A. Apakah diperlukan Peraturan baru
mengenai Label dan Iklan Pangan
Jawab : IYA,
diperlukan peraturan baru mengenai Label dan Iklan Pangan sebagai Peraturan
Pelaksanaan dari Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, hal tersebut
secara jelas dinyatakan dalam Pasal 150 UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
yang menyebutkan bahwa “Peraturan
pelaksanaan Undang-undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Hal tersebut juga
didukung oleh teori perundangan menurut Adolf
Mekl, yang menyatakan bahwa “suatu
norma hukum bersumber dari norma di atasnya tetapi ia juga dapat menjadi sumber
bagi norma di bawahnya”. Sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa
berlaku yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu
tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya sehingga apabila norma hukum
yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada
dibawahnya tercabut atau terhapus pula.
Selain itu
didukung dengan teori Hans Kelsen
mengenai hierarki peraturan perundang-undangan, yang menyebutkan bahwa “Setiap norma di bawah bersumber pada norma
yang ada di atasnya”. Dalam hierarki perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Tap MPR, UU, PP, hal ini menunjukkan bahwa
sistem hukum merupakan suatu hierarki dari hukum. Dalam hierarki tersebut,
suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi dan
ketentuan yang lebih rendah merupakan kongkretisasi dari ketentuan yang lebih
tinggi.
Seperti kita
ketahui bahwa PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Yang
mana Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan telah dicabut dan dinyatakan tidakberlaku oleh Undang-Undang No. 18 tahun
2012 tentang Pangan (vide Pasal 153).
Tetapi sampai dengan saat ini PP No. 69 tahun 1999 tersebut belum dicabut dan masih diberlakukan.
Terkait materi
dalam PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan terdapat beberapa
materi klausula dalam PP No. 69 Tahun 1999 tersebut yang masih relevan dengan Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang
Pangan. Namun ada pula beberapa materi klausula dalam PP No. 69 tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan yang belum
mengakomodir ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No. 18 tahun 2012.
Peraturan
Pemerintah (PP) Sebagai bentuk kongkretisasi pelaksanaan Undang-Undang, yang
mana ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) harus
mengacu dan dapat mengakomodir ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang, sehingga terdapat harmonisasi antara Peraturan Pemerintah (PP)
dengan Undang-Undang (UU) yang diharapkan dalam pelaksanaannya kedua peraturan
tersebut mampu berjalan beriringan, maka dengan demikian diperlukan peraturan
baru (Peraturan Pemerintah/PP) sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang yang
dapat menyerap (mengabsorb) ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 18
Tahun 2012 agar kedua peraturan tersebut dapat berjalan dangan baik.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 dan PP Nomor 69 Tahun 1999
|
|||||
NO
|
JUDUL
|
POKOK MATERI MUATAN/ARAH PENGATURAN
|
AMANAT UNDANG-UNDANG
|
PENJELASAN
|
|
|
Alternatif Penyesuaian
PP
|
Label dan Iklan Pangan
|
Bagian Kesatu : LABEL
PANGAN UU No. 18 Tahun 2012 dari Pasal 96 s/d Pasal 103
|
Aspek kewajiban
pelabelan pangan berlaku bagi semua pangan yang dikemas untuk diperdagangkan,
baik pangan yang diproduksi oleh industri pangan berskala besar, menengah,
maupun kecil atau Industri Rumah Tangga (IRTP), guna melindungi konsumen dari
produk yang tidak aman untuk dikonsumsi maupun untuk melindungi hak konsumen
dalam mendapatkan informasi yang benar dari produk pangan sesuai yang tertera
pada labelnya (UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Bab III Pasal
4 dan Codex Stand I-1985)
|
|
1
|
L A B E L P A N G A N
|
Urutan Bagian dalam
Rancangan PP:
|
|
||
1. Bagian utama label
|
Aspek Keterangan
minimal yang harus tercantum dalam label pangan sesuai amanat Pasal 103 UU
No. 18 Tahun 2012 tentang UU Pangan
|
-
|
Dalam hal ini guna
mengatasi perbedaan/kesenjangan informasi tentang keterangan minimal dalam
peraturan perundangan pelabelan
|
||
2. Nama produk pangan
|
|
||||
3. Daftar bahan yang digunakan
|
|
||||
4. Isi bersih dan bobot tuntas
|
-
|
Adanya kesesuaian
informasi baik dalam UU Pangan, PP Pelabelan dan juga Pedoman Umum Pelabelan
Produk Pangan (produk hukum yang bersifat petunjuk teknis penerapan peraturan
pelabelan baik UU pangan maupun PP Pelabelan).
|
|||
5. Nama dan alamat pihak yang memproduksi dan
mengimpor
|
|
||||
6. Pangan halal yang dipersyaratkan
|
|
||||
7. Tanggal dan kode produksi
|
-
|
Tetap memberlakukan
KETENTUAN KHUSUS dalam batasan penerapan kewajiban pelabelan bagi beberapa
produk pangan, sesuai amanat Pasal 98 ayat (2) dan Pasal 91 UU No. 18 Tahun
2012 dan kebijakan pemerintah yang lain sesuai PP Keamanan, Mutu an Gizi
Pangan Bab V Pasal 44 tahun 2004
|
|||
8. Tanggal bulan dan tahun kadaluwarsa
|
|
||||
9. Nomor izin edar
|
|
||||
10. Asal usul bahan
pangan tertentu
|
|
||||
11. Informasi nilai
gizi
|
|
Walaupun bukan
merupakan kewajiban, namun pencantuman informasi nilai gizi seolah-olah
menjadi sebuah trend/kecenderungan baru di kalangan Industri pangan. Produk
pangan yang disertai informasi nilai gizi pada kemasannya dianggap memiliki
mutu yang lebih baik
|
|||
12. Keterangan
iradiasi pangan
|
Bagian Kelima tentang
Pengaturan Iradiasi Pangan dalam Pasal 80 dan Pasal 81 UU No. 18 Tahun 2012
|
|
|||
13. Keterangan pangan
Produk Rekayasa Genetik
|
Bagian Keempat
ketentuan tentang pengaturan pangan produk rekayasa genetik dalam Pasal 77
s/d Pasal 79
|
|
|||
14. Keterangan tentang
pangan yang dibuat dari bahan baku alamiah
|
|
Ada dalam PP
sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
|
|||
14. Keterangan lain
pada label tentang pangan olahan tertentu
|
|
Ada dalam PP
sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
|
|||
15. Keterangan tentang
pangan yang mengandung allergen
|
|
Hal ini penting
mendapatkan perhatian guna meminimalkan terjadinya kasus keracunan pangan
akibat mengkonsumsi alergen pangan. Dalam era perdagangan global saat ini,
produsen pangan harus mengetahui dan sebisa mungkin memenuhi persyaratan
pelabelan khususnyaa alergen pangan. Jika tidak, akan dijumpai penolakan
produk pangan asal Indonesia yang diekspor ke negara yang memiliki aturan
pelabelan alergen pangan. alergen yang dimaksud adalah gluten, kerang dan
hasil olahnya, telur dan hasil olahnya, ikan dan hasil olahnya, kacang tanah,
kacang kedelai dan hasil olahnya, susu dan hasil olahnya, biji-bijian ( pala,
kepala dll).
|
|||
16. Keterangan tentang
Bahan Tambahan Pangan
|
Bagian Ketiga:
Ketentuan Pengtauran BahanTambahan pangan dalam Pasal 73 s/d Pasal 76
|
|
|||
2
|
I K L A N P A N G A N
|
Urutan Bagian dalam
Rancangan PP:
|
Bagian Kedua : IKLAN PANGAN UU No. 18 Tahun 2012 tentang UU
Pangan
|
||
1. Iklan yang berkaitan dengan pangan halal;
|
Sesuai dengan amanat
Pasal 106 ayat (3) dan Pasal 107 UU No.18 Tahun 2012 tentang UU Pangan
|
Sesuai Pasal 105 UU
No.18 Tahun 2012
|
|||
2. Iklan pangan yang berkaitan dengan klaim
tertentu;
|
Semua sumber peraturan
pelabelan dengan tegas melarang klaim yang menyatakan pangan dapat berfungsi
sebagai obat. Saat ini memang berkembang produk pangan yang kandungan
komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan di luar manfaat
yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya, produk pangan
ini dikenal dengan kelompok pangan fungsional (ILSI 1996). Pelarangan ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya salah pengertian (misleading) konsumen dalam mengkonsumsi pangan yang bersangkutan.
|
||||
3. Iklan tentang pangan untuk kelompok orang
tertentu;
|
Ada dalam PP
sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
|
||||
4. Iklan yang berkaitan dengan asal dan sifat
bahan pangan;
|
Ada dalam PP
sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
|
||||
5. Iklan tentang minuman berakohol
|
Ada dalam PP
sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
|
||||
3
|
P E N
G A W A S
A N
|
Dalam BAB IV
PENGAWASAN PP NO.69 Tahun 1999 yang harus disesuaikan dengan BAB IX
PENGAWASAN Pasal 112 UU Pangan baru No. 18 tahun 2012
|
Dalam proses
pengawasan pangan yang dilaksanakan dapat dilakaukan melalui kegiatan sebagai
berikut:
|
||
a.
|
Penetapan standar dan
persyaratan keamanan, mutu dan gizi;
|
||||
b.
|
Penetapan standar dan
persyaratan produksi dan distribusi;
|
||||
c.
|
Penilaian keamanan,
mutu dan gizi produk serta label dalam rangka pemberian surat persetujuan
pendaftaran;
|
||||
d.
|
Pelaksanaan inspeksi
dan sertifikasi produksi;
|
||||
e.
|
Pemeriksaan sarana
produksi dan distribusi;
|
||||
f.
|
Pengambilan contoh dan
pengujian laboratorium serta pemantauan label produk;
|
||||
g.
|
Penilaian materi
promosi termasuk iklan sebelum beredar dan pemantauannya di peredaran;
|
||||
h.
|
Pemberian bimbingan di
bidang produksi dan distribusi;
|
||||
i.
|
Penarikan dari
peredaran dan pemusnahan;
|
||||
j.
|
Pemberian sanksi
administratif;
|
||||
k.
|
Pemberian informasi.
|
||||
4
|
S A
N K S I
|
Dalam BAB V TINDAKAN
ADMINISTRATIF PP NO.69 Tahun 1999 yang harus disesuaikan dengan amanat Pasal
102 ayat (4) dan BAB XV KETENTUAN PIDANA UU Pangan baru No. 18 tahun 2012
|
-
|
Pengaturan tentang sanksi dan
penegakan hukum pada UU Pangan lama masih relatif lemah, padahal penyimpangan
dalam bisnis pangan sangat membahayakan bagi kesehatan manusia, masyarakat
sampai pada stabilitas politik. Pada
UU Pangan baru aspek ini ditata lebih rinci dengan sanksi yang relatif lebih
berat.
|
|
-
|
Dalam kondisi ini penting untuk
dilakukan penyesuaian dan penegasan atas kebijakan tersebut diatur dalam PP
yang baru sebagai peraturan pelaksanaan tertulis yang memiliki kekuatan
mengikat dan memberikan efek jera bagi para pelanggar atau mafia pangan
|
||||
C. Instansi Yang Berperan Dalam Peraturan
Perundangan tentang Label dan Iklan Pangan
Dalam hal penanganan
masalah terkait labelisasi Obat dan Makanan saat ini, maka koordinasi
kelembagaan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
1.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BP-POM)
Dalam kedudukannya sebagai lembaga
pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pengawasan Obat dan Makanan. BPOM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan. Merujuk ketentuan dalam pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan
Presiden Nomor 80 Tahun 2017 bahwa rincian tugas,fungsidankewenanganBadan Pengawasan Obat dan
Makanan (BP-POM) adalah sebagai berikut
a.
Penilaian khasiat/kemanfaatan, keamanan, mutu, dan penandaan
serta analisis laboratoriumdalamrangkapemberianizinedarobat
termasuknarkotika,bahanobat, produk diagnostik invivo, obat tradisional,
kosmetika, dan makanan;
b.
Pemeriksaan
kelengkapan administrasi dan
pemeriksaan setempat terhadap
permohonanizinusaha,industridandistribusi,obattermasuknarkotika,bahanobat dan
obat tradisional dalam rangka pemberian izin oleh menteri kesehatan;
c.
Pemeriksaansetempatdalamrangkapembinaandanpengawasandibidangproduksi
dan distribusi obat termasuk narkotika, bahan
obat, produk diagnostik invivo,obat tradisional,kosmetika,
perbekalankesehatanrumahtanggadanmakananserta sertifikasi cara pembuatan yang
baik;
d.
Pengambilancontohdanpengujianlaboratoriumterhadapobattermasuknarkotika,
bahan obat, produk
diagnostik invivo, obat
tradisional, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan
yang beredar;
e.
Pemberian
rekomendasi surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor
narkotika,psikotropikadanprecursordalamrangka pemberianizin olehmenteri
kesehatan;
f.
Pemberianperingatandanpenutupansementarasaranaproduksidandistribusiyang
melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan yang menyangkut obat
termasuk narkotika, bahan obat, produk
diagnostik invivo, obat
tradisional, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan
makanan;
g.
Penilaian
dan pemantauan promosi dan iklan obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika,
perbekalan kesehatan rumah tangga danmakanan;
h.
Pelaksanaan
monitoring efek samping dan pemberianinformasi;
i.
Penarikankembalidariperedarandanpemusnahanobattermasuknarkotika,bahan
obat,produkdiagnostikyangberisiko tinggi,obattradisional, kosmetikadanmakanan
yang tidak memenuhi syarat;
j.
Penyusunanstandardanpersyaratanmutu,keamanandankemanfaatanprodukyang
berupa farmakope indonesia, materia
medika indonesia dan kodeks kosmetika indonesia untuk ditetapkan oleh menteri
kesehatan;
k.
Penetapanpedomanteknispelaksanaanpenilaiandanpengujianlaboratoriumobat
termasukbahanobat, produkdiagnostikinvivo, obattradisional,kosmetika,perbekalan
kesehatanrumahtanggadanmakanansertapemeriksaansaranaproduksii dan
distribusinya;
l.
Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan
(aditif)tertentu untuk makanan
danpenetapan pedomanpengawasanperedaran;
m. Penyidikantindakpidanadibidangobattermasuknarkotikadanpsikotropika,bahan
obat, obat tradisional, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan
makanan.
Adapun Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah
lainnya yang menjadilandasan
teknispelaksanaan tugasfungsiBPOM,antaralain:(i)UU Nomor18Tahun 2012tentangPangan;(ii)UUNomor36tahun 2009tentang
KesehatanjunctoPPNomor109Tahun2012tentangPengamananBahanyang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi
Kesehatan;(iii)UU Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika; (iv) PP Nomor 40 Tahun
2013 tentangPelaksanaanUUNomor35Tahun2009tentangNarkotika;(v)PP Nomor 44 Tahun 2010
tentang Prekursor; (vi) PP Nomor 21 Tahun
2005 tentangKeamananHayatiProdukRekayasaGenetika;(vii)PPNomor28Tahun 2004tentangKeamanan,Mutu,danGiziPangan;serta(viii)PPNomor72 Tahun
1998 tentangPengamanan Sediaan Farmasi
BPOM merupakan lembaga pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk memberikan labelisasi halan, karena BPOM telah menyerahkan sepenuhnya sertifikasi halal ini kepada Komisi Fatwa MUI. Pemberian atau penolakan
sertifikathalalsepenuhnya beradadiMUI.BerdasarkanfatwaMUIini,BPOMakanmemberi
persetujuanpencantumanlabel halalbagiyangmemperolehsertifikathalal,ataumemberi
penolakanbagiyangtidakmengantongisertifikat halal. Pencantuman keterangan halal
pada label harus disertai dengan sertifikasi halal oleh MUI, yang dilakukan
bersama-sama dengan Badan POM dan Departemen Agama, yang disertai izin
pencantuman halal dari Badan POM. Kewenangan Badan POM memberikan izin
pencantuman keterangan halal pada label terkait dengan pengawasan label pangan.
Di
peredaran masih ditemukan adanya pangan yang mencantumkan label tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti : label tidak
menggunakan bahasa Indonesia, label mudah lepas, label mudah luntur atau rusak,
label diletakkan pada bagian kemasan pangan yang tidak mudah untuk dilihat dan
dibaca, serta label tidak mencantumkan keterangan secara lengkap. Dalam hal ini
BPOM mengingatkan kepada seluruh produsen/importir/distributor pangan bahwa sesuai
dengan ketentuan : Undang-undang No.18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan
Pemerintah No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.1.2569 Tahun 2004
tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan. Apabila di peredaran
masih ditemukan pangan yang tidak mencantumkan label sesuai dengan ketentuan,
BPOM RI akan memberikan tindakan administratif dan atau tindakan lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
BPKN
(Badan Perlindungan Konsumen Nasional)
Terkait Peraturan
mengenai Label dan Iklan Pangan, berdasarkan analisis penulis, BPKN sangat
diperlukan terkait Klaim Label Dan Iklan Pangan Yang “Menyesatkan Konsumen”.Hal
ini dilakukan karena informasi merupakan hak konsumen yang harus diterima
secara utuh sebelum memutuskan memilih barang dan jasa yang diperlukan.
Label merupakan sumber
utama konsumen dalam memperoleh informasi pangan, selain iklan. Oleh karena itu
label dan iklan pangan harus dapat dipastikan bahwa keterangan yang disampaikan
dijamin jelas, benar dan tidak menyesatkan. Beberapa hal mendasar terkait
informasi label dan iklan pangan yaitu konsumen mempunyai hak atas kenyamanan,
keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Khususnya informasi
kebenaran label dan iklan produk pangan.
Pemerintah telah
mengeluarkan peraturan dan regulasi terkait dengan ketentuan informasi label
dan iklan pangan. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah dituntut mengkaji
lebih mendalam impelementasi peraturan tersebut di level produsen/pelaku usaha.
Sebagaimana
Pasal 104 UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan jo Pasal 44 PP No. 69 tahun 1999
tentang Label Iklan Pangan, setiap orang dilarang memuat keterangan yang tidak
benar atau menyesatkan dan pemerintah
mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan
pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan atau pernyataan yang tidak
benar.
Pengertian
benar dan tidak menyesatkan berarti kalimat yang digunakan pada label dan iklan
hendaknya diartikan sama, baik oleh pemerintah untuk keperluan pengawasan,
kalangan produsen untuk keperluan persaingan yang sehat, maupun oleh konsumen
untuk keperluan menentukan pilihannya. Permasalahan umum tentang label dan
iklan pangan adalah klaim yang dapat menyesatkan konsumen, terutama mengenai
keterangan kandungan gizi dengan memakai istilah-istilah seperti rendah kolesterol, kaya vitamin, low energy,
no added sugar, without added sugar, atau no sugar added, dan klaim-klaim
lainnya yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
BPKN
memandang bahwa pengaturan dan pengawasan iklan dan label pangan harus terus
ditingkatkan dan dijamin telah berjalan secara efektif sebagaimana amanah
Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang
Pangan jo PP No. 69 Th 1999 tentang Label Iklan Pangan. Untuk itu, BPKN
perlu melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemberian sanksi yang tegas terhadap produsen/pelaku usaha yang terbukti
melanggarnya.
3.
MAJELIS
ULAMA INDONESIA (MUI)
MUI memiliki Komisi
Hukum dan Perundang-undangan yang memiliki ruang lingkup meliputi
bidang-bidang, Perundang-undangan; pendapat hukum dan HAM; advokasi; kajian
hukum islam; dan hubungan kelembagaan. Bidang perundang-undangan sebagai mana
dimaksud mencakup pengkajian, pemantauan dan pengevaluasian terhadap Rancangan
Undang-undang (RUU) yang menjadi agenda dalam Prolegnas (Program Legalisasi
Nasional) maupun Program legalisasi daerah yang mana pengkajian, pemantauan dan
pengevaluasian penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan dan pemberdayaan Umat Islam(1).
Sertifikasihalalyang
dikeluarkanolehMUIsejak tahun1994diberikansetelahproduktersebut mengalami
pemeriksaan yang seksama oleh LP.POM dan
disidangkan dalam Komisi Fatwa MUI. Sertifikat inimerupakansyaratuntukmencantumkanlabelhalal.Kenyataanyangadadi
lapangan,bahwasertifikasi
halalinidapatdikeluarkanapabilaadapermintaandankerelaan
paraprodusenuntukdiperiksaprosesproduksinya.Pedomanuntukmemperolehsertifikat
halaltelahditerbitkanoleh MUI,sebagaisaranainformasibagiprodusen.
Atas adanya perjanjian kerjasama antara
antaraDepkes-Depag- MUItentanglabelisasiHalal
maka permintaan Sertifikat dan
Label Halal dilakukan
melaluisatupintuPemeriksaandilakukan olehtim gabunganDepkes-Depag-MUI, kemudian
disidangkanolehtenagaahli MUIdanakhirnyakehalalanditentukan oleh Komisi
FatwaMUI. IzinlabelhalaldiberikanolehDepkesberdasarkanFatwaMUIyangdikeluarkan
sebagai Sertifikat Halal.
4.
LPPOM-MUI (LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN,
OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA)
LPPOM-MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika
Majelis UlamaIndonesia)didirikanpada6Januari1989,bertepatandengan26JumadilAwal
1409 H berdasarkan Surat Keputusan
No.18/MUI/1989. Lembaga inidibentuk untuk membantu MajelisUlamaIndonesiadalammenentukankebijaksanaan,merumuskan
ketentuan- ketentuan, rekomendasi dan
bimbingan yang menyangkut
pangan, obat-obatan dan kosmetikasesuaidengan
ajaranIslam.DengankatalainLPPOM-MUIdidirikanagardapat memberikan rasa tentram
pada umat tentang produk yang dikonsumsinya.
Dalamlembagaini
didudukkansejumlahahlipangan,kimia,biokimia,fiqihIslam dan
lain-lain,yangsebagiandiantaranyabergelardoktor,telahmenyelesaikanjenjang
pendidikan S-3,S-2sertaS-1,
danlamaberkiprahdibidangkeahliannyamasing-masing.Dengan dukungan para tenagaahliini, MUImelangkah,
menelusuriberbagai masalahhalaldan haramnya
produk yang ditinjau sesuai
dengan sudut teknologi dan
kemajuan ilmu pengetahuan masa
kini.
Awal1994
LPPOM-MUImulaimengeluarkandanmemberiSertifikatHalalbagi
perusahaan-perusahaanyang telah lulus
dari pemeriksaan. Hingga saat ini LPPOM-MUI telah mengeluarkanlebihdari500SertifikatHalal
untukberbagaijenisprodukdari lebih200 perusahaanyang
tersebardiseluruhIndonesia, bahkan
jugadiluar negeri.Hasil sertifikasiini kemudiandipublikasikan melaluisebuahmedia
berkala,MajalahJurnal Halal,yangkhusus diterbitkan oleh LP-POM-MUI.
Sebagaisebuahlembagadi
bawahMUI,dalammelaksanakanprosessertifikasi halal,
LP-POM-MUImenggunakanprosedurbakusebagai panduanpelaksanaan,yangkemudian
dituangkandalambentukSOP(StandardOperation
Procedure).Panduaninisenantiasa
dikembangkandanterus ditingkatkan,sesuaidengankebutuhanmaupun
perkembangan ilmu dan teknologi.
Dalamperjalanannyamemperjuangkan
produkdengansertifikasihalal, LP-POM-MUI
tidak hanya banyakmendapatsambutanpositifdaripemerintah,organisasi,
lembaga maupunperorangan.Namunmjuga,berbagaikritik pedasdisampaikankepada
lembagaini,yangdiantaranyamenyatakan bahwaLP-POM-MUIterlalulemah,seringtidak
tegas,tidakcepattanggap, plin-plan,cenderungberpihakdanmembelaperusahaanbesar
saja, dsb.
5.
KEMENTERIAN
AGAMA
Departemen Agama
merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden
terkait keamanan produk pangan yang beredar di masyarakat. Departemen ini
melakukan audit langsung pertanggungjawaban halal dan juga mengeluarkan pedoman
sertifikat halal terkait syarat dari kehalalan.
6.
KEMENTERIAN
PERDAGANGAN
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Label dan Iklan Pangan bahwa
Pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan
tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak
memuat keterangan yang dapat menyesatkan. Dalam hal ini, Pemerintah melalui
Kementerian perdagangan melakukan pengawasan terhadap tindakan mengenai iklan
tentang pangan yang diperdagangkan patut atau tidaknya untuk dipublikasikan
kepada masyarakat.
Selain itu, Pemerintah
melalui Kementerian Perdagangan melakukan pengawasan terhadap produk yang wajib
mencantumkan label dalam Bahasa Indonesia, serta terhadap produk telematika dan
elektronika yang wajib dilengkapi petunjuk penggunaan dan kartu jaminan/garansi
purnajual (MKG) dalam Bahasa.
Sesuai dengan Peraturan
Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 1999, saat ini terdapat 123 SNI
yang telah diberlakukan wajib oleh instansi-instansi terkait. Di samping itu
produk-produk beredar di pasar juga harus sesuai dengan label berbahasa
Indonesia, sebagaimana diatur dalam Permendag Nomor 75 Tahun 2015, tentang
kewajiban pencantuman label dalam berbahasa Indonesia.
untuk produk yang tidak
memenuhi persyaratan SNI, Kemendag juga telah membekukan Nomor Registrasi
Produk (NRP) bagi produk dalam negeri dan Nomor Pendaftaran Barang (NPB) bagi
produk impor.
Bagi produk yang tidak
memenuhi ketentuan label dalam bahasa Indonesia wajib ditarik dari peredaran
dan diperbaiki pelabelannya sebelum diperdagangkan kembali. Begitu juga untuk
Produk yang tidak dilengkapi petunjuk penggunaan dan kartu jaminan/garansi
purnajual (MKG) dalam Bahasa Indonesia wajib ditarik dari peredaran.
Bagi pelaku usaha yang
sudah pernah dikenakan sanksi administrasi namun masih melakukan pelanggaran
dan ditemukan barang beredar di pasar pada pengawasan berikutnya masih tidak
sesuai dengan persyaratan SNI, ketentuan label dalam Bahasa indonesia, dan MKG,
maka dapat dilakukan penindakan/sanksi pidana sesuai Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
7.
KEMENTERIAN
PERTANIAN
Kementerian Pertanian merupakan bagian dari Badan
Ketahanan Pangan (BKP). Untuk pangan segar,
pengawasannya dilaksanakan
olehlembaga pemerintahyang
menyelenggarakanurusan pemerintahandi
Bidang
Pangan.Halinidiperkuatdenganditerbitkannya PeraturanPresiden
Nomor45Tahun2015tentangKementerianPertanianyang
salah satunya
mengaturkeamananpangansegar merupakansalah
satutugasdariBadan
Ketahanan Pangan
(BKP). BKP
dalam
menjalankanfungsi pengawasankeamanan
pangan
segarhasil pertanianmelalui2(dua)polapengawasan,yaitu1)pengawasanpre
market
dan2)postmarket.
Pengawasanpremarketadalah pengawasankeamanan
pangansegarsebelumpanganberedardipasaranyangberupasertifikasi danregistrasipangansegarpadakegiatanbudidayadanpenangananpasca. panen. Sedangkan
pengawasanpost
market
adalah pengawasan pangan
segar
diperedaran.Pengawasaninidalambentukinspeksimaupun pemantauan.Pengawasanpostmarketadayang bersifatregulardan insidentil.Pengawasanregulardilakukansecararutinmenjelang HariRaya Keagamaan maupun pemantauan bulanan.Sedangkanpengawasan
insidentildilaksanakanjika ada
kasusterkaitkeamananpanganyang
memerlukan tindakan.
Dalam konteks pertanian
organik,Kementerian Pertanian
membentuk Otoritas KompetenPertanian Organik (OKPO)yangberfungsi mengkoordinasikan
pengembangan kebijakan pertanianorganik.
OKPO berkoordinasidenganKomiteAkreditasiNasional(KAN) dalammelakukan pengawasan
terhadap
operasional lembagasertifikasi organikdiIndonesia
8.
KEMENTERIAN
KESEHATAN
Di Indonesia, pencantuman label pada
produk pangan olahan diatur dalam Peraturan Pemerintah RI nomor 69 tahun 1999
mengenai Label dan Iklan Pangan serta Peraturan Kepala Badan BPOM nomor
HK.031.5.12.11.09955 Tahun 2011 mengenai Pendaftaran Pangan Olahan. Tak hanya
berfungsi sebagai pertanggungjawaban produsen terhadap konsumen, label dalam
kemasan juga memberikan kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan seluruh
informasi mengenai produk pangan tersebut. Mulai dari informasi gizi, bahan
yang terkandung, cara penyajian, label halal, hingga tanggal kedaluwarsa.
Guna mendukung keamanan produk pangan,
Kementerian Kesehatan melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan
sejumlah instansi terkait sosialisasi pengawasan iklan dan publikasi di bidang
kesehatan. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang yang sama,
terutama periklanan kesehatan. Dalam kondisi saat ini, upaya sosialisasi
semacam ini adalah untuk menguatkan koordinasi pengawasan iklan di lembaga
penyiaran, internet, media dalam ruangan dan luar ruangan.
9.
PEMERINTAH
DAERAH
DiIndonesiakebijakankeamananpangansecarajelastertuang
dalam UU PanganNomor18 Tahun 2012tentang Pangan.DalamUUtersebut
dijelaskanbahwa
Pemerintahdan PemerintahDaerahberkewajibandalam
pembinaan dan pengawasan keamanan
pangandi setiap
rantai pangan. Pembinaan keamanan
pangan di setiap
rantaipangan menjadi tanggung
jawab instansi pembinapelaku usahapangan,
misalnyakeamanan
pangandi tingkatbudidayamerupakantanggung jawabKementerianPertaniandan Kementerian
Kelautandan
Perikanan.
Pengawasan keamanan pangan
dilakukanolehinstansiyang
berbedaberdasarkanjenispangannya.
D.
Berkaitan
Dengan UU Jaminan Produk Halal , Apakah Setiap Pangan Dalam Kemasan Wajib Di Uji Kehalalannya Dan Di Sertifikasi
Cap HALAL ? Siapa Yang Berwenang Melakukan Sertifikasi ?dan Apakah Dapat Di Implementasika ?
Wajib, karena Produk Halal lebih
memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen dalam mengkonsumsi
produk yang halal. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim, maka
tentunya kebutuhan akan sertifikasi halal atas suatu produk menjadi tinggi,
karena dalam perspektif Islam, selain halal makanan juga harus baik (thoyyib).
Sebelum dikeluarkannya UU-JPH penyelenggaraan sertifikasi produk halal hanya
bersifat voluntary (sukarela), namun demikian setelah diundangkannya UU-JPH,
penyelengggaraan sertifikasi halal bersifat mandatory (wajib). Oleh sebab itu,
para pelaku usaha memiliki kewajiban untuk mendaftar ke BPJPH agar produknya
bisa disertifikasi kehalalannya.
Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kehalalan produk makanan dan minuman
antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Undang Undang Republik Indonesia Nomor i8 Tahun 2012 tentang Pangan,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, dan Keputusan Mentri Pertanian
No. 745/KPTS/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pemasukan daging dari luar
negeri dan KEPMENAG No.518 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan dan Penetapan Pangan
dan izin dari BPOM, Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pasal 4 huruf a
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa. Keputusan Mentri Agama
Nomor 519 tahun 2001, Pasal 1 menyatakan bahwa Majelis Ulama Indonsia sebagai
lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal yang dikemas dan
diperdagangkan di Indonesia.
Keputusan Menteri Pertanian yang
diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 57
menyatakan;
1.Setiap
orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label didalam dan/atau pada kemasan pangan
2.Setiap
orang yang mengimpor pangan untuk dperdagangkan wajib mencantumkan label
didalam da/atau pada kemasan pangan;
3.Pencantuman
label didalam dan/atau pada kemasan pangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan mengunakan bahasa Indonesia paling
sedikit memuat, nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih, nama
dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor, halal bagi yang
dipersyaratkan, tanggal dan kode produksi, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa,
nomor izin bagi bahan yang diolah da asal usul bahan pangan tertentu
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal lebih memberi perlindungan dan kepastian hukum
bagi konsumen mengkonsumsi produk halal. Lima tahun setelah disahkan
undang-undang ini semua produk yang beredar dimasyarakat wajib mencantumkan
sertifikat halal pada kemasannya dan sebaliknya apabila produk terdiri dari
bahan yang tidak halal berdasarkan Pasal 29 ayat (2) pelaku usaha wajib
mencantum pada kemasan produk tanda tidak halal, misalnya gambar babi.
-
Siapa Yang Berwenang Melakukan
Sertifikasi ?dan
Kewenangan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengeluarkan sertifikasi halal akhirnya
digeser oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah
Kementerian Agama.
Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin meresmikan badan yang bertugas melaksanakan
penyelenggaraan jaminan produk halal itu di gedung Kementerian Agama.
Labelisasi
dan sertifikasi halal di Indonesia selama ini dikeluarkan oleh Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI yang berdiri sejak
1989. LPPOM-MUI memelopori berdirinya World Halal Council yang dijadikan sebagai
wadah bernaungnya lembaga-lembaga sertifikasi halal dunia pada tahun 1999.
Pembentukan
BPJPH merupakan amanat dari UU No 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal.
Undang-undang ini disahkan Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono pada 17
Oktober 2014.
Undang-undang
ini menyebutkan badan penyelenggara jaminan produk halal harus sudah terbentuk
paling lambat tiga tahun sejak disahkan Undang-Undang itu. BPJPH saat ini telah
terbentuk dan masuk dalam struktur Kementerian Agama berdasarkan Peraturan Menteri
Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja Kemenag.
Undang-undang
menegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah
Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab
dalam menyelanggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).
MUI
tetap memiliki kewenangan terkait proses sertifikasi produk halal meski sudah
ada BPJPH. "Kewenangan MUI tetap penting dan strategis, yaitu memberikan
fatwa penetapan kehalalan suatu produk yang disampaikan kepada BPJH sebagai
dasar penerbitan Sertifikasi Halal.
Selain
memberi fatwa, MUI juga memiliki peran tidak tergantikan untuk mengeluarkan
sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yaitu organisasi auditor
produk halal.
Dengan berdirinya BPJPH mampu membangkitkan dan
menggairahkan perkembangan industri halal tanah air, yang berujung pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. BPJPH, kata Lukman, harus segera
membangun literasi dan kepedulian halal, baik bagi produsen, penjual maupun
konsumen.
Setelah
menunggu hampir tiga tahun pasca diundangkannya Undang-undang No. 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut UU-JPH), Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) diresmikan oleh Menteri Agama pada tanggal
11/10/2017. Pendirian BPJPH merupakan amanat undang-undang yang menyatakan
bahwa lembaga tersebut harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun setelah
UU-JPH diundangkan Meski pembentukan BPJPH tergolong lambat, akan tetapi
tindakan tersebut layak untuk diapreasi.
BPJPH
adalah badan pemerintah yang ditugaskan untuk menyelenggarakan jaminan produk
halal. Keberadaannya berada di bawah Menteri Agama dan bertanggungjawab kepada
menteri juga. Menurut Pasal 6 UU-JPH, kewenangan BPJPH dalam menyelenggarakan
jaminan produk halal mencakup:
(a)
merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
(b)
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
(c)
menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
(d)
melakukan registrasi Sertifikat Halal pada produk luar negeri;
(e)
melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
(f)
melakukan akreditasi terhadap LPH;
(g)
melakukan registrasi Auditor Halal;
(h)
melakukan pengawasan terhadap JPH;
(i)
melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
(j)
melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang
penyelenggaraan JPH.
Berdasarkan
kewenangan atributif di atas, saat ini BPJPH merupakan satu-satunya lembaga
yang berwenang untuk menyelenggarakan sertifikasi produk halal di Indonesia.
Dengan demikian maka proses sertifikasi produk halal tidak lagi berada di bawah
kewenangan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majellis Ulama
Indonesia (LPPOM MUI). Meski demikian, sesuai dengan UU-JPH, MUI tetap
mempunyai peran strategis dalam proses sertifikasi produk halal. Hal ini
menunjukkan bahwa BPJPH dapat melakukan kerjasama dengan MUI terkait proses
sertifikasi auditor halal, akreditasi Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan
penetapan kehalalan produk dalam bentuk fatwa.
Dengan
diundangkannya BPJPH, diharapkan pengurusan proses penyelenggaraan jaminan
halal menjadi semakin lebih baik dari sebelumnya. Dari segi kelembagaan dan
legalitas tentunya keberadaan BPJPH menjadi jelas karena telah diatur dalam
undang-undang.Dengan diresmikannya BPJPH maka diharapkan Indonesia bisa masuk 10 besar produsen halal
dunia versi Global Islamic Economy Indicator 2017. Mengingat potensi industri
halal di Indonesia sangat besar, maka target yang ditetapkan oleh menteri agama
menjadi beralasan.Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pelayanan sertifikasi dan
pengawasan terhadap produk halal maka diharapkan BPJH dapat beroperasi secara
profesionalisme, berintegritas dan transparansi, sehingga terhindar dari
pungutan liar dan gratifikasi.
-
Apakah
Dapat Di Implementasikan ?
Seharusnya
dapat di implementasikan ,Berdasarkan peraturan PerUndang-Undang pangan
kewajiban bagi pelaku usaha untuk mencantumkan logo halal yang diperoleh
melalui LPPOM MUI sebelum produk diperdagangkan, tujuannya adalah untuk
melindungi dan memberi kepastian hukum hak-hak konsumen terhadap produk yang
tidak halal. Logo halal memberi manfaat kepada Konsumen muslim, karena
terhindar dari produk yang tidak halal.misalnya Importir daging yang berasal
dari luar negeri, disamping harus dijaga, bahwa daging itu harus sehat dan
halal untuk melindungi konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal,
memberi ketenteraman bagi konsumen muslim, untuk mewujudkannya hal tersebut
diperlukan pemotongan ternak yang dilakukan menurut syariat Islam yang
dinyatakan dalam sertifikat halal.
Selayaknya
pelaku usaha di Indonesia yang memperdagangkan produk makanan dan minuman
memberikan informasi yang jelas, jujur mengenai komposisi, kehalalan produk
makanan dan minuman yang diperdagangkan untuk melindungi hak-hak konsumen
muslim terhadap produk yang tidak halal. Namun masih banyak ditemukan produk
makanan dan minuman yang beredar dimasyarakat belum mencantumkan logo halal
atau logo halal masih diragukan kebenarannya. Produk yang tidak ada logo
halalnya belum tentu haram, begitu juga produk yang ada logo halalnya belum
tentu juga halal, karena tidak tertutup kemungkinan produknya tidak halal.
Dalam
Hukum Islam yang dikatakan halal tidak hanya zatnya, tapi juga mulai dari
proses produksi dari hulu sampai hilir harus terbebas dari zat zat yang
diharmkan oleh syariat Islam. Penyimpanan produk yang halal tidak boleh
berdekatan dengan produk yang halal, artinya tempat penyimpanan produk halal
harus terpisah dengan produk yang tidak halal. Begitu juga alat yang dipakai
untuk memproses produk halal tidak boleh dipakai bersama dengan produk yang
tidak halal.Sertifikat halal tidak hanya memberi manfaat perlindungan hukum
hak-hak konsumen muslim terhadap produk yang tidak hala, tapi juga meningkatkan
nilai jual produk pelaku usaha, karena konsumen tidak akan ragu lagi untuk
membeli produk yang diperdagangkan pelaku usaha. Logo sertifikat halal
memberikan kepastian hukum kepada konsumen muslim bahwa produk tersebut halal
sesuai syariat Islam.
Walaupun
sudah diberlakukan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Undang-Undang
Jaminan Produk Halal (UU JPH) belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum
bagi konsumen Muslim terhadap produk makanan dan minuman halal, karena
undang-undang ini belum fektif berlakunya dan efektifnya berlakunya 5 tahun
setelah pengesahan yaitu tahun 2019, Berdasarkan Pasa 66 Undang Nomor 33 tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal menyatakan, Undang-undang yang berlaku
sebelum berlakunya undangundang ini tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014.
Karena
Tujuan pencantuman logo halal pada produk makanan dan minuman adalah untuk
melindungi konsumen hak-hak konsumen muslimin terhadap produk yang tidak halal.
Memberikan kepastian hukum kepada konsumen muslim bahwa produk makanan dan
minuman tersebut benar-benar halal sesuai yang disyariatkan oleh Hukum Islam.
Konsumen muslim tidak akan ragu-ragu membeli produk makanan dan minuman, karena
pada kemasan produk makanan dan minuman tercantum logo halal dan mencegah
konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal. Jika produk makanan dan
minuman tidak halal sesuai Undang-Undang Produk Jaminan Halal, pelaku usaha
berkewajiban untuk memberikan tanda pada produk makanan dan minuman tersebut
tidak halal. Tanda dapat dalam bentuk gambar, seperti kalau di Bali di tempat makanan
dan minuman yang mengandung unsur babi terdapat gambar babi. Ini berarti pelaku
usahanya jujur, karena dalam undang-undang perlindungan konsumen pelaku usaha
berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai komposisi pada produk makanan
dan minuman.
peraturan
perundang-undangan mengenai produk halal yang ada selama ini masih belum
tersinkronisasi dan tidak konsisten. Akibatnya, masih sedikit pelaku usaha yang
merasa memiliki kewajiban untuk mencantumkan label halal. Oleh karena itu,
kebutuhan konsumen Muslim Indonesia akan informasi produk halal belum dapat
terpenuhi dengan layak. Hal ini tentu saja akan merugikan konsumen yang tidak
cermat sehingga tidak memperhatikan ada atau tidaknya label halal pada produk.
Karena masih banyak ditemukan peredaran produk
makanan dan minuman baik yang lokal maupun yang impor belum berlabel sertifikat
halal atau sertifikat halal yang terdapat pada kemasan makanan dan minuman
diragukan kebenarannya. Hal ini menunjukan masih rendahnya kewajiban pelaku
usaha mengikuti ketentuan hukum sertifikat halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar