Minggu, 02 September 2018

TINDAK PIDANA KHUSUS 1


1.      Bagaimana cara untuk mengetahui suatu peraturan perundang-undangn dapat di golongkan sebagai undang-undang tindak pidana khusus  ? jelaskan !
Jawab :
           Dalam Hukum pidana khusus yang sekarang telah diganti dengan istilah Hukum tindak pidana khusus secara prinsipil tidak ada perbedaan namun undang-undang pidana yang berada diluar Hukum pidana umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum pidana umum baik dari segi Hukum pidana materil maupun dari segi Hukum pidana formal.jika tidak ada penyimpangan maka tidak disebut Hukum pidana khusus karena Hukum tindak pidana khusus hanya mengatur perbuatan tertentu yang berlaku terhadap orang tertentu dan harus dilihat dari subtansi serta berlaku kepada siapa Hukum tindak pidana khusus tersebut.
Hukum tindak pidana khusus yang diatur dalam UU di luar Hukum pidana umum , jika terjadi penyimpanga dalam ketentuan Hukum pidana yg terdapat dalam UU pidana merupakan indicator apakah UU pidan tersebut merupakan Hukum tindak pidana khusus atau buka, sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum tindak pidana khusus adalh UU pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Contoh dari tindak pidana khusus adalah narkotika dimana ketentuan materil dan formilnya tidak sama dengan ketentuan dalam KUHP dan KUHAP  karena ketentuannya telah diatur tersendiri dalam UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tindak pidana khusus korupsi          
2.      Berkaitan dengan ulasan tersebut diatas sebutkanlah  hal hal yang prinsipil perbedaan antara KUHAP dengan undang-undang Tindak Pidana Narkotika !
Jawab :   Perbedaannya :
1.      Perbedaan hukum materil Undang-undang Narkotika Dengan KUHP
1.      Undang-undang Narkotika Bersifat Elastis , artinya ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam undang-undang narkotika dapat dengan mudah untuk di rubah apabila terdapat penyimpangan atau untuk mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang tersebut. karena undang-undang tersebut hanya mengatur tentang satu hal yaitu tentang narkotika. Misalnya undang-undang No. 22 Tahun 1997 yang dirubah dengan undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan KUHP tidak bersifat elastic karena ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya tidak hanya mengatur mengenai satu hal melainkan banyak hal.
2.      Pengaturan Tersendiri Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran. Dalam undang-undang narkotika hanya mengatur mengenai kejahatan dan pelanggaran terhadap narkotika saja. Apabila terjadi pelanggaran ketentuan mengenai penyimpangan, maka hukumannya diatur sendiri, seperti dalam pasal 14 ayat (2) UU ini mengenai sanksi adminisratif berupa:
1.      teguran
2.      peringatan
3.      denda adminisratif
4.      penghentian sementara kegiatan
5.      pencabutan izin
3.      Percobaan dan Membantu Melakukan Tindak Pidana Diancam Dengan Hukuman.Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana diatur dalam undang-undang narkotika tersebut dengan pidana penjara yang sama dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini, misalnya percobaan untuk menyediakan narkotika golongan 1,dipidana dengan pidana penjara paling singkat4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00(delapan miliar rupiah). Sedangkan dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang melakukan percobaan adalah maksimum hukuman utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, dalam hal percobaan.
4.      Perluasan Berlakunya Asas Teritorial (ekstera teritorial), Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional. Hal tersebut diatur dalam pasal 63 UU No.35 Tahun 2009. Sedangkan KUHP tidak bersifat ekstra teritorial karena KUHP hanya berlaku diwilayah Negara Indonesia.
5.      Mempunyai Sifat Terbuka, Maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menetukan menjadi tindak pidana. Artinya tindak pidana dalam UU lain dapat dijadikan tindak pidana dalam UU Narkotika apabila perbuatan pidana tersebut berkaitan dengan kejahatan narkotika. Sedangkan balam KUHP tidak bisa.
6.      Hukuman-hukuman Dalam UU Narkotika, Dalam undang-undang narkotika terdapat hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda. Selain itu terdapat sanksi adminisratif seperti teguran, peringatan, denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur dalam pasal 130 ayat (2) UU Narkotika, berupa:
7.      Penggunaan Pidana Minimal, Penggunaan pidana minimal dalam undang-undang narkotika memberikan asumsi bahwa undang-undang tersebut diberlakukan untuk menjerat pihak-pihak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap narkotika. Misalnya pidana minimal yang terdapat dalam pasal 113 ayat (1) UU No.35 tahun 2009, sedangkan dalam KUHP tidak mengenal pidana minimal, yang ada hanya pidana maksimal, seperti dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian.
8.      Hukuman Bersifat Komulatif, Hukuman yang terdapat dalam UU no.35 Tahun 2009 tentang Narkotika bersifat komulatif, artinya orang yang tertangkap melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap narkotika akan dihukum dengan hukuman pidana hukuman denda. Jadi orang tersebut harus memenuhi kedua hukuman tersebut, tidak boleh memilih salah satu. Sedangkan dalam KUHP, hukumannya bersifat alternatif, artinya terhadap suatu tindak pidana hukumannya adalah hukuman penjara dan/atau hukuman denda. Artinya pihak yang melakukan kejahatan atau pelanggaran dapat memilih sendiri hukumannya baik itu hukuman penjara atau denda (subside).
9.      Tidak Dikenal Adanya Delik Culpa, Dalam undang-undang narkotika ini tidak mengenal adanya delik culpa atau ketidak sengajaan. Hal tersebut nampak dari kata “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum”. Yang artinya siapa saja dapat dipidana tanpa melihat apakah dia melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja. Sedangkan dalam KUHP terdapat delik culpa, dimana terhadap orang yang melakukan delik tersebut masih dipertimbangkan, seperti dalam pasal 359 KUHP.
10.  Azas-azas Berlakunya Tindak Pidana, Undang-undang tentang Narkotika diselenggarakan berdasarkan beberapa azas yang diatur dalam pasal 3 UU No.35 Tahun 2009 yaitu:
1.      Keadilan.
2.      Pengayoman.
3.      Kemanusiaan.
4.      Ketertiban.
5.      Perlindungan.
6.      Keamanan
7.      nilai-nilai ilmiah.
8.      Kepastian hukum.
Sedangkan KUHP diselenggarakan berdasarkan azas:
1                    Azas legalitas.
2                    Azas territorial.
3                    Azas tidak berlaku surut ( retro aktif).
4                    Azas nasionalitas, terdiri dari nasionalitas aktif dan pasif.


2.      Perbedaan hukum Formil Undang-undang Narkotika Dengan KUHP
Hukum formil dalam Undang-undang Narkotika dibandingkan dengan KUHAP.
a.       Penyelidikan dan Tugas/Wewenang BNN.
Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kewenangan penyelidikan diberikan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN). Selain itu BNN juga wewenang yang cukup besar antara lain termasuk:
1.   Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
2.   Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
3.   Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
4.   Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Sedangkan dalam KUHAP kewenangan penyelidikan dilakukan oleh setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Yang kewenangannya antara lain
1.Mencari keterangan dan barang bukti.
2.Menerima laporan atau pengaduan dan seorang tentang adanya tindak pidana.
3.Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
4.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
5.Pemeriksaan dan penyitaan surat.
6.Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
7.Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan
8.Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

b.      Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
Dalam pasal 73 disebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan si sidang pengadilan dilakukan oleh BNN. Penyidikan yang dilakukan oleh BNN adalah seperti melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan. Namun disamping itu penyidik pegawai negeri sipil juga berkoordinasi dengan penyidik BNN.
Sedangkan dalam KUHAP, wewenang penyidikan hanya dilakukan oleh pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

c.       Melakukan Penyadapan.
Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya. Hal tersebut diatur dalam pasal 1 ayat(19) UU Narkotika. Selain itu, melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup. Hal tersebut juga merupakan kewenangan dari BNN.
Sedangkan dalam KUHAP tidak ada pengaturan untuk melakukan penyadapan.

d.      Berlaku Pembuktian Terbalik
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa. Hal tersebut diatur dalam pasal 97 UU No.35 Tahun 2009. Selain itu, hakim juga dapat meminta kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta yang diperolehnya bukan dari hasil narkotika.
Sedangkan dalam KUHAP tidak mengenal pembuktian terbalik.

e.       Didahulukan Dari Perkara Pidana Biasa
Apabila terdapat dua buah perkara yang diajukan ke pengadilan, dimana salah satunya merupakan perkara pidana khusus, maka perkara tersebutlah yang lebih didahulukan penyelesaiannya dibandingkan dengan perkara biasa. Hal tersebut diatur dalam pasal 74 ayat(1) UU Narkotika.  Sedangkan  dalam KUHAP tidak diatur mengenai perkara khusus atau umum. Semua perkara yang ditangani bersifat umum. Jadi tidak ada yang lebih diutamakan.

f.       Alat bukti
Dalam undang-undang narkotika juga diatur mengenai alat bukti lain selain yang terdapat dalam hukum acara pidana, yaitu berupa:
1.   informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
2.   data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1.tulisan, suara, dan/atau gambar;
2.peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3.huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki    makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Hal tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 ayat (1 dan 2) UU No. 35 Tahun2009 tentang Narkotika.
Sedangkan dalam KUHAP sebagaimana disebutkan dalam pasal 187, alat bukti hanya berupa:
a)      Keterangan saksi.
b)      Keterangan ahli.
c)      Surat.
d)     Petunjuk
e)      Keterangan terdakwa


3.      Apa yang menjadi tolak ukur jika seseorang itu pengguna narkotika atau tidak ? Jelaskan !
Jawab :
Sebagai tolok ukur tindakan yang dapat dikenakan bagi seorang pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 jo Pasal 54 jo  Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 adalah Surat Edaran Mahkamah Agung  (SEMA) Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 jo SEMA RI No. 07 Tahun 2009, yang menyebutkan seorang pecandu dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi dengan kriteria :
a)      Terdakwa pada saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan.
b)      Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, diketemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1.Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu) seberat 1 gram.
2.Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/ sebanyak 8 butir;
3.Kelompok Heroin seberat 1,8 gram
4.Kelompok Kokain seberat 1,8 gram
5.Kelompok Ganja seberat 5 gram
6.Daun Koka seberat 5 gram.
7.Meskalin seberat 5 gram.
8.Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.
9.Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) seberat 2 gram.
10.        Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat 3 gram.
11.        Kelompok Fentanil seberat 1 gram.
12.        Kelompok Metadon seberat 0,5 gram.
13.        Kelompok Morfin seberat 1,8 gram.
14.        Kelompok Petidine seberat 0,96 gram.
15.        Kelompok Kodein seberat 72 gram.
16.        Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram.
c)      Surat Uji Laboratorium yang berisi positif menggunakan Narkoba yang dikeluarkan berdasarkan permintaan penyidik.
d)     Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/ psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.
e)      Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut diatas dapat juga  dijadikan tolok ukur bagi seorang penyalahguna yang diancam pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009. Karena secara logika, antara pecandu dengan penyalahguna adalah sama-sama menyalahgunakan narkotika, hanya saja untuk membedakannya perlu terlebih dahulu dilakukan suatu asesmen atau pembuktian bagi Tersangka atau Terdakwa hingga dapat diketahui oleh Hakim apakah Terdakwa tersebut adalah seorang Pecandu yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap narkotika ataukah hanyalah Penyalahguna yang bukan seorang pecandu. Misalnya seseorang tertangkap tangan memiliki dan menyalahgunakan Narkotika Golongan I dengan jumlah maksimum (sesuai kriterium pada butir 2 Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010) untuk dirinya sendiri, kemudian setelah dilakukan pemeriksaan medis (asesmen) dan/atau pemeriksaan alat-alat bukti di persidangan terungkap bahwa ia bukanlah seorang pecandu atau korban penyalahgunaan Narkotika, maka Terdakwa tersebut  patut dikenakan pidana penjara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a UU No. 35 tahun 2009, jadi bukan dikenakan tindakan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009.
4.      Mengapa komisi pemberantasan  korupsi (KPK) Tidak mengenal SP3 ? Jelaskan !
Jawab : sebagai lembaga luar biasa komisi pemberantasan korupsi (KPK) sama sekali tidak memiliki kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3) karena SP3 dapat dianggap melemahkan KPK .Jika KPK mengeluarkan SP3 hal tersebut sama saja KPK tidak ada bedanya dengan tindak pidana umum atau tindak pidana biasa. Perlu diketahui bahwa penyidikan tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh 3 (tiga) instansi/institusi masing-masing dengan dasar hukumnya yaitu: Penyidik Polri berdasarkan KUHAP dan UU Kepolisian, Jaksa Penyidik berdasarkan Undang-undang Kejaksaan RI dan Penyidik KPK berdasarkan UU KPK.
Penyidik Polri berwenang menyidik tindak pidana Umum dan khusus termasuk korupsi. Sedangkan Jaksa penyidik berwenang menyidik tindak pidana korupsi dan HAM. Sementara KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus terhadap tindak pidana korupsi. Penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik Polri dan Jaksa penyidik dapat di-SP3. Sedangkan penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK tidak dikenal adanya SP3. Penghentian penyidikan dikeluarkan oleh Penyidik Polri dan Jaksa Penyidik apabila memenuhi beberapa alasan antara lain : perkaranya tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, dan alasan penghentian demi hokum (nebis in idem, tersangka meninggal dunia, kadaluarsa).
Sedangkan penghentian penyidikan tidak dikenal dalam undang-undang KPK, hal ini merupakan bentuk dari tekad dari bangsa ini yang menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dengan demikian dibutuhkan penegakan hokum yang luar biasa (extra ordinary) juga. Dengan di bentuknya suatu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti yang diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2002. undang-undang ini memberikan beberapa kekhususan/keistimewaan kepada KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia, hal ini diluar kelaziman penegakan hukum menurut KUHAP, antara lain:
1). komisi ini melibatkan unsur/komponen dari kepolisian, kejaksaan, BPKP, BPK, dengan maksud untuk mempermudah menentukan kerugian keuangan Negara,
2). penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh KPK,
3). setelah selesai pemeriksaan oleh KPK dilanjutkan pemerikasaan oleh hakim ad hoc tindak pidana korupsi.

Sehingga dengan demikian penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak akan terjadi, perbuatan itu korupsi atau bukan menjadi kewenangan dari pengadilan yang akan memutuskan.

5.      Menurut saudara apakah  ulasan tersebut diatas ada tindak pidana lainnya ? kalau ya jelaskan tindak pidananya.
Jawab :
Ya, Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus pada dasarnya sama saja, yaitu berisi hukum pidana material dan tindak pidana formal. Namun jika dilihat dari aspek sumber hukumnya keduanya berbeda, yaitu Tindak Pidana Umum yaitu tindak pidana/perbuatan pidana yang bersumber KUHPidana sementara pada tindak pidana khusus adalah tindak pidana/perbuatan pidana yang bersumber dari peraturan lain di luar KUHPidana Indonesia. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Tindak pidana ekonomi ( UU Darurat nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan tindak pidana ekonomi.)
2.      Tindak pidana Narkotika/Psikotropika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
3.      Tindak pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2011 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Pemberantasan Korupsi)
4.      Tindak pidana pencucian uang (UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
5.      Tindak pidana lingkungan (UU No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup)
6.      Kejahatan HAM (UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)
7.      Tindak pidana fiscal (UU tentang Perpajakan)
8.      Tindak pidana terorisme


Tidak ada komentar:

Posting Komentar