1.
Bagaimana
cara untuk mengetahui suatu peraturan perundang-undangn dapat di golongkan sebagai
undang-undang tindak pidana khusus ?
jelaskan !
Jawab
:
Dalam
Hukum pidana khusus yang sekarang telah diganti dengan istilah Hukum tindak
pidana khusus secara prinsipil tidak ada perbedaan namun undang-undang pidana
yang berada diluar Hukum pidana umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum
pidana umum baik dari segi Hukum pidana materil maupun dari segi Hukum pidana
formal.jika tidak ada penyimpangan maka tidak disebut Hukum pidana khusus
karena Hukum tindak pidana khusus hanya mengatur perbuatan tertentu yang
berlaku terhadap orang tertentu dan harus dilihat dari subtansi serta berlaku
kepada siapa Hukum tindak pidana khusus tersebut.
Hukum
tindak pidana khusus yang diatur dalam UU di luar Hukum pidana umum , jika
terjadi penyimpanga dalam ketentuan Hukum pidana yg terdapat dalam UU pidana
merupakan indicator apakah UU pidan tersebut merupakan Hukum tindak pidana
khusus atau buka, sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum tindak pidana khusus adalh
UU pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Contoh dari tindak pidana
khusus adalah narkotika dimana ketentuan materil dan formilnya tidak sama
dengan ketentuan dalam KUHP dan KUHAP
karena ketentuannya telah diatur tersendiri dalam UU No.35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Tindak pidana khusus korupsi
2.
Berkaitan dengan
ulasan tersebut diatas sebutkanlah hal
hal yang prinsipil perbedaan antara KUHAP dengan undang-undang Tindak Pidana
Narkotika !
Jawab : Perbedaannya :
1.
Perbedaan
hukum materil Undang-undang Narkotika Dengan KUHP
1. Undang-undang Narkotika Bersifat
Elastis ,
artinya ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam undang-undang narkotika dapat
dengan mudah untuk di rubah apabila terdapat penyimpangan atau untuk mengatur
hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang tersebut. karena
undang-undang tersebut hanya mengatur tentang satu hal yaitu tentang narkotika.
Misalnya undang-undang No. 22 Tahun 1997 yang dirubah dengan undang-undang No.
35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan KUHP tidak bersifat elastic karena
ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya tidak hanya mengatur mengenai satu
hal melainkan banyak hal.
2. Pengaturan
Tersendiri Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran. Dalam undang-undang narkotika
hanya mengatur mengenai kejahatan dan pelanggaran terhadap narkotika saja.
Apabila terjadi pelanggaran ketentuan mengenai penyimpangan, maka hukumannya
diatur sendiri, seperti dalam pasal 14 ayat (2) UU ini mengenai sanksi adminisratif
berupa:
1.
teguran
2.
peringatan
3.
denda
adminisratif
4.
penghentian
sementara kegiatan
5.
pencabutan
izin
3. Percobaan dan
Membantu Melakukan Tindak Pidana Diancam Dengan Hukuman.Percobaan atau permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana
diatur dalam undang-undang narkotika tersebut dengan pidana penjara yang sama
dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam
undang-undang narkotika ini, misalnya percobaan untuk menyediakan narkotika golongan
1,dipidana dengan pidana penjara paling singkat4 (empat) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00(delapan miliar rupiah).
Sedangkan dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang melakukan percobaan adalah
maksimum hukuman utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan
sepertiganya, dalam hal percobaan.
4. Perluasan
Berlakunya Asas Teritorial
(ekstera teritorial),
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan
internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor
Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional. Hal tersebut diatur dalam pasal
63 UU No.35 Tahun 2009. Sedangkan KUHP tidak bersifat ekstra teritorial karena
KUHP hanya berlaku diwilayah Negara Indonesia.
5. Mempunyai Sifat Terbuka, Maksudnya adanya ketentuan
untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu
menetukan menjadi tindak pidana. Artinya tindak pidana dalam UU lain dapat
dijadikan tindak pidana dalam UU Narkotika apabila perbuatan pidana tersebut
berkaitan dengan kejahatan narkotika. Sedangkan balam KUHP tidak bisa.
6. Hukuman-hukuman
Dalam UU Narkotika,
Dalam
undang-undang narkotika terdapat hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda.
Selain itu terdapat sanksi adminisratif seperti teguran, peringatan, denda
adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan pecambutan izin serta hukuman
tambahan yang diatur dalam pasal 130 ayat (2) UU Narkotika, berupa:
7. Penggunaan
Pidana Minimal, Penggunaan pidana minimal dalam
undang-undang narkotika memberikan asumsi bahwa undang-undang tersebut
diberlakukan untuk menjerat pihak-pihak yang melakukan kejahatan dan
pelanggaran terhadap narkotika. Misalnya pidana minimal yang terdapat dalam
pasal 113 ayat (1) UU No.35 tahun 2009, sedangkan dalam KUHP tidak mengenal
pidana minimal, yang ada hanya pidana maksimal, seperti dalam pasal 362 KUHP
tentang pencurian.
8. Hukuman Bersifat Komulatif, Hukuman yang terdapat dalam UU
no.35 Tahun 2009 tentang Narkotika bersifat komulatif, artinya orang yang
tertangkap melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap narkotika akan dihukum
dengan hukuman pidana hukuman denda. Jadi orang tersebut harus memenuhi kedua
hukuman tersebut, tidak boleh memilih salah satu. Sedangkan dalam KUHP,
hukumannya bersifat alternatif, artinya terhadap suatu tindak pidana hukumannya
adalah hukuman penjara dan/atau hukuman denda. Artinya pihak yang melakukan
kejahatan atau pelanggaran dapat memilih sendiri hukumannya baik itu hukuman
penjara atau denda (subside).
9. Tidak Dikenal Adanya Delik Culpa, Dalam undang-undang narkotika
ini tidak mengenal adanya delik culpa atau ketidak sengajaan. Hal tersebut nampak
dari kata “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum”. Yang artinya siapa
saja dapat dipidana tanpa melihat apakah dia melakukan perbuatan tersebut
dengan tidak sengaja. Sedangkan dalam KUHP terdapat delik culpa, dimana
terhadap orang yang melakukan delik tersebut masih dipertimbangkan, seperti
dalam pasal 359 KUHP.
10. Azas-azas
Berlakunya Tindak Pidana, Undang-undang tentang Narkotika
diselenggarakan berdasarkan beberapa azas yang diatur dalam pasal 3 UU No.35
Tahun 2009 yaitu:
1.
Keadilan.
2.
Pengayoman.
3.
Kemanusiaan.
4.
Ketertiban.
5.
Perlindungan.
6.
Keamanan
7.
nilai-nilai
ilmiah.
8.
Kepastian
hukum.
Sedangkan KUHP diselenggarakan
berdasarkan azas:
1
Azas
legalitas.
2
Azas
territorial.
3
Azas tidak
berlaku surut ( retro aktif).
4
Azas
nasionalitas, terdiri dari nasionalitas aktif dan pasif.
2.
Perbedaan
hukum Formil Undang-undang Narkotika Dengan KUHP
Hukum formil
dalam Undang-undang Narkotika dibandingkan dengan KUHAP.
a. Penyelidikan
dan Tugas/Wewenang BNN.
Dalam
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kewenangan penyelidikan
diberikan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN). Selain itu BNN juga wewenang
yang cukup besar antara lain termasuk:
1.
Menyusun
dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
2.
Mencegah
dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
3.
Berkoordinasi
dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
4.
Melakukan
kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna
mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Sedangkan dalam
KUHAP kewenangan penyelidikan dilakukan oleh setiap pejabat polisi negara
Republik Indonesia. Yang kewenangannya antara lain
1.Mencari
keterangan dan barang bukti.
2.Menerima laporan
atau pengaduan dan seorang tentang adanya tindak pidana.
3.Menyuruh
berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal
diri.
4.Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
5.Pemeriksaan dan
penyitaan surat.
6.Mengambil sidik
jari dan memotret seorang.
7.Penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan
8.Membawa dan menghadapkan seorang pada
penyidik.
b. Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di
Sidang Pengadilan.
Dalam pasal 73
disebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan si sidang pengadilan
dilakukan oleh BNN. Penyidikan yang dilakukan oleh BNN adalah seperti melakukan
teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan.
Namun disamping itu penyidik pegawai negeri sipil juga berkoordinasi dengan
penyidik BNN.
Sedangkan
dalam KUHAP, wewenang penyidikan hanya dilakukan oleh pejabat polisi Negara
Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
c. Melakukan Penyadapan.
Penyadapan adalah
kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara
menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang
dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya. Hal
tersebut diatur dalam pasal 1 ayat(19) UU Narkotika. Selain itu, melakukan
penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup. Hal tersebut juga
merupakan kewenangan dari BNN.
Sedangkan dalam KUHAP
tidak ada pengaturan untuk melakukan penyadapan.
d. Berlaku Pembuktian Terbalik
Untuk kepentingan
penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda istri,
suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya atau yang diduga
mempunyai hubungan dengan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
dilakukan tersangka atau terdakwa. Hal tersebut diatur dalam pasal 97 UU No.35
Tahun 2009. Selain itu, hakim juga dapat meminta kepada terdakwa untuk membuktikan
bahwa harta yang diperolehnya bukan dari hasil narkotika.
Sedangkan
dalam KUHAP tidak mengenal pembuktian terbalik.
e. Didahulukan Dari Perkara Pidana Biasa
Apabila terdapat dua
buah perkara yang diajukan ke pengadilan, dimana salah satunya merupakan
perkara pidana khusus, maka perkara tersebutlah yang lebih didahulukan
penyelesaiannya dibandingkan dengan perkara biasa. Hal tersebut diatur dalam
pasal 74 ayat(1) UU Narkotika. Sedangkan dalam KUHAP tidak diatur mengenai perkara
khusus atau umum. Semua perkara yang ditangani bersifat umum. Jadi tidak ada
yang lebih diutamakan.
f. Alat bukti
Dalam
undang-undang narkotika juga diatur mengenai alat bukti lain selain yang
terdapat dalam hukum acara pidana, yaitu berupa:
1.
informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
2.
data
rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1.tulisan, suara,
dan/atau gambar;
2.peta, rancangan,
foto atau sejenisnya; atau
3.huruf, tanda,
angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.
Hal tersebut
sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 ayat (1 dan 2) UU No. 35 Tahun2009 tentang
Narkotika.
Sedangkan dalam
KUHAP sebagaimana disebutkan dalam pasal 187, alat bukti hanya berupa:
a) Keterangan saksi.
b) Keterangan ahli.
c) Surat.
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa
3. Apa yang menjadi tolak ukur jika
seseorang itu pengguna narkotika atau tidak ? Jelaskan !
Jawab
:
Sebagai
tolok ukur tindakan yang dapat dikenakan bagi seorang pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 jo Pasal 54 jo Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 adalah Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 jo SEMA RI No. 07 Tahun 2009, yang menyebutkan
seorang pecandu dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi dengan kriteria :
a)
Terdakwa
pada saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi
tertangkap tangan.
b)
Pada
saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, diketemukan barang bukti
pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1.Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu)
seberat 1 gram.
2.Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/
sebanyak 8 butir;
3.Kelompok Heroin seberat 1,8 gram
4.Kelompok Kokain seberat 1,8 gram
5.Kelompok Ganja seberat 5 gram
6.Daun Koka seberat 5 gram.
7.Meskalin seberat 5 gram.
8.Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.
9.Kelompok LSD (d-lysergic acid
diethylamide) seberat 2 gram.
10.
Kelompok
PCP (Phencyclidine) seberat 3 gram.
11.
Kelompok
Fentanil seberat 1 gram.
12.
Kelompok
Metadon seberat 0,5 gram.
13.
Kelompok
Morfin seberat 1,8 gram.
14.
Kelompok
Petidine seberat 0,96 gram.
15.
Kelompok
Kodein seberat 72 gram.
16.
Kelompok
Bufrenorfin seberat 32 gram.
c)
Surat
Uji Laboratorium yang berisi positif menggunakan Narkoba yang dikeluarkan
berdasarkan permintaan penyidik.
d)
Perlu
surat keterangan dari dokter jiwa/ psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh
hakim.
e)
Tidak
terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap
narkotika.
Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut diatas dapat juga dijadikan tolok ukur bagi seorang
penyalahguna yang diancam pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009. Karena secara logika, antara pecandu dengan
penyalahguna adalah sama-sama menyalahgunakan narkotika, hanya saja untuk
membedakannya perlu terlebih dahulu dilakukan suatu asesmen atau pembuktian
bagi Tersangka atau Terdakwa hingga dapat diketahui oleh Hakim apakah Terdakwa
tersebut adalah seorang Pecandu yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap
narkotika ataukah hanyalah Penyalahguna yang bukan seorang pecandu. Misalnya
seseorang tertangkap tangan memiliki dan menyalahgunakan Narkotika Golongan I
dengan jumlah maksimum (sesuai kriterium pada butir 2 Surat Edaran Mahkamah
Agung RI No. 04 Tahun 2010) untuk dirinya sendiri, kemudian setelah dilakukan
pemeriksaan medis (asesmen) dan/atau pemeriksaan alat-alat bukti di persidangan
terungkap bahwa ia bukanlah seorang pecandu atau korban penyalahgunaan
Narkotika, maka Terdakwa tersebut patut
dikenakan pidana penjara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf
a UU No. 35 tahun 2009, jadi bukan dikenakan tindakan rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009.
4.
Mengapa
komisi pemberantasan korupsi (KPK) Tidak
mengenal SP3 ? Jelaskan !
Jawab : sebagai
lembaga luar biasa komisi pemberantasan korupsi (KPK) sama sekali tidak
memiliki kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3)
karena SP3 dapat dianggap melemahkan KPK .Jika KPK mengeluarkan SP3 hal
tersebut sama saja KPK tidak ada bedanya dengan tindak pidana umum atau tindak
pidana biasa. Perlu diketahui bahwa penyidikan tindak pidana korupsi dapat
dilakukan oleh 3 (tiga) instansi/institusi masing-masing dengan dasar hukumnya
yaitu: Penyidik Polri berdasarkan KUHAP dan UU Kepolisian, Jaksa Penyidik
berdasarkan Undang-undang Kejaksaan RI dan Penyidik KPK berdasarkan UU KPK.
Penyidik
Polri berwenang menyidik tindak pidana Umum dan khusus termasuk korupsi.
Sedangkan Jaksa penyidik berwenang menyidik tindak pidana korupsi dan HAM.
Sementara KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sekaligus terhadap tindak pidana korupsi. Penyidikan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh penyidik Polri dan Jaksa penyidik dapat di-SP3. Sedangkan
penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK tidak dikenal adanya SP3.
Penghentian penyidikan dikeluarkan oleh Penyidik Polri dan Jaksa Penyidik
apabila memenuhi beberapa alasan antara lain : perkaranya tidak cukup bukti,
bukan merupakan tindak pidana, dan alasan penghentian demi hokum (nebis in
idem, tersangka meninggal dunia, kadaluarsa).
Sedangkan
penghentian penyidikan tidak dikenal dalam undang-undang KPK, hal ini merupakan
bentuk dari tekad dari bangsa ini yang menyatakan bahwa korupsi adalah
kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dengan demikian dibutuhkan
penegakan hokum yang luar biasa (extra ordinary) juga. Dengan di bentuknya
suatu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti yang diatur dalam
Undang-undang nomor 30 tahun 2002. undang-undang ini memberikan beberapa
kekhususan/keistimewaan kepada KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di
Indonesia, hal ini diluar kelaziman penegakan hukum menurut KUHAP, antara lain:
1).
komisi ini melibatkan unsur/komponen dari kepolisian, kejaksaan, BPKP, BPK,
dengan maksud untuk mempermudah menentukan kerugian keuangan Negara,
2).
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh KPK,
3).
setelah selesai pemeriksaan oleh KPK dilanjutkan pemerikasaan oleh hakim ad hoc
tindak pidana korupsi.
Sehingga dengan
demikian penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak akan terjadi,
perbuatan itu korupsi atau bukan menjadi kewenangan dari pengadilan yang akan
memutuskan.
5.
Menurut
saudara apakah ulasan tersebut diatas
ada tindak pidana lainnya ? kalau ya jelaskan tindak pidananya.
Jawab
:
Ya,
Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus pada dasarnya sama saja, yaitu
berisi hukum pidana material dan tindak pidana formal. Namun jika dilihat dari
aspek sumber hukumnya keduanya berbeda, yaitu Tindak Pidana Umum yaitu tindak
pidana/perbuatan pidana yang bersumber KUHPidana sementara pada tindak pidana
khusus adalah tindak pidana/perbuatan pidana yang bersumber dari peraturan lain
di luar KUHPidana Indonesia. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Tindak
pidana ekonomi ( UU Darurat nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Peradilan tindak pidana ekonomi.)
2.
Tindak
pidana Narkotika/Psikotropika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika)
3.
Tindak
pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2011 tentang Tindak
Pidana Korupsi dan Upaya Pemberantasan Korupsi)
4.
Tindak
pidana pencucian uang (UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang)
5.
Tindak
pidana lingkungan (UU No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup)
6.
Kejahatan
HAM (UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)
7.
Tindak
pidana fiscal (UU tentang Perpajakan)
8.
Tindak
pidana terorisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar