Minggu, 02 September 2018

TINDAK PINDANA KHUSUS 3


A. Apakah diperlukan Peraturan baru mengenai Label dan Iklan Pangan

Jawab : IYA, diperlukan peraturan baru mengenai Label dan Iklan Pangan sebagai Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, hal tersebut secara jelas dinyatakan dalam Pasal 150 UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa “Peraturan pelaksanaan Undang-undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

Hal tersebut juga didukung oleh teori perundangan menurut Adolf Mekl, yang menyatakan bahwa “suatu norma hukum bersumber dari norma di atasnya tetapi ia juga dapat menjadi sumber bagi norma di bawahnya”. Sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya sehingga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula.

Selain itu didukung dengan teori Hans Kelsen mengenai hierarki peraturan perundang-undangan, yang menyebutkan bahwa “Setiap norma di bawah bersumber pada norma yang ada di atasnya”. Dalam hierarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Tap MPR, UU, PP, hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum merupakan suatu hierarki dari hukum. Dalam hierarki tersebut, suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi dan ketentuan yang lebih rendah merupakan kongkretisasi dari ketentuan yang lebih tinggi.

Seperti kita ketahui bahwa PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Yang mana Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan telah dicabut dan dinyatakan tidakberlaku oleh Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan (vide Pasal 153). Tetapi sampai dengan saat ini PP No. 69 tahun 1999 tersebut belum dicabut dan masih diberlakukan.

Terkait materi dalam PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan terdapat beberapa materi klausula dalam PP No. 69 Tahun 1999 tersebut yang masih relevan dengan Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Namun ada pula beberapa materi klausula dalam PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang belum mengakomodir ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No. 18 tahun 2012.

Peraturan Pemerintah (PP) Sebagai bentuk kongkretisasi pelaksanaan Undang-Undang, yang mana ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) harus mengacu dan dapat mengakomodir ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang, sehingga terdapat harmonisasi antara Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-Undang (UU) yang diharapkan dalam pelaksanaannya kedua peraturan tersebut mampu berjalan beriringan, maka dengan demikian diperlukan peraturan baru (Peraturan Pemerintah/PP) sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang yang dapat menyerap (mengabsorb) ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 agar kedua peraturan tersebut dapat berjalan dangan baik. 

B. Penyesuaian Materi Muatan Rancangan PP atas Pembaharuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 dan PP Nomor 69 Tahun 1999
NO
JUDUL
POKOK MATERI MUATAN/ARAH PENGATURAN
AMANAT UNDANG-UNDANG
PENJELASAN

Alternatif Penyesuaian PP
Label dan Iklan Pangan
Bagian Kesatu : LABEL PANGAN UU No. 18 Tahun 2012 dari Pasal 96 s/d Pasal 103
Aspek kewajiban pelabelan pangan berlaku bagi semua pangan yang dikemas untuk diperdagangkan, baik pangan yang diproduksi oleh industri pangan berskala besar, menengah, maupun kecil atau Industri Rumah Tangga (IRTP), guna melindungi konsumen dari produk yang tidak aman untuk dikonsumsi maupun untuk melindungi hak konsumen dalam mendapatkan informasi yang benar dari produk pangan sesuai yang tertera pada labelnya (UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Bab III Pasal 4 dan Codex Stand I-1985)
1
 L A B E L  P A N G A N
Urutan Bagian dalam Rancangan PP:

1.   Bagian utama label
Aspek Keterangan minimal yang harus tercantum dalam label pangan sesuai amanat Pasal 103 UU No. 18 Tahun 2012 tentang UU Pangan
-
Dalam hal ini guna mengatasi perbedaan/kesenjangan informasi tentang keterangan minimal dalam peraturan perundangan pelabelan
2.   Nama produk pangan

3.   Daftar bahan yang digunakan

4.   Isi bersih dan bobot tuntas
-
Adanya kesesuaian informasi baik dalam UU Pangan, PP Pelabelan dan juga Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan (produk hukum yang bersifat petunjuk teknis penerapan peraturan pelabelan baik UU pangan maupun PP Pelabelan).
5.   Nama dan alamat pihak yang memproduksi dan mengimpor

6.   Pangan halal yang dipersyaratkan

7.   Tanggal dan kode produksi
-
Tetap memberlakukan KETENTUAN KHUSUS dalam batasan penerapan kewajiban pelabelan bagi beberapa produk pangan, sesuai amanat Pasal 98 ayat (2) dan Pasal 91 UU No. 18 Tahun 2012 dan kebijakan pemerintah yang lain sesuai PP Keamanan, Mutu an Gizi Pangan Bab V Pasal 44 tahun 2004
8.   Tanggal bulan dan tahun kadaluwarsa

9.   Nomor izin edar

10. Asal usul bahan pangan tertentu

11. Informasi nilai gizi

Walaupun bukan merupakan kewajiban, namun pencantuman informasi nilai gizi seolah-olah menjadi sebuah trend/kecenderungan baru di kalangan Industri pangan. Produk pangan yang disertai informasi nilai gizi pada kemasannya dianggap memiliki mutu yang lebih baik
12. Keterangan iradiasi pangan
Bagian Kelima tentang Pengaturan Iradiasi Pangan dalam Pasal 80 dan Pasal 81 UU No. 18 Tahun 2012

13. Keterangan pangan Produk Rekayasa Genetik
Bagian Keempat ketentuan tentang pengaturan pangan produk rekayasa genetik dalam Pasal 77 s/d Pasal 79

14. Keterangan tentang pangan yang dibuat dari bahan baku alamiah

Ada dalam PP sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
14. Keterangan lain pada label tentang pangan olahan tertentu

Ada dalam PP sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
15. Keterangan tentang pangan yang mengandung allergen

Hal ini penting mendapatkan perhatian guna meminimalkan terjadinya kasus keracunan pangan akibat mengkonsumsi alergen pangan. Dalam era perdagangan global saat ini, produsen pangan harus mengetahui dan sebisa mungkin memenuhi persyaratan pelabelan khususnyaa alergen pangan. Jika tidak, akan dijumpai penolakan produk pangan asal Indonesia yang diekspor ke negara yang memiliki aturan pelabelan alergen pangan. alergen yang dimaksud adalah gluten, kerang dan hasil olahnya, telur dan hasil olahnya, ikan dan hasil olahnya, kacang tanah, kacang kedelai dan hasil olahnya, susu dan hasil olahnya, biji-bijian ( pala, kepala dll).
16. Keterangan tentang Bahan Tambahan Pangan
Bagian Ketiga: Ketentuan Pengtauran BahanTambahan pangan dalam Pasal 73 s/d Pasal 76

2
I K L A N   P A N G A N
Urutan Bagian dalam Rancangan PP:
Bagian Kedua : IKLAN PANGAN UU No. 18 Tahun 2012 tentang UU Pangan
1.   Iklan yang berkaitan dengan pangan halal;
Sesuai dengan amanat Pasal 106 ayat (3) dan Pasal 107 UU No.18 Tahun 2012 tentang UU Pangan
Sesuai Pasal 105 UU No.18 Tahun 2012
2.  Iklan pangan yang berkaitan dengan klaim tertentu;
Semua sumber peraturan pelabelan dengan tegas melarang klaim yang menyatakan pangan dapat berfungsi sebagai obat. Saat ini memang berkembang produk pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya, produk pangan ini dikenal dengan kelompok pangan fungsional (ILSI 1996). Pelarangan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya salah pengertian (misleading) konsumen  dalam mengkonsumsi pangan yang bersangkutan.
3.  Iklan tentang pangan untuk kelompok orang tertentu;
Ada dalam PP sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
4.  Iklan yang berkaitan dengan asal dan sifat bahan pangan;
Ada dalam PP sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
5.  Iklan tentang minuman berakohol
Ada dalam PP sebelumnya namun masih relevan dengan perkembangan teknologi pangan
3
P  E  N  G  A  W  A  S  A  N
Dalam BAB IV PENGAWASAN PP NO.69 Tahun 1999 yang harus disesuaikan dengan BAB IX PENGAWASAN Pasal 112 UU Pangan baru No. 18 tahun 2012
Dalam proses pengawasan pangan yang dilaksanakan dapat dilakaukan melalui kegiatan sebagai berikut:
a.
Penetapan standar dan persyaratan keamanan, mutu dan gizi;
b.
Penetapan standar dan persyaratan produksi dan distribusi;
c.
Penilaian keamanan, mutu dan gizi produk serta label dalam rangka pemberian surat persetujuan pendaftaran;
d.
Pelaksanaan inspeksi dan sertifikasi produksi;
e.
Pemeriksaan sarana produksi dan distribusi;
f.
Pengambilan contoh dan pengujian laboratorium serta pemantauan label produk;
g.
Penilaian materi promosi termasuk iklan sebelum beredar dan pemantauannya di peredaran;
h.
Pemberian bimbingan di bidang produksi dan distribusi;
i.
Penarikan dari peredaran dan pemusnahan;
j.
Pemberian sanksi administratif;
k.
Pemberian informasi.
4
S  A  N  K  S  I
Dalam BAB V TINDAKAN ADMINISTRATIF PP NO.69 Tahun 1999 yang harus disesuaikan dengan amanat Pasal 102 ayat (4) dan BAB XV KETENTUAN PIDANA UU Pangan baru No. 18 tahun 2012
-
Pengaturan tentang sanksi dan penegakan hukum pada UU Pangan lama masih relatif lemah, padahal penyimpangan dalam bisnis pangan sangat membahayakan bagi kesehatan manusia, masyarakat sampai pada stabilitas politik.  Pada UU Pangan baru aspek ini ditata lebih rinci dengan sanksi yang relatif lebih berat. 
-
Dalam kondisi ini penting untuk dilakukan penyesuaian dan penegasan atas kebijakan tersebut diatur dalam PP yang baru sebagai peraturan pelaksanaan tertulis yang memiliki kekuatan mengikat dan memberikan efek jera bagi para pelanggar atau mafia pangan
C.  Instansi Yang Berperan Dalam Peraturan Perundangan tentang Label dan Iklan Pangan
Dalam hal penanganan masalah terkait labelisasi Obat dan Makanan saat ini, maka koordinasi kelembagaan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
1.      Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BP-POM)

Dalam kedudukannya sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan. BPOM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Merujuk ketentuan dalam pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 bahwa rincian tugas,fungsidankewenanganBadan Pengawasan Obat dan Makanan (BP-POM) adalah sebagai berikut

a.          Penilaian khasiat/kemanfaatan, keamanan, mutu, dan penandaan serta analisis laboratoriumdalamrangkapemberianizinedarobat termasuknarkotika,bahanobat, produk diagnostik invivo, obat tradisional, kosmetika, dan makanan;
b.         Pemeriksaan   kelengkapan  administrasi   dan   pemeriksaan   setempat   terhadap permohonanizinusaha,industridandistribusi,obattermasuknarkotika,bahanobat dan obat tradisional dalam rangka pemberian izin oleh menteri kesehatan;
c.          Pemeriksaansetempatdalamrangkapembinaandanpengawasandibidangproduksi dan distribusi obat termasuk narkotika, bahan  obat, produk diagnostik invivo,obat tradisional,kosmetika, perbekalankesehatanrumahtanggadanmakananserta sertifikasi cara pembuatan yang baik;
d.         Pengambilancontohdanpengujianlaboratoriumterhadapobattermasuknarkotika, bahan  obat,  produk  diagnostik  invivo,  obat  tradisional,   kosmetika,  perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan yang beredar;
e.          Pemberian rekomendasi surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor narkotika,psikotropikadanprecursordalamrangka pemberianizin olehmenteri kesehatan;
f.          Pemberianperingatandanpenutupansementarasaranaproduksidandistribusiyang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang menyangkut obat termasuk narkotika, bahan  obat,  produk  diagnostik  invivo,  obat  tradisional,   kosmetika,  perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan;
g.         Penilaian dan pemantauan promosi dan iklan obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga danmakanan;
h.         Pelaksanaan monitoring efek samping dan pemberianinformasi;
i.           Penarikankembalidariperedarandanpemusnahanobattermasuknarkotika,bahan obat,produkdiagnostikyangberisiko tinggi,obattradisional, kosmetikadanmakanan yang tidak memenuhi syarat;
j.           Penyusunanstandardanpersyaratanmutu,keamanandankemanfaatanprodukyang berupa farmakope indonesia,  materia medika indonesia dan kodeks kosmetika indonesia untuk ditetapkan oleh menteri kesehatan;
k.         Penetapanpedomanteknispelaksanaanpenilaiandanpengujianlaboratoriumobat termasukbahanobat, produkdiagnostikinvivo, obattradisional,kosmetika,perbekalan kesehatanrumahtanggadanmakanansertapemeriksaansaranaproduksii dan distribusinya;
l.           Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (aditif)tertentu untuk makanan danpenetapan pedomanpengawasanperedaran;
m.       Penyidikantindakpidanadibidangobattermasuknarkotikadanpsikotropika,bahan obat, obat tradisional, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan.
Adapun   Undang-Undang  dan  Peraturan  Pemerintah  lainnya  yang menjadilandasan teknispelaksanaan tugasfungsiBPOM,antaralain:(i)UU Nomor18Tahun 2012tentangPangan;(ii)UUNomor36tahun 2009tentang KesehatanjunctoPPNomor109Tahun2012tentangPengamananBahanyang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan;(iii)UU Nomor 35  Tahun 2009  tentang  Narkotika; (iv) PP  Nomor  40  Tahun  2013 tentangPelaksanaanUUNomor35Tahun2009tentangNarkotika;(v)PP Nomor 44  Tahun  2010  tentang  Prekursor; (vi) PP  Nomor  21  Tahun  2005 tentangKeamananHayatiProdukRekayasaGenetika;(vii)PPNomor28Tahun 2004tentangKeamanan,Mutu,danGiziPangan;serta(viii)PPNomor72 Tahun 1998 tentangPengamanan Sediaan Farmasi
BPOM merupakan lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk memberikan labelisasi halan, karena BPOM telah menyerahkan sepenuhnya sertifikasi halal ini kepada  Komisi Fatwa MUI. Pemberian atau penolakan sertifikathalalsepenuhnya beradadiMUI.BerdasarkanfatwaMUIini,BPOMakanmemberi persetujuanpencantumanlabel halalbagiyangmemperolehsertifikathalal,ataumemberi penolakanbagiyangtidakmengantongisertifikat halal. Pencantuman keterangan halal pada label harus disertai dengan sertifikasi halal oleh MUI, yang dilakukan bersama-sama dengan Badan POM dan Departemen Agama, yang disertai izin pencantuman halal dari Badan POM. Kewenangan Badan POM memberikan izin pencantuman keterangan halal pada label terkait dengan pengawasan label pangan.

Di peredaran masih ditemukan adanya pangan yang mencantumkan label tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti : label tidak menggunakan bahasa Indonesia, label mudah lepas, label mudah luntur atau rusak, label diletakkan pada bagian kemasan pangan yang tidak mudah untuk dilihat dan dibaca, serta label tidak mencantumkan keterangan secara lengkap. Dalam hal ini BPOM mengingatkan kepada seluruh produsen/importir/distributor pangan bahwa sesuai dengan ketentuan : Undang-undang No.18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.1.2569 Tahun 2004 tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan. Apabila di peredaran masih ditemukan pangan yang tidak mencantumkan label sesuai dengan ketentuan, BPOM RI akan memberikan tindakan administratif dan atau tindakan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.      BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional)
Terkait Peraturan mengenai Label dan Iklan Pangan, berdasarkan analisis penulis, BPKN sangat diperlukan terkait Klaim Label Dan Iklan Pangan Yang “Menyesatkan Konsumen”.Hal ini dilakukan karena informasi merupakan hak konsumen yang harus diterima secara utuh sebelum memutuskan memilih barang dan jasa yang diperlukan.
Label merupakan sumber utama konsumen dalam memperoleh informasi pangan, selain iklan. Oleh karena itu label dan iklan pangan harus dapat dipastikan bahwa keterangan yang disampaikan dijamin jelas, benar dan tidak menyesatkan. Beberapa hal mendasar terkait informasi label dan iklan pangan yaitu konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Khususnya informasi kebenaran label dan iklan produk pangan.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan dan regulasi terkait dengan ketentuan informasi label dan iklan pangan. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah dituntut mengkaji lebih mendalam impelementasi peraturan tersebut di level produsen/pelaku usaha.
Sebagaimana Pasal 104 UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan jo Pasal 44 PP No. 69 tahun 1999 tentang Label Iklan Pangan, setiap orang dilarang memuat keterangan yang tidak benar atau menyesatkan dan pemerintah  mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan atau pernyataan yang tidak benar.

Pengertian benar dan tidak menyesatkan berarti kalimat yang digunakan pada label dan iklan hendaknya diartikan sama, baik oleh pemerintah untuk keperluan pengawasan, kalangan produsen untuk keperluan persaingan yang sehat, maupun oleh konsumen untuk keperluan menentukan pilihannya. Permasalahan umum tentang label dan iklan pangan adalah klaim yang dapat menyesatkan konsumen, terutama mengenai keterangan kandungan gizi dengan memakai istilah-istilah seperti  rendah kolesterol, kaya vitamin, low energy, no added sugar, without added sugar, atau no sugar added, dan klaim-klaim lainnya yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan  kebenarannya.

BPKN memandang bahwa pengaturan dan pengawasan iklan dan label pangan harus terus ditingkatkan dan dijamin telah berjalan secara efektif sebagaimana amanah Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang  Pangan jo PP No. 69 Th 1999 tentang Label Iklan Pangan. Untuk itu, BPKN perlu melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemberian sanksi yang tegas  terhadap produsen/pelaku usaha yang terbukti melanggarnya.

3.      MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
MUI memiliki Komisi Hukum dan Perundang-undangan yang memiliki ruang lingkup meliputi bidang-bidang, Perundang-undangan; pendapat hukum dan HAM; advokasi; kajian hukum islam; dan hubungan kelembagaan. Bidang perundang-undangan sebagai mana dimaksud mencakup pengkajian, pemantauan dan pengevaluasian terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) yang menjadi agenda dalam Prolegnas (Program Legalisasi Nasional) maupun Program legalisasi daerah yang mana pengkajian, pemantauan dan pengevaluasian penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayaan Umat Islam(1).
Sertifikasihalalyang dikeluarkanolehMUIsejak tahun1994diberikansetelahproduktersebut mengalami pemeriksaan yang seksama oleh LP.POM  dan disidangkan dalam Komisi  Fatwa MUI. Sertifikat  inimerupakansyaratuntukmencantumkanlabelhalal.Kenyataanyangadadi lapangan,bahwasertifikasi halalinidapatdikeluarkanapabilaadapermintaandankerelaan paraprodusenuntukdiperiksaprosesproduksinya.Pedomanuntukmemperolehsertifikat halaltelahditerbitkanoleh MUI,sebagaisaranainformasibagiprodusen.
Atas adanya perjanjian kerjasama antara antaraDepkes-Depag- MUItentanglabelisasiHalal  maka permintaan Sertifikat dan  Label Halal  dilakukan melaluisatupintuPemeriksaandilakukan olehtim gabunganDepkes-Depag-MUI, kemudian disidangkanolehtenagaahli MUIdanakhirnyakehalalanditentukan oleh Komisi FatwaMUI. IzinlabelhalaldiberikanolehDepkesberdasarkanFatwaMUIyangdikeluarkan sebagai Sertifikat Halal.
4.         LPPOM-MUI (LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN, OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA)
LPPOM-MUI (Lembaga  Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis UlamaIndonesia)didirikanpada6Januari1989,bertepatandengan26JumadilAwal 1409 H berdasarkan Surat  Keputusan No.18/MUI/1989. Lembaga inidibentuk untuk membantu MajelisUlamaIndonesiadalammenentukankebijaksanaan,merumuskan ketentuan- ketentuan,  rekomendasi   dan  bimbingan  yang  menyangkut  pangan,  obat-obatan  dan kosmetikasesuaidengan ajaranIslam.DengankatalainLPPOM-MUIdidirikanagardapat memberikan rasa tentram pada umat tentang produk yang dikonsumsinya.
Dalamlembagaini didudukkansejumlahahlipangan,kimia,biokimia,fiqihIslam dan lain-lain,yangsebagiandiantaranyabergelardoktor,telahmenyelesaikanjenjang pendidikan S-3,S-2sertaS-1, danlamaberkiprahdibidangkeahliannyamasing-masing.Dengan dukungan para  tenagaahliini, MUImelangkah, menelusuriberbagai masalahhalaldan haramnya  produk  yang ditinjau  sesuai   dengan  sudut teknologi  dan  kemajuan  ilmu pengetahuan masa kini.
Awal1994 LPPOM-MUImulaimengeluarkandanmemberiSertifikatHalalbagi perusahaan-perusahaanyang telah lulus dari pemeriksaan. Hingga saat ini LPPOM-MUI telah mengeluarkanlebihdari500SertifikatHalal untukberbagaijenisprodukdari lebih200 perusahaanyang tersebardiseluruhIndonesia, bahkan jugadiluar negeri.Hasil sertifikasiini kemudiandipublikasikan melaluisebuahmedia berkala,MajalahJurnal Halal,yangkhusus diterbitkan oleh LP-POM-MUI.
Sebagaisebuahlembagadi bawahMUI,dalammelaksanakanprosessertifikasi halal, LP-POM-MUImenggunakanprosedurbakusebagai panduanpelaksanaan,yangkemudian dituangkandalambentukSOP(StandardOperation Procedure).Panduaninisenantiasa dikembangkandanterus ditingkatkan,sesuaidengankebutuhanmaupun perkembangan ilmu dan teknologi.
Dalamperjalanannyamemperjuangkan produkdengansertifikasihalal, LP-POM-MUI tidak hanya banyakmendapatsambutanpositifdaripemerintah,organisasi, lembaga maupunperorangan.Namunmjuga,berbagaikritik pedasdisampaikankepada lembagaini,yangdiantaranyamenyatakan bahwaLP-POM-MUIterlalulemah,seringtidak tegas,tidakcepattanggap, plin-plan,cenderungberpihakdanmembelaperusahaanbesar saja, dsb.
5.         KEMENTERIAN AGAMA
Departemen Agama merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden terkait keamanan produk pangan yang beredar di masyarakat. Departemen ini melakukan audit langsung pertanggungjawaban halal dan juga mengeluarkan pedoman sertifikat halal terkait syarat dari kehalalan.
6.         KEMENTERIAN PERDAGANGAN
Berdasarkan Pasal  33 ayat (3)  Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Label dan Iklan Pangan bahwa Pemerintah  mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan. Dalam hal ini, Pemerintah melalui Kementerian perdagangan melakukan pengawasan terhadap tindakan mengenai iklan tentang pangan yang diperdagangkan patut atau tidaknya untuk dipublikasikan kepada masyarakat.
Selain itu, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan melakukan pengawasan terhadap produk yang wajib mencantumkan label dalam Bahasa Indonesia, serta terhadap produk telematika dan elektronika yang wajib dilengkapi petunjuk penggunaan dan kartu jaminan/garansi purnajual (MKG) dalam Bahasa.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 1999, saat ini terdapat 123 SNI yang telah diberlakukan wajib oleh instansi-instansi terkait. Di samping itu produk-produk beredar di pasar juga harus sesuai dengan label berbahasa Indonesia, sebagaimana diatur dalam Permendag Nomor 75 Tahun 2015, tentang kewajiban pencantuman label dalam berbahasa Indonesia.
untuk produk yang tidak memenuhi persyaratan SNI, Kemendag juga telah membekukan Nomor Registrasi Produk (NRP) bagi produk dalam negeri dan Nomor Pendaftaran Barang (NPB) bagi produk impor.
Bagi produk yang tidak memenuhi ketentuan label dalam bahasa Indonesia wajib ditarik dari peredaran dan diperbaiki pelabelannya sebelum diperdagangkan kembali. Begitu juga untuk Produk yang tidak dilengkapi petunjuk penggunaan dan kartu jaminan/garansi purnajual (MKG) dalam Bahasa Indonesia wajib ditarik dari peredaran.
Bagi pelaku usaha yang sudah pernah dikenakan sanksi administrasi namun masih melakukan pelanggaran dan ditemukan barang beredar di pasar pada pengawasan berikutnya masih tidak sesuai dengan persyaratan SNI, ketentuan label dalam Bahasa indonesia, dan MKG, maka dapat dilakukan penindakan/sanksi pidana sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
7.         KEMENTERIAN PERTANIAN
Kementerian Pertanian merupakan bagian dari Badan Ketahanan Pangan (BKP). Untuk pangan segar,  pengawasannya dilaksanakan olehlembaga pemerintahyang menyelenggarakanurusan pemerintahandi Bidang Pangan.Halinidiperkuatdenganditerbitkannya PeraturanPresiden Nomor45Tahun2015tentangKementerianPertanianyang salah satunya mengaturkeamananpangansegar merupakansalah satutugasdariBadan Ketahanan Pangan (BKP). BKP dalam menjalankanfungsi pengawasankeamanan pangan segarhasil pertanianmelalui2(dua)polapengawasan,yaitu1)pengawasanpre market dan2)postmarket.
Pengawasanpremarketadalah pengawasankeamanan pangansegarsebelumpanganberedardipasaranyangberupasertifikasi danregistrasipangansegarpadakegiatanbudidayadanpenangananpasca. panen. Sedangkan pengawasanpost market adalah  pengawasan pangan segar diperedaran.Pengawasaninidalambentukinspeksimaupun pemantauan.Pengawasanpostmarketadayang bersifatregulardan insidentil.Pengawasanregulardilakukansecararutinmenjelang HariRaya Keagamaan maupun pemantauan bulanan.Sedangkanpengawasan insidentildilaksanakanjika ada kasusterkaitkeamananpanganyang memerlukan tindakan. Dalam konteks pertanian organik,Kementerian Pertanian membentuk Otoritas KompetenPertanian Organik (OKPO)yangberfungsi mengkoordinasikan pengembangan kebijakan  pertanianorganik. OKPO berkoordinasidenganKomiteAkreditasiNasional(KAN) dalammelakukan pengawasan terhadap operasional lembagasertifikasi organikdiIndonesia
8.         KEMENTERIAN KESEHATAN
Di Indonesia, pencantuman label pada produk pangan olahan diatur dalam Peraturan Pemerintah RI nomor 69 tahun 1999 mengenai Label dan Iklan Pangan serta Peraturan Kepala Badan BPOM nomor HK.031.5.12.11.09955 Tahun 2011 mengenai Pendaftaran Pangan Olahan. Tak hanya berfungsi sebagai pertanggungjawaban produsen terhadap konsumen, label dalam kemasan juga memberikan kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan seluruh informasi mengenai produk pangan tersebut. Mulai dari informasi gizi, bahan yang terkandung, cara penyajian, label halal, hingga tanggal kedaluwarsa.
Guna mendukung keamanan produk pangan, Kementerian Kesehatan melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan sejumlah instansi terkait sosialisasi pengawasan iklan dan publikasi di bidang kesehatan. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang yang sama, terutama periklanan kesehatan. Dalam kondisi saat ini, upaya sosialisasi semacam ini adalah untuk menguatkan koordinasi pengawasan iklan di lembaga penyiaran, internet, media dalam ruangan dan luar ruangan.

9.         PEMERINTAH DAERAH

DiIndonesiakebijakankeamananpangansecarajelastertuang dalam UU PanganNomor18 Tahun 2012tentang Pangan.DalamUUtersebut dijelaskanbahwa Pemerintahdan PemerintahDaerahberkewajibandalam pembinaan dan pengawasan keamanan pangandi setiap rantai pangan. Pembinaan keamanan pangan di setiap rantaipangan menjadi tanggung jawab instansi pembinapelaku usahapangan, misalnyakeamanan pangandi tingkatbudidayamerupakantanggung jawabKementerianPertaniandan Kementerian Kelautandan Perikanan. Pengawasan keamanan pangan dilakukanolehinstansiyang berbedaberdasarkanjenispangannya.

D. Berkaitan Dengan UU Jaminan Produk Halal , Apakah Setiap Pangan Dalam Kemasan   Wajib Di Uji Kehalalannya Dan Di Sertifikasi Cap HALAL ? Siapa Yang Berwenang Melakukan Sertifikasi  ?dan Apakah Dapat Di Implementasika ?

Wajib, karena Produk Halal lebih memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen dalam mengkonsumsi produk yang halal. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim, maka tentunya kebutuhan akan sertifikasi halal atas suatu produk menjadi tinggi, karena dalam perspektif Islam, selain halal makanan juga harus baik (thoyyib). Sebelum dikeluarkannya UU-JPH penyelenggaraan sertifikasi produk halal hanya bersifat voluntary (sukarela), namun demikian setelah diundangkannya UU-JPH, penyelengggaraan sertifikasi halal bersifat mandatory (wajib). Oleh sebab itu, para pelaku usaha memiliki kewajiban untuk mendaftar ke BPJPH agar produknya bisa disertifikasi kehalalannya.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kehalalan produk makanan dan minuman antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang Undang Republik Indonesia Nomor i8 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, dan Keputusan Mentri Pertanian No. 745/KPTS/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pemasukan daging dari luar negeri dan KEPMENAG No.518 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan dan Penetapan Pangan dan izin dari BPOM, Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa. Keputusan Mentri Agama Nomor 519 tahun 2001, Pasal 1 menyatakan bahwa Majelis Ulama Indonsia sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal yang dikemas dan diperdagangkan di Indonesia.

Keputusan Menteri Pertanian yang diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 57 menyatakan;
1.Setiap orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label didalam dan/atau pada kemasan pangan
2.Setiap orang yang mengimpor pangan untuk dperdagangkan wajib mencantumkan label didalam da/atau pada kemasan pangan;
3.Pencantuman label didalam dan/atau pada kemasan pangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan mengunakan bahasa Indonesia paling sedikit memuat, nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor, halal bagi yang dipersyaratkan, tanggal dan kode produksi, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, nomor izin bagi bahan yang diolah da asal usul bahan pangan tertentu

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal lebih memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen mengkonsumsi produk halal. Lima tahun setelah disahkan undang-undang ini semua produk yang beredar dimasyarakat wajib mencantumkan sertifikat halal pada kemasannya dan sebaliknya apabila produk terdiri dari bahan yang tidak halal berdasarkan Pasal 29 ayat (2) pelaku usaha wajib mencantum pada kemasan produk tanda tidak halal, misalnya gambar babi.

-           Siapa Yang Berwenang Melakukan Sertifikasi  ?dan

Kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengeluarkan sertifikasi halal akhirnya digeser oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meresmikan badan yang bertugas melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal itu di gedung Kementerian Agama.

Labelisasi dan sertifikasi halal di Indonesia selama ini dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI yang berdiri sejak 1989. LPPOM-MUI memelopori berdirinya World Halal Council yang dijadikan sebagai wadah bernaungnya lembaga-lembaga sertifikasi halal dunia pada tahun 1999.

Pembentukan BPJPH merupakan amanat dari UU No 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal. Undang-undang ini disahkan Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014.

Undang-undang ini menyebutkan badan penyelenggara jaminan produk halal harus sudah terbentuk paling lambat tiga tahun sejak disahkan Undang-Undang itu. BPJPH saat ini telah terbentuk dan masuk dalam struktur Kementerian Agama berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja Kemenag.

Undang-undang menegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).

MUI tetap memiliki kewenangan terkait proses sertifikasi produk halal meski sudah ada BPJPH. "Kewenangan MUI tetap penting dan strategis, yaitu memberikan fatwa penetapan kehalalan suatu produk yang disampaikan kepada BPJH sebagai dasar penerbitan Sertifikasi Halal.

Selain memberi fatwa, MUI juga memiliki peran tidak tergantikan untuk mengeluarkan sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yaitu organisasi auditor produk halal.

Dengan  berdirinya BPJPH mampu membangkitkan dan menggairahkan perkembangan industri halal tanah air, yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. BPJPH, kata Lukman, harus segera membangun literasi dan kepedulian halal, baik bagi produsen, penjual maupun konsumen.

Setelah menunggu hampir tiga tahun pasca diundangkannya Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut UU-JPH), Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diresmikan oleh Menteri Agama pada tanggal 11/10/2017. Pendirian BPJPH merupakan amanat undang-undang yang menyatakan bahwa lembaga tersebut harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun setelah UU-JPH diundangkan Meski pembentukan BPJPH tergolong lambat, akan tetapi tindakan tersebut layak untuk diapreasi.

BPJPH adalah badan pemerintah yang ditugaskan untuk menyelenggarakan jaminan produk halal. Keberadaannya berada di bawah Menteri Agama dan bertanggungjawab kepada menteri juga. Menurut Pasal 6 UU-JPH, kewenangan BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan produk halal mencakup:
(a) merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
(b) menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
(c) menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
(d) melakukan registrasi Sertifikat Halal pada produk luar negeri;
(e) melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
(f) melakukan akreditasi terhadap LPH;
(g) melakukan registrasi Auditor Halal;
(h) melakukan pengawasan terhadap JPH;
(i) melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
(j) melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Berdasarkan kewenangan atributif di atas, saat ini BPJPH merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan sertifikasi produk halal di Indonesia. Dengan demikian maka proses sertifikasi produk halal tidak lagi berada di bawah kewenangan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majellis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Meski demikian, sesuai dengan UU-JPH, MUI tetap mempunyai peran strategis dalam proses sertifikasi produk halal. Hal ini menunjukkan bahwa BPJPH dapat melakukan kerjasama dengan MUI terkait proses sertifikasi auditor halal, akreditasi Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan penetapan kehalalan produk dalam bentuk fatwa.
Dengan diundangkannya BPJPH, diharapkan pengurusan proses penyelenggaraan jaminan halal menjadi semakin lebih baik dari sebelumnya. Dari segi kelembagaan dan legalitas tentunya keberadaan BPJPH menjadi jelas karena telah diatur dalam undang-undang.Dengan diresmikannya BPJPH maka diharapkan  Indonesia bisa masuk 10 besar produsen halal dunia versi Global Islamic Economy Indicator 2017. Mengingat potensi industri halal di Indonesia sangat besar, maka target yang ditetapkan oleh menteri agama menjadi beralasan.Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pelayanan sertifikasi dan pengawasan terhadap produk halal maka diharapkan BPJH dapat beroperasi secara profesionalisme, berintegritas dan transparansi, sehingga terhindar dari pungutan liar dan gratifikasi.

-          Apakah Dapat Di Implementasikan ?
Seharusnya dapat di implementasikan ,Berdasarkan peraturan PerUndang-Undang pangan kewajiban bagi pelaku usaha untuk mencantumkan logo halal yang diperoleh melalui LPPOM MUI sebelum produk diperdagangkan, tujuannya adalah untuk melindungi dan memberi kepastian hukum hak-hak konsumen terhadap produk yang tidak halal. Logo halal memberi manfaat kepada Konsumen muslim, karena terhindar dari produk yang tidak halal.misalnya Importir daging yang berasal dari luar negeri, disamping harus dijaga, bahwa daging itu harus sehat dan halal untuk melindungi konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal, memberi ketenteraman bagi konsumen muslim, untuk mewujudkannya hal tersebut diperlukan pemotongan ternak yang dilakukan menurut syariat Islam yang dinyatakan dalam sertifikat halal.

Selayaknya pelaku usaha di Indonesia yang memperdagangkan produk makanan dan minuman memberikan informasi yang jelas, jujur mengenai komposisi, kehalalan produk makanan dan minuman yang diperdagangkan untuk melindungi hak-hak konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal. Namun masih banyak ditemukan produk makanan dan minuman yang beredar dimasyarakat belum mencantumkan logo halal atau logo halal masih diragukan kebenarannya. Produk yang tidak ada logo halalnya belum tentu haram, begitu juga produk yang ada logo halalnya belum tentu juga halal, karena tidak tertutup kemungkinan produknya tidak halal.

Dalam Hukum Islam yang dikatakan halal tidak hanya zatnya, tapi juga mulai dari proses produksi dari hulu sampai hilir harus terbebas dari zat zat yang diharmkan oleh syariat Islam. Penyimpanan produk yang halal tidak boleh berdekatan dengan produk yang halal, artinya tempat penyimpanan produk halal harus terpisah dengan produk yang tidak halal. Begitu juga alat yang dipakai untuk memproses produk halal tidak boleh dipakai bersama dengan produk yang tidak halal.Sertifikat halal tidak hanya memberi manfaat perlindungan hukum hak-hak konsumen muslim terhadap produk yang tidak hala, tapi juga meningkatkan nilai jual produk pelaku usaha, karena konsumen tidak akan ragu lagi untuk membeli produk yang diperdagangkan pelaku usaha. Logo sertifikat halal memberikan kepastian hukum kepada konsumen muslim bahwa produk tersebut halal sesuai syariat Islam.
Walaupun sudah diberlakukan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk makanan dan minuman halal, karena undang-undang ini belum fektif berlakunya dan efektifnya berlakunya 5 tahun setelah pengesahan yaitu tahun 2019, Berdasarkan Pasa 66 Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyatakan, Undang-undang yang berlaku sebelum berlakunya undangundang ini tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014.

Karena Tujuan pencantuman logo halal pada produk makanan dan minuman adalah untuk melindungi konsumen hak-hak konsumen muslimin terhadap produk yang tidak halal. Memberikan kepastian hukum kepada konsumen muslim bahwa produk makanan dan minuman tersebut benar-benar halal sesuai yang disyariatkan oleh Hukum Islam. Konsumen muslim tidak akan ragu-ragu membeli produk makanan dan minuman, karena pada kemasan produk makanan dan minuman tercantum logo halal dan mencegah konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal. Jika produk makanan dan minuman tidak halal sesuai Undang-Undang Produk Jaminan Halal, pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan tanda pada produk makanan dan minuman tersebut tidak halal. Tanda dapat dalam bentuk gambar, seperti kalau di Bali di tempat makanan dan minuman yang mengandung unsur babi terdapat gambar babi. Ini berarti pelaku usahanya jujur, karena dalam undang-undang perlindungan konsumen pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai komposisi pada produk makanan dan minuman.

peraturan perundang-undangan mengenai produk halal yang ada selama ini masih belum tersinkronisasi dan tidak konsisten. Akibatnya, masih sedikit pelaku usaha yang merasa memiliki kewajiban untuk mencantumkan label halal. Oleh karena itu, kebutuhan konsumen Muslim Indonesia akan informasi produk halal belum dapat terpenuhi dengan layak. Hal ini tentu saja akan merugikan konsumen yang tidak cermat sehingga tidak memperhatikan ada atau tidaknya label halal pada produk.

Karena  masih banyak ditemukan peredaran produk makanan dan minuman baik yang lokal maupun yang impor belum berlabel sertifikat halal atau sertifikat halal yang terdapat pada kemasan makanan dan minuman diragukan kebenarannya. Hal ini menunjukan masih rendahnya kewajiban pelaku usaha mengikuti ketentuan hukum sertifikat halal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar