Sejarah Perkembangan Lembaga
Peradilan Pajak di Indonesia
Periode Masa Penjajahan
Lembaga peradilan
pajak di Indonesia sudah ada sejak zaman Pemerintahan Belanda yang dikenal
dengan Raad van Beroep voor Belastingzaken diatur di dalam staatsblad
(stb) 1915 No.707, yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan stb 1927
Nomor 27. Sebelum adanya Raad van
Beroep voor Belastingzaken peradilan mengenai pajak-pajak dalam tingkat
terakhir berada di tangan Gubernur Jenderal, setelah adanya lembaga Raad van Beroep voor
Belastingzaken, sengketa dapat diajukan banding ke Raad van Beroep voor
Belastingzaken. Adanya lembaga ini tidak terlepas dengan dengan
perkembangan yang terjadi di negeri Belanda., dimana di Belanda sendiri juga
sudah dibentuk lembaga yang sama (Raad van Beroep) yang dibentuk pertama
kali tahun 1893. Kemudian berdasarkan asas konkordansi lembaga tersebut diadopsi oleh pemerintah
Hindia Belanda dengan membentuk Raad van Beroep voor Velastingzaken
(Dirjen Pajak) karena jabatannya menjadi Ketua merangkap anggota Pengganti yang
diangkat oleh Gubernur Jenderal, untuk masa jabatan 4 tahun.
Periode Setelah Merdeka
Setelah Merdeka stb 1927 Nomor 27
diubah terakhir dengan UU No. 5 Tahun 1959 dikenal dengan Majelis Pertimbangan
Pajak (MPP).
Susunan
keanggotaan Raad van Beroep voor Velastingzaken (MPP) terdiri atas
seorang Ketua dan empat orang anggota.( dua orang dari Mahkamah Agung dan dua
orang lagi dari KADIN) Ketua diangkat oleh Gubernur Jenderal setelah merdeka
diangkat oleh Presiden. Dan dari masing-masing diangkat pula seorang anggota
pengganti. Dalam peraturan Pasal 2 ayat (6) peraturan MPP ditetapkan bahwa dua
tahun sekali dua orang serta pengganti meletakkan jabatannya menurut daftar
giliran yang disusun oleh Majelis. Keputusan diambil secara musyawarah dan
sifat sidang tertutup.
Kedudukan MPP
adalah sebagai lembaga “Keberatan” dan Lembaga Banding” dalam sengketa pajak.
Sebagai lembaga Keberatan dia memutus dalam instansi pertama dalam sengketa
pajak, sedang sebagai lembaga Banding ia memutus untuk instansi kedua dan
terakhir. Instansi pertama yang menyelesaikan sengketa pajak adalah pejabat
yang menetapkan ketetapan pajak. Baru bila belum merasa puas terhadap keputusan
pejabat tersebut, ia dapat naik banding.
Periode Reformasi Pajak 1983 -
sampai dengan Sekarang
Periode 1983
Tahun 1983
merupakan momentum reformasi dibidang perpajakan dengan membuat undang-undang
pajak nasional menggantikan produk kolonial yang masih bertahan sampai tahun
1983, reformasi ini cukup signifikan karena membuat undang-undang perpajakan
yang berlandaskan falsafah Negara kita yaitu Pancasila dan berdasarkan
konstitusi menyederhanakan, macam-macam pajak tarif pajak dan memperbaiki
manajemen perpajakan dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kemampuan teknologi dibidang
perpajakan dengan sistem koputerisasi.
terhadap keputusan
Dirjen pajak tetap diselesaikan oleh MPP.
Dengan berlakunya Undang-undang
nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
sebagai hukum formal pajak, diamanatkan dalam Pasal 27 untuk dibentuknya suatu
Badan Peradilan Pajak (BPP) yang akan mengadili sengketa Banding pajak terhadap
keputusan Dirjen pajak, yang keputusannya bukan merupakan putusan Tata Usaha
Negara dan bersifat final. Namun BPP yang diamanatkan Pasal 27 UU No.6 tahun
1983 belum bisa terwujud sampai dengan tahun 1997, Penyelesaian sengketa
banding pajak
Lahirnya
Undang-undang No.5 taun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 48
dan penjelasannya memberi contoh upaya administratif adalah suatu prosedur yang
dapat ditempuh seseorang dan badan hukum perdata apabila ia tidak puas pada
Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilkasanakan dilingkungan
pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk, yaitu: Dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan
oleh instansi atasan atau instansi lain yang mengeluarkan putusan, yang
bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan “Banding Administratif”(Pasal 48
dan penjelasan). Salah satu contoh banding administrtif yang sebutkan oleh
penjelasan UU No.5 tahun 1986 tersebut adalah Keputusan MPP.
Dalam hal
penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara harus dilakukan sendiri oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur
yang ditempuh tersebut disebut :Keberatan”. Contoh Pasal 25
Berdasarkan
penjelasan UU No.5 tahun 1986 tersebut MPP termasuk kategori Banding
Administratif dalam sstem peradilan Tata Usah Negara, sehingga keputusan MPP
dengan sendirinya diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk Keputusan Tata
Usaha Negara, hal ini membawa konsekuensi bahwa keputusan MPP yang tidak
memuaskan wajib pajak dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, sesuai dengan ketentuan Pasal 48 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986
yang menyatakan “bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara jika seluruh upaya
administrasi yang bersangkutan telah digunakan. Dalam sistem peradilan tata
usaha Negara menurut UU No.5 tahun 1986 keputusan lembaga banding administratif
apabila tidak memuaskan para pihak dapat mengajukan ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara”.
Periode 1997
Amanat Pasal 27 UU
KUP tersebut. baru terwujud dengan Lahirnya UU No.17 tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), sebagai pengganti MPP. Latar belakang
pembentukan BPSP ini untuk memberikan putusan hukum atas sengketa pajak dengan
proses yang sederhana, cepat dan murah, serta memberikan kepastian hukum dan
keadilan bagi semua pihak.
Karakteristik
peradilan pajak menurut UU No.17 tahun 1997 tentang BPSP ini antara lain;
Dalam UU BPSP ini diatur tentang
susunan BPSP, tata cara pengangkatan ketua, wakil ketua, dan anggota para
hakim, pembinaan dan pengawasan terhadap hakim, tentang kekuasaan BPSP, Hukum
Acara, Prosedur penyelesaian sengketa, macam-macam alat bukti, jenis putusan
dan pelaksaan putusan
BPSP adalah badan
peradilan pajak yang mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus
sengketa pajak, dan putusannya bukan putusan Tata Usaha Negara (Sesuai amant
Pasal 27 KUP). Putusan BPSP merupakan putusan akhir dan bersifat tetap (final),
atau sebagai uapaya hukum terakhir. Tugas dan wewenang BPSP berada diluar tugas
dan wewenang Peradilan Umum dan PTUN.
BPSP memeriksa dan memutus sengketa
pajak berupa:
Banding terhadap keputusan pejabat
yang berwenang;
GuGatan terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan perpajakan dibidang penagihan pajak.
Putusan BPSP
mempunyai kekuatan eksekutorial dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dengan
kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHAN YANG MAHA ESA”
Pembinaan organisasi, administrasi
dan keuangan BPSP dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Periode 2002- sekarang
Pada tahun 2002
keluar Undang-undang No.14 Tahun 2002 tentang pengadilan Pajak, Undang-undang
ini mengubah sistem peradilan pajak dari
BPSP menjadi badan peradilan pajak dengan nama Pengadilan Pajak. Yang melatarbelakangi perubahan tersebut
karena BPSP sebagai suatu badan peradilan belum berpuncak ke Mahkamah Agung,
hal ini dapat terlihat dari konsiderans yang tidak memuat bahwa badan peradilan
tersebut tidak berpuncak ke MA, sehingga tidak sesuai dengan sistem kekuasan
kehakiman di Indonesia, sehingga dirasakan perlu disesuaika dengan sistem
kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia.
Selain itu masih dirasakan kurang
adil dan kurang memberikan kepastian hukum pada era berlakunya BPSP, karena
adanya kewajiban melunasi seluruh pajak yang terutang sebelum banding; tidak
ada upaya hukum lagi bagi wajib pajak terhadap keputusan BPSP.
Perubahan yang terjadi dalam sistem
peradilan pajak baru ini adalah:
Perubahan nama Badan peradilan
Pajak dari BPSP menjadi Penagdilan Pajak.
Pengadilan Pajak sudah berpuncak ke
MA.
Pengadilan Pajak menjadi
penagadilan khusus dari PTUN.
Pembinaan administrasi, organisasi
dan financial pengadilan pajak berada di Departemen Keuangan sedangkan
pembinaan teknis peradilan di bawah MA.
Persidangan dinyatakan terbuka
untuk umum.
Pengadilan pajak merupakan putusan
yang terakhir yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
Upaya Hukum Peninjauan Kembali.
REFORMASI
PAJAK
A. Sebelum 1983
Pajak di Indonesia mengalami
reformasi besar-besaran sejak tahun 1983. Sebelum tahun 1983, Indonesia masih
menggunakan system hukum Pajak dari Belanda, seperti Inkomsten Belasting (PPH),
Verponding (Pajak atas tanah Hak Barat bertransformasi menjadi PBB), Vermogens
Belasting, dll. Semua peraturan pajak tersebut menggunakan bahasa belanda
B. Setelah 1983 - Reformasi
Pajak Dimulai
Sejak tahun 1983, Pemerintah
memutuskan untuk melaksanakan Reformasi Pajak, karena beberapa alasan dan
tujuan, yaitu
5) System pajak Belanda terlalu
banyak dan tidak sistematis, dimana semua setiap aspek diatur dalam
masing-masing peraturan yang berbeda. Dengan reformasi Pajak kini, diharapkan
beberapa peraturan yang berbeda dapat disatukan/digabungkan menjadi satu
peraturan yang sama. Selain itu, juga untuk menyederhanakan aturan-aturan
tentang pajaknya itu sendiri, seperti menyederhanakan penghitungan tariff pajak
dan lain lain.
6) Untuk menyesuaikan dengan
struktur organisasi Negara kita, dimana kita sudah mempunyai konstitusi,
sehingga harus menyesuaikan dengan filosofi dan falsafah Negara
Indonesia
7) Untuk menambah pendapatan
Negara atau APBN dari sektor Pajak, karena sejak tahun 1983 dirasakan
cadangan migas Indonesia semakin menipis, sehingga perlu dicari alternative
pemasukan bagi keuangan Negara
HUKUM POSITIF PAJAK
A. Hukum Formal
Hukum Formal Pajak adalah hukum
atau ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang
terdapat pada Hukum Materiilnya.
Hukum Formal Pajak ini tidak diatur
dalam satu Peraturan saja, melainkan diatur dalam beberapa peraturan, yaitu:
1.
UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah dan
terakhir diubah melalui UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga
("UU KUP").
2.
UU No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah melalui UU No. 19 Tahun
2000 ("UU PPSP")
3.
UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan
Pajak ("UU Pengadilan Pajak")
B. Hukum Materiil
Hukum Materiil adalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Subjek, Objek dan Tariff Pajak. Hukum
Materiil ini terdiri dari:
1.
UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir diubah melalui UU
No. 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga ("UU PPH").
2.
UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No. 18 Tahun 2000 ("UU
PPN & PPnBM")
3.
UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No.12 Tahun 1994
("UU PBB")
4.
UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No. 20
Tahun 2000 Tentang Perubahan ke-1 ("UU BPHTB")
5.
UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai
("UU BM")
SEJARAH
LAHIRNYA PENGADILAN PAJAK
o Pada
awalnya lahir suatu lembaga yang bernama Majelis Pertimbangan Pajak (“MPP”).
o Jika
ditafsirkan dari Penjelasan Pasal 58 UU No. 5 Tahun 1986 (“UU TUN”), MPP
ini merupakan Banding Administrasi, yang mana bukan merupakan suatu badan
peradilan yang mandiri, melainkan suatu lembaga yang mengakomodir Upaya Banding
dari Keberatan dan putusannya masih didalam ruang lingkup Putusan Tata Usaha
Negara
o Tapi
ternyata, hal tersebut bertentangan dengan UU KUP yang mengamanatkan bahwa
upaya banding harus dilakukan oleh suatu badan peradilan yang mandiri, yang
putusannya bukan merupakan putusan Pejabat Tata Usaha Negara. Sehingga MPP ini
diganti dan dibentuk suatu lembaga baru, yaitu Badan Penyelesai Sengketa
Pajak (“BPSP”)
o Tapi
ternyata pada kenyataannya BPSP ini tidak dapat disebut mandiri, karena sebenarnya
BPSP ini tidak bermuara ke Mahkamah Agung, yaitu suatu lembaga tertinggi dari
peradilan yang bebas dan independent. Dalam konsiderannya sama sekali tidak
mengacu kepada UU Kekuasaan Kehakiman. Pada dasarnya suatu lembaga peradilan
dapat dikatakan suatu lembaga yang bebas dan independen, jika lembaga peradilan
tersebut berada di bawah kekuasaan kehakiman, dalam hal ini adalah Mahkamah
Agung.
o Sehingga
dapat diperdebatkan bahwa BPSP ini masih merupakan Lembaga untuk Upaya Banding
Administratif. Hal ini diperkuat dengan preseden dari kasus Tommy Soeharto,
yang pada waktu itu mengajukan bandingnya tidak ke BPSP sebagaimana yang
diamanatkan oleh KUP, melainkan mengajukan ke PT TUN, karena Tommy Soeharto
menganggap bahwa BPSP tidak mandiri. Disinilah akhirnya timbul dualisme
pemahaman mengenai suatu lembaga yang independent dan mandiri dalam
menyelesaikan sengketa pajak.
o Karena
dualisme itulah, akhirnya dengan UU 14 tahun 2002, dibentuk suatu Lembaga
Peradilan yang independent dan mandiri, yaitu Peradilan Pajak, yang mana dalam
konsiderannya sudah mengacu kepada UU Kekuasaan Kehakiman.
PEMBUKUAN - PASAL 28
Ø Masalah
Pembukuan ini sebenarnya sudah diatur dalam Hukum Perdata, sebagaimana yang
diatur dalam KUHD dan UU No. 18 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Masalah
pembukuan ini akan berguna nantinya ketika dijadikan sebagai alat bukti dalam
Pengadilan. Hanya saja, dalam Hukum Perdata tidak mengatur mengenai
sanksi-sanksi jika tidak dilakukan Pembukuan ini. Konsekuensi jika tidak
dilakukannya Pembukuan hanya tidak ada atau kurangnya alat bukti yang dapat
diberikan dalam Pengadilan.
Ø Hal
tersebut sangat berbeda sekali dalam Hukum Pajak, dimana Pembukuan dalam dalam
Hukum Pajak adalah hal yang sangat penting dan wajib, karena pembukuan
tersebut yang dituangkan dalam Laporan Keuangan merupakan dasar pertimbangan
untuk menimbulkan hutang pajak. Pembukuan inilah yang nantinya akan
bersedia data tentang penghasilan seseorang yang nantikan akan dimasukkan
kedalam SPT dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan SPT.
Ø Pembukuan
atau Laporan Keuangan ini akan menjadi bagian dari SPT (lampiran) yang akan
dilaporkan dan ketika tidak dilampirkan Pembukuan atau Laporan Keuangan
tersebut dalam SPT, maka SPT tersebut akan dianggap tidak ada atau dianggap
tidak/belum memasukkan SPT, sehingga akan ada sanksi karena tidak memasukkan
SPT. Pembukuan yang dilakukan ini harus mengikuti norma-norma Ikatan Akuntasi
Indonesia (IAI), yang berarti pembukuan ini harus dilakukan oleh Akuntan Publik
yang terdaftar.
Ø Oleh
karena dalam hukum perdata tidak diatur mengenai sanksi-sanksi jika tidak
menyelenggarakan Pembukuan, sedangkan dipajak sangat penting dan dibutuhkan,
maka dalam hukum pajak ini, yang bersifat Lex Spesialis, mengatur dengan
jelas sanksi-sanksi yang dikenakan bagi WP yang wajib menyelenggarakan
Pembukuan.
KEWAJIBAN
PEMBUKUAN BAGI WP
A. WP yang WAJIB Melakukan
Pembukuan – Pasal 28 (1) KUP
Pasal 28 (1) KUP ini
menjelaskan bahwa terdapat Wajib Pajak yang WAJIB untuk melakukan
Pembukuan, yaitu:
- WP orang
Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas
- WP Badan
B. WP yang TIDAK
WAJIB (DIKECUALIKAN) Melakukan Pembukuan – Pasal 28 ayat (2) KUP
o Pasal
28 ayat (2) KUP ini menjelaskan bahwa ada WP yang dikecualikan atau
dapat tidak melakukan Pembukuan, yaitu hanya WP Orang Pribadi yang
melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas, dimana sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal
14 UU PPH.
o Meski
WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas tersebut dikecualikan
atau tidak wajib melakukan pembukuan, tetapi WP tersebut tetap diwajibkan
untuk melakukan Pencatatan dengan menghitung penghasilan nettonya dengan
cara menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak
Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas. Yang arti WP
tersebut dapat melakukan pencatatan biasa saja, tanpa perlu mengikuti
Norma-norma IAI.
PTKP diberikan
menjadi sebesar:( Pasal 7 UU PPh No.36 Tahun 2008)
a.
Rp.15.840.000,- untuk diri WP Orang Pribadi;
b.
Rp.1.320.000,-
tambahan untuk WP yang kawin;
c.
Rp.15.840.000,- tambahan untuk seorang istri
yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami;
d.
Rp.1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota
sedarah & keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
PTKP BERDASARKAN PERATURAN MENKEU
RI
NOMOR 162/PMK.001/2012, TGL 22
DESEMBER 2012
PTKP diberikan menjadi sebesar:( Pasal 7 UU PPh)
a. Rp.24.300.000,-
=untuk diri WP Orang Pribadi ybs;
b. Rp. 2.025.000,- = tambahan untuk WP yang kawin;
c. Rp.24.300.000,-
=tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami;
d. Rp. 2.025.000,- =tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah & keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
Ada beberapa macam tarif pajak:
1. Tarif
Tetap: adalah tarif yang besarnya merupakan jumlah tetap, tidak berubah jika jumlah yang dijadikan
dasar perhitungan berubah. Contoh Bea Meterai mempunyai tarif tetap,
untuk jumlah penerimaan uang s.d Rp.1.000.000,-
BM nya Rp.3000,- & untuk jumlah uang > Rp.1.000.000,- BM
nya Rp.6.000,-
2. Tarif
Proporsional (Tarif sepadan): adalah tarif yang berupa suatu prosentase ( %
) tetap yang tidak berubah-ubah. Tetapi jika jumlah yang dijadikan dasar perhitungan berubah,
maka jumlah uang
yang harus dibayar berubah juga. Contoh Tarif PPh
Badan 28 %, Tarif atas Dividen, bunga,royalty dikenkan PPh
sbesar 15 % bagi WP dalam negeri (PPh pasal 23),
dan 20 % bagi WP Luar negeri.
3. Tarif
Progresif: adalah tarif yang prosentase pemungutannya makin naik apabila jumlah yang dijadikan dasar
perhitungannya makin naik. Contoh tarif pada pasal 17 PPh.
Contoh: PKP Rp.600.000.000,-. PPh terutang:
•
s.d Rp.50 juta = 5%
XRp. 50.000.000,- =Rp. 2.500.000,-
•
> Rp.50 juta s.d Rp.250 juta
=15%XRp. 200.000.000,- =Rp.
30.000.000,-
•
>Rp.250 juta s.d Rp.500 juta = 25%XRp. 250.000.000,-=Rp. 62.500.000,-
•
>Rp.500 juta
= 30%XRp.100.000.000,- =Rp. 30.000.000,
_______________
PPh
terutang =Rp. 125.000.000,-
Tarif Degresif: adalah tarif yang prosentase
pemungutannya makin turun apabila jumlah yang dijadikan dasar
perhitungannya makin naik. Sekarang macam t
Tidak ada komentar:
Posting Komentar