya maupun oleh
orang tua titipan.
Mengenai
point 4 di atas tadi, Penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya anak yang
dihasilkan dari proses sewa rahim, sangat memungkinkan adanya penolakan atau
sangkalan dari dua pihak sekaligus. Pertama dari orang tua kandung, kedua
dari orang tua biologis (yang punya benih). Di bawah ini akan Penulis kemukakan beberapa kemungkinan terjadinya penolakan
anak :
1. Jika anak terlahir dari ibu kandung
(yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut tidak terikat oleh suatu
perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat saja ditolak oleh
ayah biologisnya (penitip sperma) karena biaya yang dijanjikan ternyata tidak
ada, apalagi jika anak tersebut terlahir dalam keadaan cacat, dengan dalil
bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak terlahir dalam ikatan perkawinan
yang sah. Pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Kemudian pasal 250 KUH Perdata menyatakan bahwa anak
yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai
ayahnya.
2. Jika anak terlahir dari ibu kandung
(yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut terikat oleh suatu perkawinan
yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat ditolak oleh suami dari ibu
tersebut. Dengan dalil pasal 44 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang
berbunyi :
1)
Seorang
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila ia dapat
membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada
perzinaan.
2)
Pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
Dari
penjelasan tersebut dapat diketahui bahwasanya begitu menderitanya anak yang
dilahirkan melalui praktek sewa rahim atau ibu pengganti. Anak dapat kehilangan
statusnya sesaat setelah dilahirkan sekaligus kehilangan hak-haknya sebagai
manusia.
Sewa
Rahim Menurut Pandangan Hukum Islam
Perdebatan
di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di
kalangan masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Hal ini antara lain
disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun
kitab-kitab klasik. Dalam masyarakat Islam sehubungan dengan permasalahan ini,
ada dua kelompok yang memiliki perbedaan pendapat yaitu kelompok yang mendukung
atau membolehkan serta kelompok yang menolak atau mengharamkan. Di antara
pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
a.
Pendapat yang menolak atau
mengharamkan yaitu :
1. Ibrahim Hosein, mantan Ketua Fatwa
MUI mengatakan bahwa inseminasi buatan dan bayi tabung dengan sperma dan sel
telur berasal dari pasangan suami istri, proses kehamilan tidak dalam rahim
wanita atau sel telur dari donor, atau benihnya dari pasangan suami isteri
tetapi embrio itu diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain, maka pelaksanaan
inseminasi buatan dan bayi tabung demikian itu tidak dapat dibenarkan oleh
hukum Islam.
2. Asy-Syaikh ‘Ali At-Thantawi
menyatakan bahwa bayi tabung yang menggunakan wanita pengganti itu jelas tidak
dibenarkan, karena menurut beliau rahim wanita bukanlah panci dapur yang isinya
bisa dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke yang lainnya, karena rahim
wanita yang mengandung memiliki andil dalam proses pembentukan dan penumbuhan
janin yang mengkonsumsi zat makanan dari darah ibunya.
b.
Pendapat yang membolehkan penggunaan
sewa rahim, yakni:
1.
Ali
Akbar menyatakan bahwa : menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya
boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami gangguan,
sedangkan menyusukan anak wanita lain dibolehkan dalam Islam, malah boleh
diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan
rahimnya.
2.
H.
Salim Dimyati berpendapat : bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma
dari suami istri yang sah, lalu embrionya dititipkan kepada ibu yang lain (ibu
pengganti), maka apa yang dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka,
tidak ada hak mewarisi dan diwarisi, sebab anak angkat bukanlah anak sendiri,
tidak boleh disamakan dengan anak kandung. Pendapat di atas menyamakan
status anak yang dilahirkan melalui sewa rahim dengan anak angkat, yang tidak
mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi.
Penentuan
Orang yang Paling Berhak Atas Anak
Selain perdebatan di masyarakat
umum, ada pula perdebatan di kalangan ulama yang
yang
mempersoalkan siapa sesungguhnya ibu yang paling berhak atas pengakuan terhadap
si anak. Mengenai masalah ini, menarik kiranya Penulis tampilkan
tulisannya Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang
berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, mengenai penentuan nasab anak
terhadap ibu yang sebenarnya : [7]
Pendapat
pertama :
Termasuk
golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr.
Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas
Syariah University Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak
dinasabkan kepada si ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan
melahirkan itu seumpama ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar
dikuatkan atas hukum penyusuan. Pendapat ini dibina di atas asas bahwa
perseyawaan benih di antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan
perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka. Manakala
ibu tumpang tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan memberi
minum susunya, lebih-lebih lagi ibu tumpang dimana anak tersebut mendapat
makanan dari darahnya sejak awal pembentukan hingga sempurna kejadian sebagai
seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu tumpang tersebut dihukumkan
sebagai ibu susuan.
Di
samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh
mani dan benih ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya,
kerena ibu tumpang hanya tempat bergantung dan numpang membesar. Hujah ini juga
merupakan hujah kebanyakan doktor.
Pendapat
kedua :
Menurut
sebahagian besar para ulama’ dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin Zaid
Ali Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri, Qadi
Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu sebenarnya
adalah seseorang yang mengandungkan bayi dan melahirkannya, manakala ibu pemilik
benih itu seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada
ibu yang melahirkannya karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara
yaitu wanita yang melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu,
menjadikan seorang ibu yang melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta,
dan anak itu dinasabkan kepada suaminya, kerana الولد للفراش (anak adalah untuk suami)
berdasarkan kaedah syara’ yang diambil dari hadis Rasulullah saw.
Diskursus
Mengenai Nasab dari Jalur Bapak
Kemudian
diskursus yang lainnya mengenai Nasab anak dari jalur bapak, bapak yang mana
yang berhak dinasabkan oleh anak tersebut. Di bawah ini kembali Penulis
tampilkan tulisannya Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah
yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam mengenai masalah tersebut :[8]
Dalam
persoalan ini, para ulama terbagi kepada dua pendapat besar yaitu :
Pendapat
pertama :
Golongan
ini berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada suami ibu tumpang pemilik rahim
yang melahirkan anak tersebut, sekalipun beliau tidak memiliki hubungan
apa-apa dilihat dari sudut genetik. Mereka berhujah bersandarkan
hadis Rasulullah saw :
عن عا ئشة ان النبي صلى الله
عليه وسلم قال : الولد للفرا ش وللعاهر الحجر
Artinya : “Anak
dinasabkan kepada bapaknya, dan bagi pezina terhalang.”[9]
Hadis
ini merupakan dalil nas yang digunakan untuk menentukan hukuman seorang hakim
dan merupakan kaedah umum shara’ dalam menetapkan haramnya pernikahan dan
cara untuk menentukan nasab bagi seseorang anak. Oleh karena itu, apabila ibu
tumpang mempunyai suami kemudian melahirkan anak dari rahimnya, ini berarti
anak tersebut dinasabkan kepada suami dari isteri yang melahirkan anak
tersebut, sekalipun tidak memiliki hubungan genetik.
Pendapat
kedua :
Termasuk
dalam golongan ini ialah Al-Mujamma’ Al-Fiqhi Al-Islami yang berpusat di
Makkatul Mukarramah, dan lain-lain antaranya Sheikh Mustafa Az-Zarqa, Dr.
Muhammad Na’im Yasin, Dr. Muhammad Al-hafiz Hilmi, dan Dr. Hashim Jamil.
Golongan ini berpendapat bahwa anak yang dilahirkan dinasabkan kepada suami
wanita pemilik benih yang disewakan tadi, dan tidak dinasabkan kepada suami
pemilik rahim. Ini adalah kerana penyewaan rahim dilakukan di atas dasar
persenyawaan benih di antara kedua suami isteri, kemudian benih yang telah
disenyawa tadi dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Oleh karena itu, janin
tersebut terbina dari benih keduanya yang memiliki ikatan perkawinan yang sah.
Justru, anak itu dinasabkan kepada mereka berdua selagi kedudukan mereka
dalam keadaan ini. Walaupun penyewaan rahim ini haram dari segi shara’, tapi
tidak menjadi penghalang bagi dinasabkannya anak itu kepada mereka, karena
pengharaman ini adalah disebabkan mereka menggunakan rahim wanita lain yang
tidak benar secara shar’i. Hal ini dikarenakan dari segi saintifik, janin
yang telah disenyawakan tidak terkesan dari rahim selain tumpang dalam memberikan
makanan untuk tumbuh menjadi besar, sedangkan sifat-sifat genetik berasal dari
pemilik benih asal ovum dan sperma tadi. Hal tersebut diumpamakan seperti
kedua ibu bapak yang memberi makanan anaknya dengan makanan yang haram sehingga
dewasa, kedua-dua ibu bapaknya berdosa, tetapi hal ini tidak sampai
memutuskan hubungan antara mereka.
Pendapat
ketiga :
Golongan
ini berpendapat bahwa pemilik benih tidak memiliki hak apapun, dan benihnya
dianggap sia-sia. Mereka berhujah dengan kisah anak Zam’ah karena Rasulullah
saw telah meletakkan bahwa anak itu adalah anak Zam’ah sekalipun jelas bahawa
dia bukan anak Zam’ah dari segi zahirnya berdasarkan الولد للفراش . Dalam hal ini, hakikat
penentuan hukum berdasarkan kepada zahir karena hakikat sebenarnya hanya Allah–lah
yang tahu. Pendapat ini mengatakan bahwa tidak ada nilai bagi pemilik
benih ataupun mani dalam beberapa keadaan karena penentuannya mestilah
berdasarkan kepada penentuan shar’i yang sah. Hujah ini dijawab bahwa
keadaan penyewaan rahim berbeda dengan kisah anak Zam’ah karena dalam
kisah anak Zam’ah tersebut, janin itu terhasil dari percampuran air mani antara
dua orang lelaki dan perempuan tanpa ikatan yang sah, oleh sebab itu anak itu
tidak dinasabkan kepada lelaki itu (‘Atabah). Sedangkan dalam penyewaan
rahim, persenyawaan benih berlaku antara dua orang pasangan suami istri yang
diikat oleh ikatan yang sah, maka anak itu dinasabkan kepada mereka.
Syarat-syarat
terjadinya Penyewaan Rahim
Yusuf
Al-Qardhawi berpendapat bahwa syarat-syarat penyewaan rahim jika hukum ini
sampai diberlakukan dan demi untuk mengurangi kemudaratan serta meringankan
antara lain sebagai berikut : [10]
1. Ibu tumpang itu mestilah wanita yang
bersuami, bukan anak gadis atau janda.
2. Wanita itu juga wajib mendapatkan
izin suaminya, kerana kehamilan akan menghalanginya memberikan beberapa hak
suaminya selama waktu kehamilan dan nifas seperti hubungan seks dan sebagainya.
3. Wajib bagi ibu tumpang beriddah dari
suaminya, untuk menghilangkan keragu-raguan masih terdapatnya benih yang
disenyawakan pada rahimnya yang akan menyebabkan berlaku percampuran nasab.
4. Nafkah ibu tumpang, biaya perawatan
dan pemeliharaannya sewaktu masa kehamilan dan nifas adalah tanggung jawab
suami pemilik benih, atau wali sesudahnya, karena janin tersebut tumbuh akibat
dari darahnya. Justru, wajib bagi bapak tersebut membayar kadar
kehilangan darah itu.
5. Hukum penyusuan semuanya mengikuti
pada ibu tumpang dengan menggunakan ‘qias aula’, karena ibu tumpang lebih berat
tanggungannya dari pada ibu susuan, kecuali suami ibu tumpang tersebut tidak
dikira sebagai bapak susuan kepada bayi itu. Ini karena bapak susuan dikira
sebagai bapak bagi anak susuannya karena susu itu dapat dihasilkan apabila ibu
susuan itu melahirkan anak hasil hubungan mereka suami isteri, berbeda dengan
suami ibu tumpang yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan bayi yang
dilahirkan.
6. Ibu tumpang berhak untuk menyusukan
bayi itu jika ingin berbuat demikian karena membiarkan susu pada badannya akan
memudaratkan fisik, sebagaimana perasaannya juga terkesan apabila anak itu
diambil dari padanya karena Allah menjadikan penyusuan itu berkaitan dengan
proses kelahiran.
7. Akhirnya, Yusuf Al-Qaradhawi
menyatakan pendapatnya bahwa wajar bagi ibu tumpang ini mendapat keistimewaan
yang lebih dibandingkan ibu susuan, seumpama nafkah dari anak ini diberikan
kepada ibu yang melahirkannya jika berkemampuan dan ibunya berhajat kepada
nafkah kelak.
Posisi
Sewa Rahim atau Ibu Pengganti di Indonesia
Walaupun teknologi kedokteran di bidang infertilisasi
semakin canggih, akan tetapi untuk dapat diwujudkan di Indonesia masih sangat
beresiko, baik dari aspek perundang-undangannya, aspek sosial budayanya, kultur
agamanya, maupun kesiapan mentalnya. Dalam Peraturan Mentri Kesehatan No.
73 tahun 1999 pasal 10 butir 1 dan 2, memang teknologi reproduksi mempunyai
peluang untuk terlaksananya praktek sewa rahim walaupun hanya ditujukan kepada
pasangan suami istri yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh
keturunan serya berdasarkan pada suatu indikasi medik, namun Penulis
berpendapat bahwa Indonesia tidak cukup siap untuk menerapkan teknologi
kedokteran tersebut.
Hal ini bukan saja
kultur budaya bangsa Indonesia yang masih menganggap “tabu” akan tetapi
terutama disokong oleh perangkat aturan yang tidak siap, jauh dari
tertib. Menerima praktek sewa rahim ini berarti merubah sederet
pasal-pasal yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku. Untuk
membenahi hak-hak anak di luar nikah pun selama 35 tahun tidak ada satu pun
draf yang berhasil digolkan sebagai undang-undang, padahal masalah tersebut
merupakan amanat dari undang-undang, lihat pasal 43 butir 2 UU Perkawinan No. 1
tahun 1974, apalagi ditambah dengan masalah baru yang melibatkan diskursus
panjang tentang nasab, waris, pelanggaran hak asasi manusia, dll.
Setidaknya ada beberapa pasal yang dapat dijadikan rujukan sebagai dasar
penolakan adanya sewa rahim tersebut antara lain adalah :
1.UU RI No. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan 127 ayat (1). [11]
2.Permenkes RI
No.73/Menkes/PER/II/1999, pasal 4 dan 10.
3.SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun
2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS.
4.Kesusilaan dan Ketertiban Umum.
5.Pasal 1339 KUH Perdata.
MUI
memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa rahim ini (hasil komisi
fatwa tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum
dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah
agama).
b. Bayi tabung dari pasangan
suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua
dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd
az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang
mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
c. Bayi tabung dari sperma yang
dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan
kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik
dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal
kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya
diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu
statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan
yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk
menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Sedangkan
dalam buku masailul fiqhiyah karangan Mahyudin dapat disimpulkan bahwa
inseminasi buatan atau bayi tabung dan sejenisnya tergolong zina dan
menyulitkan penegakkan hukum Islam dalam masalah yang lain dan berakibat :
1. Mengacaukan hukum Islam untuk
menentukan wali anak perempuan dari hasil inseminasi dan bayi tabung bila ia
dikawinkan.
2. Menyulitkan hukum Islam untuk
menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan dsb.[12]
Pendapat
Para Pakar Kedokteran Indonesia [13]
Pakar
hukum kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Prof. Agnes
Widanti menilai perlu ada regulasi yang khusus mengatur tentang maraknya
praktek sewa rahim di Indonesia. Menurutnya selama ini, sewa rahim belum diatur
dalam perundang-undangan di Indonesia. Regulasi di Indonesia hanya
mengatur terkait bayi tabung, yang sebenarnya prosesnya sama dengan sewa rahim,
tetapi kalau bayi tabung benih itu ditanam pada si istri, bukan orang
lain. Agnes mengatakan bahwa praktik sewa rahim sudah banyak terjadi di
negara-negara lain, seperti Amerika Serikat yang akhirnya melegalkan praktik
tersebut dan mengaturnya dalam undang-undang. Di Indonesia sendiri
sebenarnya sudah ada praktik semacam itu, namun tidak banyak yang berani
bersikap terbuka karena belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan.
Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa
Tengah itu juga mengungkapkan selama ini praktik sewa rahim di Indonesia tidak
pernah menimbulkan permasalahan sehingga tidak pernah mencuat. Padahal,
permasalahan akan muncul ketika si ibu yang menyewakan rahim tidak mau
menyerahkan bayi yang dikandungnya, sebagaimana yang pernah terjadi di AS
sekitar tahun 1968 ketika ada seorang ibu yang menyewakan rahim enggan
mengembalikan bayi yang dikandungnya, sehingga terjadi polemik. Keengganan menyerahkan
bayi yang dikandungnya meski bukan anak kandungnya sendiri itu, bisa muncul
karena naluri alamiah seorang ibu. Untuk itu sewa rahim perlu ada
regulasi.
Menurut dr. Sofwan Dahlan (Pada seminar yang diselenggarakan
Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata) praktik sewa rahim secara medis
sangat mungkin dilakukan, mengingat prosesnya secara garis besar sama dengan
bayi tabung, hanya rahim inang yang digunakan berbeda. Proses bayi tabung
secara umum adalah merangsang indung telur matang untuk dipertemukan sel sperma
yang terseleksi, kemudian dipantau hingga terjadi pembuahan, dan siap
diimplantasikan dalam rahim.
Sementara itu, saintis dan juga pemerhati masalah sosial,
Prof. Liek Wilardjo dalam seminar yang sama menyoroti persoalan moral yang melingkupi
praktik sewa rahim tersebut, apalagi terkait persoalan yang akan muncul lebih
jauh misalnya identitas anak tersebut kelak. Persoalan moral lebih bersifat
relatif, karena pertimbangan yang diambil setiap orang pasti berbeda, termasuk
dalam kasus sewa rahim. Namun, tetap ada dampak yang harus dipikirkan.
Posisi
Sewa Rahim di Dunia
Awalnya surrogate mother terjadi karena pihak istri tidak
bisa mengandung karena sesuatu hal yang terjadi pada rahimnya sehingga peran si
istri dialihkan pada wanita lain untuk menggantikan fungsinya sebagai seorang
ibu dalam mengandung dan melahirkan, baik dengan imbalan materi ataupun
sukarela (walaupun yang suka rela sangat jarang terjadi), tetapi perkembangan
selanjutnya terjadi pergeseran makna dan substansi, dari substansi awal sebagai
alternatif kelainan medis (karena cacat bawaan atau karena penyakit) yang ada
ke arah sosial dan eksploitasi nilai sebuah rahim, yang mana pihak penyewa
bukan lagi karena alasan medis, tetapi sudah beralih ke alasan kosmetik dan
estetika (tidak mau tubuhnya cacat dan jelek karena melahirkan serta tidak mau
mengandung dan melahirkan), sementara bagi pihak yang disewa akan
menjadikannya sebagai suatu ladang bisnis baru dengan menyewakan rahimnya
sebagai alat mencari nafkah (terutama pada masyarakat yang ekonominya rendah)
seperti India, Bangladesh dan China.
Negara tersebut difasilitasi oleh pemerintah setempat dengan
membuatkan sebuah pusat untuk model sewa rahim termasuk dengan pengurusan visa
khusus dan visa medis, sebagaimana dikatakan oleh seorang sosiolog dari
Australia, Catherine Waldby pada konferensi Asia-Pasifik Science, Teknologi and
Society Network Conference pada bulan Desember 2009 di Brisbane-Australia.[14]
Di
beberapa negara yang melegalkan praktek sewa rahim, alat reproduksi manusia
menjadi komoditi untuk mencari keuntungan yang menggiurkan, bahkan sewa rahim
sudah dijadikan sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian. Misalnya
di India sebagaimana ditulis oleh Desriza Ratman dalam bukunya Surrogate
Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum bahwa untuk sewa rahim, India
menargetkan satu orang bayi dengan harga US $ 5000 sampai dengan US $ 6000 atau
setara dengan Rp.50.000.000,- sampai dengan Rp. 60.000.000,- sedangkan pasangan
asing dari Barat dikenakan tarif US $ 15.000 sampai dengan US $ 20.000 atau
setara dengan Rp. 150.000.000,- sampai dengan Rp. 200.000.000,-. Lain
lagi sewa rahim di Amerika Serikat, rahim seorang wanita di sana dihargai dengan
US $ 100.000 atau setara dengan 1 miliyar rupiah.[15]
The
Internasional Islamic Center for Population Studies and research, Cairo-Mesir,
November 2000 menyatakan :[16]
a. In Vitro Fertilization diperbolehkan kecuali
menggunakan sperma, ovum atau embrio dari donor.
b. Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk
alasan medik, untuk menghindari penyakit keturunan.
c. Penelitian-penelitian untuk
pematangan folikel, pematangan oosit invirto diperbolehkan.
d. Implantasi embrio pada suami yang
sudah meninggal belum mempunyai keputusan tetap.
e. IVF pada wanita menapause dilarang
karena mempunyai risiko yang tinggi terhadap kesehatan ibu dan bayinya.
f. Tansplantasi uterus masih dalam
pertimbangan; diperbolehkan untuk mengadakan penelitian pada binatang.
g. Penggunaan sel tunas (stem cell)
untuk tujuan pengobatan (Therapeutic cloning) masih dalam perdebatan,
diminta untuk dapat disetujui.
h. Reproduktive cloning atau duplikasi manusia tidak
diperbolehkan.
Fatwa
yang dikeluarkan oleh Majelis Mujamma’ Fiqih Islamic : Lima perkara berikut ini
diharamkan dan terlarang sama sekali karena dapat mengakibatkan percampuran
nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh
syariat:
a. Sperma yang diambil dari pihak
lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Indung telur yang diambil dari pihak
wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan
suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
c. Sperma dan indung telur yang
disemaikan tersebut diambil dari sperma suami istri, kemudian dicangkokkan ke
dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka
tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang
disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke
dalam rahim si istri.
e. Sperma dari indung telur yang
disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
BAB
IV
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Surrogate
mother yang dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ibu pengganti atau sewa
rahim, merupakan praktek penyewaan rahim seorang perempuan yang mengikatkan
diri dalam suatu perjanjian dengan pihak lain (suami istri) dengan tujuan
supaya dapat hamil dan melahirkan bayi yang sebelumnya dilakukan persenyawaan
sperma dan ovum antara suami istri, lalu hasil persenyawaan tersebut dibenamkan
ke dalam rahim perempuan tadi. Praktek sewa rahim ini banyak
diperdebatkan kelegalannya karena akibat yang ditimbulkan disinyalir dapat
membawa dampak negatif dalam masyarakat terutama nasib dan nasab anak.
Indikasi pelanggaran hak anak merupakan isu penting dalam perdebatan sewa rahim
ini. Hak anak yang seharusnya diberikan menjadi tersingkirkan dengan
ambisi-ambisi membabi buta orang dewasa. Anak disamarkan nasabnya, anak
dihilangkan hak warisnya serta anak disuramkan asal-usulnya.
Indonesia
belum ada pengaturan khusus tentang surrogate mother ini, akan tetapi
perundangan yang berlaku dapat dimaknai sebagai jalan yang menolak adanya surrogate
mother sekaligus memberikan kelonggaran diberlakunya surrogate
mother. Hal tersebut dapat dilihat dari UU Kesehatan No. 36 tahun
2009 pasal 127 dan Permenkes No. 73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan yang membolehkan pembuahan di luar rahim
walaupun terbatas untuk suami istri yang terikat perkawinan sah (lihat pasal
4).
Tentu
Pendapat ini adalah pendapat Penulis yang beranggapan bahwa jika pembuahan di
luar rahim boleh maka pembuahan yang dititipkan kepada orang lain pun dapat
dibolehkan dengan alasan yang sama. Maksudnya punya alasan hukum yang
sama, yakni sama-sama tidak dilahirkan oleh si empunya zygote, sama-sama
dititipkan kepada seorang istri yang juga sah menurut hukum (istri kedua dan
seterusnya), serta kalau ditinjau dari dampak sama-sama berpengaruh terhadap
nasab dan nasib anak.
Posisi sewa rahim di dunia masih
ramai diperdebatkan, banyak negara di dunia yang tidak setuju atau menolak
praktek sewa rahim ini, akan tetapi banyak juga negara yang membolehkan
sewa rahim ini misalnya India, Bangladesh, China ,Amerika, dll. Sementara
itu sewa rahim bagi kalangan Islam masih dianggap oleh sebagian besar ulama
sebagai tindakan yang dapat mengacaukan hukum Islam dalam menentukan wali anak
perempuan bila ia dikawinkan dan menyulitkan hukum Islam dalam menentukan
hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan. Para Ulama sepakat
tentang pengharaman praktek sewa rahim dalam keadaan berikut :
menggunakan rahim wanita lain selain isteri, adanya tindakan percampuan zygote
antara suami dan wanita lain, adanya tindakan percampuan zygote dengan lelaki
yang bukan suaminya (orang lain), dan menanamkan zygote sesaat setelah suami
istri tersebut meninggal.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
· [1] Desriza Ratman. Surrogate Mother dalam
Perspektif Etika dan Hukum (Jakarta, PT.Gramedia, h. viii).
· [4] Radin Seri Nabaha. Penyewaan Rahim dalam
Pandangan Islam –Terjemahan dari Al-Faqiroh Illallâh Shari’ah Islamiyah (Cairo
: American Open University) 2004, h. 4-5.
·
[7] Radin
Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, h.
18-19, dengan sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
·
[8] Radin
Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam,
h. 23-26, dengan sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar