Minggu, 02 September 2018

HUKUM PAJAK 3

Sejarah Perkembangan Lembaga Peradilan Pajak di Indonesia

Periode Masa Penjajahan

Lembaga peradilan pajak di Indonesia sudah ada sejak zaman Pemerintahan Belanda yang dikenal dengan Raad van Beroep voor Belastingzaken diatur di dalam staatsblad (stb) 1915 No.707, yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan stb 1927 Nomor 27.  Sebelum adanya Raad van Beroep voor Belastingzaken peradilan mengenai pajak-pajak dalam tingkat terakhir berada di tangan Gubernur Jenderal,  setelah adanya lembaga Raad van Beroep voor Belastingzaken, sengketa dapat diajukan banding ke Raad van Beroep voor Belastingzaken. Adanya lembaga ini tidak terlepas dengan dengan perkembangan yang terjadi di negeri Belanda., dimana di Belanda sendiri juga sudah dibentuk lembaga yang sama (Raad van Beroep) yang dibentuk pertama kali tahun 1893. Kemudian berdasarkan asas konkordansi  lembaga tersebut diadopsi oleh pemerintah Hindia Belanda dengan membentuk Raad van Beroep voor Velastingzaken (Dirjen Pajak) karena jabatannya menjadi Ketua merangkap anggota Pengganti yang diangkat oleh Gubernur Jenderal, untuk masa jabatan 4 tahun.
Periode Setelah Merdeka

Setelah Merdeka stb 1927 Nomor 27 diubah terakhir dengan UU No. 5 Tahun 1959 dikenal dengan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).
 
Susunan keanggotaan Raad van Beroep voor Velastingzaken (MPP) terdiri atas seorang Ketua dan empat orang anggota.( dua orang dari Mahkamah Agung dan dua orang lagi dari KADIN) Ketua diangkat oleh Gubernur Jenderal setelah merdeka diangkat oleh Presiden. Dan dari masing-masing diangkat pula seorang anggota pengganti. Dalam peraturan Pasal 2 ayat (6) peraturan MPP ditetapkan bahwa dua tahun sekali dua orang serta pengganti meletakkan jabatannya menurut daftar giliran yang disusun oleh Majelis. Keputusan diambil secara musyawarah dan sifat sidang tertutup.
Kedudukan MPP adalah sebagai lembaga “Keberatan” dan Lembaga Banding” dalam sengketa pajak. Sebagai lembaga Keberatan dia memutus dalam instansi pertama dalam sengketa pajak, sedang sebagai lembaga Banding ia memutus untuk instansi kedua dan terakhir. Instansi pertama yang menyelesaikan sengketa pajak adalah pejabat yang menetapkan ketetapan pajak. Baru bila belum merasa puas terhadap keputusan pejabat tersebut, ia dapat naik banding.

Periode Reformasi Pajak 1983 - sampai dengan Sekarang

Periode 1983

Tahun 1983 merupakan momentum reformasi dibidang perpajakan dengan membuat undang-undang pajak nasional menggantikan produk kolonial yang masih bertahan sampai tahun 1983, reformasi ini cukup signifikan karena membuat undang-undang perpajakan yang berlandaskan falsafah Negara kita yaitu Pancasila dan berdasarkan konstitusi menyederhanakan, macam-macam pajak tarif pajak dan memperbaiki manajemen perpajakan dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kemampuan teknologi dibidang perpajakan dengan sistem koputerisasi.

terhadap keputusan Dirjen pajak tetap diselesaikan oleh MPP.
Dengan berlakunya Undang-undang nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagai hukum formal pajak, diamanatkan dalam Pasal 27 untuk dibentuknya suatu Badan Peradilan Pajak (BPP) yang akan mengadili sengketa Banding pajak terhadap keputusan Dirjen pajak, yang keputusannya bukan merupakan putusan Tata Usaha Negara dan bersifat final. Namun BPP yang diamanatkan Pasal 27 UU No.6 tahun 1983 belum bisa terwujud sampai dengan tahun 1997, Penyelesaian sengketa banding pajak

Lahirnya Undang-undang No.5 taun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 48 dan penjelasannya memberi contoh upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh seseorang dan badan hukum perdata apabila ia tidak puas pada Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilkasanakan dilingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk, yaitu:  Dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain yang mengeluarkan putusan, yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan “Banding Administratif”(Pasal 48 dan penjelasan). Salah satu contoh banding administrtif yang sebutkan oleh penjelasan UU No.5 tahun 1986 tersebut adalah Keputusan MPP.
Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut :Keberatan”. Contoh Pasal 25

Berdasarkan penjelasan UU No.5 tahun 1986 tersebut MPP termasuk kategori Banding Administratif dalam sstem peradilan Tata Usah Negara, sehingga keputusan MPP dengan sendirinya diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini membawa konsekuensi bahwa keputusan MPP yang tidak memuaskan wajib pajak dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sesuai dengan ketentuan Pasal 48 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986 yang menyatakan “bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara jika seluruh upaya administrasi yang bersangkutan telah digunakan. Dalam sistem peradilan tata usaha Negara menurut UU No.5 tahun 1986 keputusan lembaga banding administratif apabila tidak memuaskan para pihak dapat mengajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara”.
Periode 1997

Amanat Pasal 27 UU KUP tersebut. baru terwujud dengan Lahirnya UU No.17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), sebagai pengganti MPP. Latar belakang pembentukan BPSP ini untuk memberikan putusan hukum atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat dan murah, serta memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.

Karakteristik peradilan pajak menurut UU No.17 tahun 1997 tentang BPSP ini antara lain;
Dalam UU BPSP ini diatur tentang susunan BPSP, tata cara pengangkatan ketua, wakil ketua, dan anggota para hakim, pembinaan dan pengawasan terhadap hakim, tentang kekuasaan BPSP, Hukum Acara, Prosedur penyelesaian sengketa, macam-macam alat bukti, jenis putusan dan pelaksaan putusan
BPSP adalah badan peradilan pajak yang mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak, dan putusannya bukan putusan Tata Usaha Negara (Sesuai amant Pasal 27 KUP). Putusan BPSP merupakan putusan akhir dan bersifat tetap (final), atau sebagai uapaya hukum terakhir. Tugas dan wewenang BPSP berada diluar tugas dan wewenang Peradilan Umum dan PTUN.
BPSP memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:
Banding terhadap keputusan pejabat yang berwenang;
GuGatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan dibidang penagihan pajak.
Putusan BPSP mempunyai kekuatan eksekutorial dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dengan kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHAN YANG MAHA ESA”
Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan BPSP dilakukan oleh Departemen Keuangan.

Periode 2002- sekarang
Pada tahun 2002 keluar Undang-undang No.14 Tahun 2002 tentang pengadilan Pajak, Undang-undang ini  mengubah sistem peradilan pajak dari BPSP menjadi badan peradilan pajak dengan nama Pengadilan Pajak.  Yang melatarbelakangi perubahan tersebut karena BPSP sebagai suatu badan peradilan belum berpuncak ke Mahkamah Agung, hal ini dapat terlihat dari konsiderans yang tidak memuat bahwa badan peradilan tersebut tidak berpuncak ke MA, sehingga tidak sesuai dengan sistem kekuasan kehakiman di Indonesia, sehingga dirasakan perlu disesuaika dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia.
Selain itu masih dirasakan kurang adil dan kurang memberikan kepastian hukum pada era berlakunya BPSP, karena adanya kewajiban melunasi seluruh pajak yang terutang sebelum banding; tidak ada upaya hukum lagi bagi wajib pajak terhadap keputusan BPSP.

Perubahan yang terjadi dalam sistem peradilan pajak baru ini adalah:
Perubahan nama Badan peradilan Pajak dari BPSP menjadi Penagdilan Pajak.
Pengadilan Pajak sudah berpuncak ke MA.
Pengadilan Pajak menjadi penagadilan khusus dari PTUN.
Pembinaan administrasi, organisasi dan financial pengadilan pajak berada di Departemen Keuangan sedangkan pembinaan teknis peradilan di bawah MA.
Persidangan dinyatakan terbuka untuk umum.
Pengadilan pajak merupakan putusan yang terakhir yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
Upaya Hukum Peninjauan Kembali.

REFORMASI PAJAK
A. Sebelum 1983
Pajak di Indonesia mengalami reformasi besar-besaran sejak tahun 1983. Sebelum tahun 1983, Indonesia masih menggunakan system hukum Pajak dari Belanda, seperti Inkomsten Belasting (PPH), Verponding (Pajak atas tanah Hak Barat bertransformasi menjadi PBB), Vermogens Belasting, dll. Semua peraturan pajak tersebut menggunakan bahasa belanda

B. Setelah 1983 - Reformasi Pajak Dimulai

Sejak tahun 1983, Pemerintah memutuskan untuk melaksanakan Reformasi Pajak, karena beberapa alasan dan tujuan, yaitu
5) System pajak Belanda terlalu banyak dan tidak sistematis, dimana semua setiap aspek diatur dalam masing-masing peraturan yang berbeda. Dengan reformasi Pajak kini, diharapkan beberapa peraturan yang berbeda dapat disatukan/digabungkan menjadi satu peraturan yang sama. Selain itu, juga untuk menyederhanakan aturan-aturan tentang pajaknya itu sendiri, seperti menyederhanakan penghitungan tariff pajak dan lain lain.

6) Untuk menyesuaikan dengan struktur organisasi Negara kita, dimana kita sudah mempunyai konstitusi, sehingga harus menyesuaikan dengan filosofi dan falsafah Negara Indonesia

7) Untuk menambah pendapatan Negara atau APBN dari sektor Pajak, karena sejak tahun 1983 dirasakan cadangan migas Indonesia semakin menipis, sehingga perlu dicari alternative pemasukan bagi keuangan Negara

HUKUM POSITIF PAJAK
A. Hukum Formal
Hukum Formal Pajak adalah hukum atau ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Hukum Materiilnya.
Hukum Formal Pajak ini tidak diatur dalam satu Peraturan saja, melainkan diatur dalam beberapa peraturan, yaitu:
1.      UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir diubah melalui UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga ("UU KUP").

2.      UU No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah melalui UU No. 19 Tahun 2000 ("UU PPSP")

3.      UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak ("UU Pengadilan Pajak")

B. Hukum Materiil

Hukum Materiil adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Subjek, Objek dan Tariff Pajak. Hukum Materiil ini terdiri dari:
1.      UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir diubah melalui UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga ("UU PPH").

2.      UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No. 18 Tahun 2000 ("UU PPN & PPnBM")

3.      UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No.12 Tahun 1994 ("UU PBB")

4.      UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah diubah melalui UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan ke-1 ("UU BPHTB")

5.      UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai ("UU BM")

SEJARAH LAHIRNYA PENGADILAN PAJAK
o    Pada awalnya lahir suatu lembaga yang bernama Majelis Pertimbangan Pajak (“MPP”).

o    Jika ditafsirkan dari Penjelasan Pasal 58 UU No. 5 Tahun 1986 (“UU TUN”), MPP ini merupakan Banding Administrasi, yang mana bukan merupakan suatu badan peradilan yang mandiri, melainkan suatu lembaga yang mengakomodir Upaya Banding dari Keberatan dan putusannya masih didalam ruang lingkup Putusan Tata Usaha Negara

o    Tapi ternyata, hal tersebut bertentangan dengan UU KUP yang mengamanatkan bahwa upaya banding harus dilakukan oleh suatu badan peradilan yang mandiri, yang putusannya bukan merupakan putusan Pejabat Tata Usaha Negara. Sehingga MPP ini diganti dan dibentuk suatu lembaga baru, yaitu Badan Penyelesai Sengketa Pajak (“BPSP”)

o    Tapi ternyata pada kenyataannya BPSP ini tidak dapat disebut mandiri, karena sebenarnya BPSP ini tidak bermuara ke Mahkamah Agung, yaitu suatu lembaga tertinggi dari peradilan yang bebas dan independent. Dalam konsiderannya sama sekali tidak mengacu kepada UU Kekuasaan Kehakiman. Pada dasarnya suatu lembaga peradilan dapat dikatakan suatu lembaga yang bebas dan independen, jika lembaga peradilan tersebut berada di bawah kekuasaan kehakiman, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung.

o    Sehingga dapat diperdebatkan bahwa BPSP ini masih merupakan Lembaga untuk Upaya Banding Administratif. Hal ini diperkuat dengan preseden dari kasus Tommy Soeharto, yang pada waktu itu mengajukan bandingnya tidak ke BPSP sebagaimana yang diamanatkan oleh KUP, melainkan mengajukan ke PT TUN, karena Tommy Soeharto menganggap bahwa BPSP tidak mandiri. Disinilah akhirnya timbul dualisme pemahaman mengenai suatu lembaga yang independent dan mandiri dalam menyelesaikan sengketa pajak.

o    Karena dualisme itulah, akhirnya dengan UU 14 tahun 2002, dibentuk suatu Lembaga Peradilan yang independent dan mandiri, yaitu Peradilan Pajak, yang mana dalam konsiderannya sudah mengacu kepada UU Kekuasaan Kehakiman.


PEMBUKUAN - PASAL 28
Ø  Masalah Pembukuan ini sebenarnya sudah diatur dalam Hukum Perdata, sebagaimana yang diatur dalam KUHD dan UU No. 18 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Masalah pembukuan ini akan berguna nantinya ketika dijadikan sebagai alat bukti dalam Pengadilan. Hanya saja, dalam Hukum Perdata tidak mengatur mengenai sanksi-sanksi jika tidak dilakukan Pembukuan ini. Konsekuensi jika tidak dilakukannya Pembukuan hanya tidak ada atau kurangnya alat bukti yang dapat diberikan dalam Pengadilan.

Ø  Hal tersebut sangat berbeda sekali dalam Hukum Pajak, dimana Pembukuan dalam dalam Hukum Pajak adalah hal yang sangat penting dan wajib, karena pembukuan tersebut yang dituangkan dalam Laporan Keuangan merupakan dasar pertimbangan untuk menimbulkan hutang pajak. Pembukuan inilah yang nantinya akan bersedia data tentang penghasilan seseorang yang nantikan akan dimasukkan kedalam SPT dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan SPT.

Ø  Pembukuan atau Laporan Keuangan ini akan menjadi bagian dari SPT (lampiran) yang akan dilaporkan dan ketika tidak dilampirkan Pembukuan atau Laporan Keuangan tersebut dalam SPT, maka SPT tersebut akan dianggap tidak ada atau dianggap tidak/belum memasukkan SPT, sehingga akan ada sanksi karena tidak memasukkan SPT. Pembukuan yang dilakukan ini harus mengikuti norma-norma Ikatan Akuntasi Indonesia (IAI), yang berarti pembukuan ini harus dilakukan oleh Akuntan Publik yang terdaftar.

Ø  Oleh karena dalam hukum perdata tidak diatur mengenai sanksi-sanksi jika tidak menyelenggarakan Pembukuan, sedangkan dipajak sangat penting dan dibutuhkan, maka dalam hukum pajak ini, yang bersifat Lex Spesialis, mengatur dengan jelas sanksi-sanksi yang dikenakan bagi WP yang wajib menyelenggarakan Pembukuan.

KEWAJIBAN PEMBUKUAN BAGI WP
A. WP yang WAJIB Melakukan Pembukuan – Pasal 28 (1) KUP
Pasal 28 (1) KUP ini menjelaskan bahwa terdapat Wajib Pajak yang WAJIB untuk melakukan Pembukuan, yaitu:
- WP orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas
- WP Badan

B. WP yang TIDAK WAJIB (DIKECUALIKAN) Melakukan Pembukuan – Pasal 28 ayat (2) KUP
o   Pasal 28 ayat (2) KUP ini menjelaskan bahwa ada WP yang dikecualikan atau dapat tidak melakukan Pembukuan, yaitu hanya WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas, dimana sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 14 UU PPH.

o   Meski WP Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha/Pekerjaan Bebas tersebut dikecualikan atau tidak wajib melakukan pembukuan, tetapi WP tersebut tetap diwajibkan untuk melakukan Pencatatan dengan menghitung penghasilan nettonya dengan cara menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas. Yang arti WP tersebut dapat melakukan pencatatan biasa saja, tanpa perlu mengikuti Norma-norma IAI.



PTKP diberikan  menjadi sebesar:( Pasal 7 UU PPh No.36 Tahun 2008)
a.       Rp.15.840.000,- untuk diri WP Orang Pribadi;
b.      Rp.1.320.000,-   tambahan untuk WP yang kawin;
c.       Rp.15.840.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya                                          digabung  dengan penghasilan suami;
d.      Rp.1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota sedarah & keluarga                              semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3              orang untuk setiap keluarga.

PTKP BERDASARKAN PERATURAN MENKEU RI
NOMOR 162/PMK.001/2012, TGL 22 DESEMBER 2012
PTKP diberikan  menjadi sebesar:( Pasal 7 UU PPh)
a.       Rp.24.300.000,- =untuk diri WP Orang Pribadi ybs;
b.      Rp.  2.025.000,- = tambahan untuk WP yang kawin;
c.       Rp.24.300.000,- =tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya                                         digabung  dengan penghasilan suami;
d.      Rp.  2.025.000,- =tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah & keluarga  semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat    yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3           orang untuk setiap keluarga.

Ada beberapa macam tarif pajak:
1.      Tarif Tetap: adalah tarif yang besarnya merupakan jumlah tetap, tidak                 berubah jika jumlah yang dijadikan dasar perhitungan berubah.                        Contoh Bea Meterai mempunyai tarif tetap, untuk jumlah                                    penerimaan uang s.d Rp.1.000.000,- BM nya Rp.3000,- & untuk                 jumlah uang > Rp.1.000.000,- BM nya Rp.6.000,-
           
2.      Tarif Proporsional (Tarif sepadan): adalah tarif yang berupa suatu                                  prosentase ( % ) tetap yang tidak berubah-ubah. Tetapi jika                 jumlah  yang dijadikan dasar perhitungan berubah, maka                         jumlah uang yang harus dibayar berubah juga. Contoh Tarif                         PPh Badan 28 %, Tarif  atas        Dividen, bunga,royalty                                   dikenkan PPh sbesar 15 % bagi WP dalam negeri (PPh pasal                   23), dan 20 % bagi WP Luar negeri.

3.      Tarif Progresif: adalah tarif yang prosentase pemungutannya makin naik                      apabila jumlah yang dijadikan dasar perhitungannya makin                            naik. Contoh tarif pada pasal 17 PPh. Contoh: PKP                                          Rp.600.000.000,-. PPh terutang:
         s.d Rp.50 juta                 =  5% XRp.  50.000.000,-                =Rp.    2.500.000,-
         > Rp.50 juta s.d Rp.250 juta      =15%XRp. 200.000.000,- =Rp.   30.000.000,-
         >Rp.250 juta s.d Rp.500 juta  = 25%XRp. 250.000.000,-=Rp.   62.500.000,-
         >Rp.500 juta                  = 30%XRp.100.000.000,- =Rp.   30.000.000,
                                                                                                    _______________
                        PPh terutang                                                       =Rp. 125.000.000,-
Tarif Degresif: adalah tarif yang prosentase pemungutannya makin turun                              apabila jumlah yang dijadikan dasar perhitungannya makin                   naik. Sekarang macam t

Tidak ada komentar:

Posting Komentar