HUKUM
TINDAK PIDANA KHUSUS
“DAMPAK DAN
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA”
DISUSUN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU
TUGAS YANG DIBERIKAN OLEH DOSEN MATA KULIAH HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS , DOSEN ARMILIUS SH.MH SEBAGAI DOSEN PENGAJAR
HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Abstrak
Korupsi
telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai prosedur”.
Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil
korupsinya secara demonstratif. Perbuatan kejahatan korupsi merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga kejahatan
korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes)
melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra- ordinary crimes). Sehingga
dalam upaya pemberantasannya tampak masih memerlukan perjuangan berat dan tidak
lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar
biasa” (extraordinary crimes). Dengan adanya tindakan oleh aparat penegak
hukum, diharapkan kejahatan korupsi tidak semakin meluas. Bilamana penegakan
hukum kurang baik seperti sekarang ini maka kejahatan semakin berkembang,
korupsi semakin marak, kasus suap terjadi dimana-mana, penyalah gunaan
narkotika, dan sebagainya hanya dapat dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan.
Akhirnya, sebaik apapun peraturan perundang-undangan yang ada pada akhirnya
tergantung pada aparat penegak hukumnya.
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah tentang Korupsi.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir
kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
semua pihak.
Jakarta,
07 July 2018
Penulis.
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………………………….2
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………3
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………..…4
BAB.
I. PENDAHULUAN………………………………………………………………...….5
1. LATAR
BELAKANG……………………………………………………………….....5
2.
POKOK
PERMASALAHAN………………………………………………………….6
1.
Apa
sajakah kerugian atau dampak yang di timbulkan dari korupsi ?..................................................................................................................................6
2.
Bagaimanakah
upaya yang dilakukan pemerintah dan peran serta masyarakat dalam mengatasi
korupsi ?.........................................................................................6
3. TUJUAN……………………………………………………………………………......6
1. Untuk
mengetahui kerugian atau dampak yang di timbulkan dari KORUPSI........
2. Untuk
mengetahui Bagaimana upaya yang dapat dilakukan pemerintah dan peran serta masyarakat dalam mengatasi
KORUPSI ……………………………………..6
BAB.
II. PEMBAHASAN………………………………………………………………….....7
1.
Kerugian Atau Dampak Yang Di Timbulkan Dari
Korupsi ……………………….....7
2.
Upaya
Yang Dapat Dilakukan Pemerintah dan Peran Serta Masyarakat Dalam
Mengatasi
Korupsi …………………………………………………………………..15
BAB.III.
PENUTUP……………………………………………………………………..…22
1. KESIMPULAN……………………………………………………………………..22
2. SARAN…..…………………………………………………………………………23
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..…24
BAB. I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Tindak
pidana korupsi merupakan sebuah kejahatan yang secara kualitas maupun kuantitasnya
terus meningkat. Peningkatan jumlah tindak pidana korupsi tentu akan sangat berpengaruh
terhadap turunnya kualitas kesejahteraan bagi masyarakat. Padahal negara memiliki
kewajiban untuk meningatkan kesejahteraan masyarakat.
Dampak
korupsi yang demikian besar, dan merupakan problem serius terhadap kesejahteraan
masyarakat harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa tanpa
kecuali. Sehingga ini juga menjadi tanggung jawab rakyat untuk ikut
bersama-sama memerangi korupsi. Tentu bukan hal yang mudah dalam memecahkan
masalah korupsi, sekalipun harusmelibatkan seluruh elemen bangsa termasuk
rakyat, hal ini karena korupsi merupakan kejahatan yang dinamakan dengan White
Collar Crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan
kekayaan dan dipandang “terhormat”, karena mempunyai kedudukan penting baik dalam pemerintahan atau di dunia
perekonomian,[1]
bahkan menurut Harkristuti Harkrisnowo,pelaku korupsi bukan orang
sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan korupsi tersebut, dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya.[2]
Sedangkan menurut Marella Buckley korupsi merupakan penyalahan jabatan
publik demi keuntungan pribadi dengan cara suap atau komisi tidak sah.[3]
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa
tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi
perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu
tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya
menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan
keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama
dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang
terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak
“penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek
korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi
secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.[4]
Bukan
hanya di Indonesia saja, tetapi juga dibelahan dunia yang lain tindak pidana
korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan dengan
tindak pidana yang lainnya. Fenomena atau gejala ini harus dapat dimaklumi,
karena mengingat dampak negative yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi
dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dari suatu Negara,
bahkan juga terhadap kehidupan antar Negara.
Perbuatan
tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan hakhak ekonomi
masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai
kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa
(extra- ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi
dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa”
(extra-ordinary crimes) .
Abdullah
Hehamahua dalam Ermansjah Djaja mengemukakan bahwa “korupsi di Indonesia sudah
tergolong extra-ordinary crimes karena telah merusak, tidak saja keuangan
Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluhlantakkan
pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hokum dan keamanan
nasionalOleh karena itu, pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi
tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial. Ia harus dilakukan
secara komprehensif dan bersama-sama, oleh penegak hukum, lembaga masyarakat, dan
individu anggota masyarakat. Untuk maksud itu, kita harus mengetahui secara
persis peta korupsi di Indonesia dan apa penyebab utamanya.[5]
2.
POKOK
PERMASALAHAN
1.
Apa
sajakah kerugian atau dampak yang di timbulkan dari korupsi ?
2.
Bagaimanakah
upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi korupsi ?
3.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui kerugian atau dampak yang di timbulkan dari KORUPSI ?
2. Untuk
mengetahui Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi KORUPSI ?
BAB.
II
PEMBAHASAN
1.
Kerugian Atau Dampak Yang Di Timbulkan Dari
Korupsi
Akibat Serius dari Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi
merupakan istilah yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Pada prinsipnya
pengertian yuridis tentang tindak pidana korupsi tertuang sebagaimana ditegaskan
Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa, korupsi adalah :
Pasal
2
Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Pasal
3
Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada Pasal 2
Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa unsur penting yaitu: (1)
Setiap Orang; (2) Melawan Hukum; (3) Memperkaya diri sendiri/orang
lain/korporasi; (4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara
Setiap
orang adalah perseorangan termasuk koorporasi (Pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi), setiap orang juga dapat berkenaan dengan jabatan atau pegawai
negeri. Perihal pegawai negeri ini banyak yang keliru memahaminya, seolah-olah
pegawai negeri hanya mereka yang dimaksud dalam undang-undang tentang
kepegawaian, padahal pegawai negeri itu cakupannya begitu luas, hal mana
ditegasskan dalam Pasal 1 angka dua Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang merumuskan:
Pegawai
Negeri adalah meliputi:
a.
pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian;
b.
pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c.
orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah
d.
orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan
dari
keuangan
negara atau daerah; atau
e.
orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal
atau
fasilitas
dari negara atau masyarakat.
Mengenai pegawai negeri, sebagaimana
yang disebutkan dalam huruf b di atas, Pasal 92 KUHP merumuskan: Yang disebut
pejabat/pegawai negeri, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan
yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang,
bukan pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang badan
pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh Pemeritah atau atas
nama Pemerintah; begitu juga semua anggota dewan waterschap, dan semua kepala
rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan
kekuasaan yang sah. Mengenai Unsur “melawan hukum” yang terdapat dalam
pengertian yuridis di atas menurut Andi Hamzah dapat diartikan tanpa hak
menikmati hasil korupsi”,[6] sedangkan
“memperkaya diri sendiri” menurut Sudarto adalah berbuat apa saja, sehingga
pembuat bertambah kaya, misalnya pemindahbukuan, penandatanganan kontrak dan
sebagainya.[7]
Khusus mengenai sifat melawan hukum,
dalam literatur ilmu hukum pidana paling tidak terdapat 2 (dua) hal yaitu sifat
melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiel. Sifat melawan hukum
formil menurut D.Schaffmeister adalah semua bagian yang tertulis dari rumusan delik
telah terpenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana),[8]
dan
menurutnya bahwa sifat melawan hukum formil terjadi karena memenuhi rumusan
delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum merupakan sarat untuk dapat
dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas,[9] yang
menurut Dupont Het legaliteitsbeginsel is een van de meest fundamentele
beginselen van het strafrecht (asas legalitas adalah suatu asas yang paling
penting dalam hukum pidana). [10]
Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum
dapatlah dikatakan sebagai sebuah kejahatan, dan tindak pidana korupsi
merupakan kejahatan yang memiliki dampak yang luar biasa.Sebagai sebuah
kejahatan yang dampaknya sangat luar biasa, dan dampak Korupsi dapat menimbulkan
akibat yang sangat merugikan rakyat. maka Robert Klitgaard merinci beberapa hal
akibat korupsi di antaranya :[11]
a)
Suap menyebabkan dana untuk pembangunan rumah murah jatuh ke tangan yang tidak
berhak.
b)
Komisi untuk para penanggung jawab pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah
daerah
berarti
bahwa kontrak jatuh ke tangan perusahaan yang tidak memenuhi syarat.
c)
Kepolisian sering kali karena telah disuap pura-pura tidak tahu bila ada tindak
pidana yang
seharusnya
diusutnya.
d)
Pegawai pemerintah daerah menggunakan sarana masyarakat untuk kepentingan
pribadi.
e)
Untuk mendapatkan surat izin dan lisensi, warga masyarakat harus memberi uang
pelicin
kepada
petugas bahkan kadang-kadang harus memberi suap agar surat izin atau lisensi
bisa
terbit.
f)
Dengan memberi suap, warga masyarakat bisa berbuat sekehendak hati melanggar
peraturan
keselamatan
kerja, peraturan kesehatan, atau peraturan lainnya sehingga menimbulkan
bahaya
bagi anggota masyarakat selebihnya.
g)
Layanan pemerintah daerah diberikan hanya bila warga telah membayar sejumlah
uang
tambahan
di luar biaya yang resmi.
h)
Keputusan mengenai peruntukan lahan dalam kota sering dipengaruhi oleh korupsi.
i)
Petugas pajak memeras warga, atau lebih bersekongkol dengan wajib pajak,
memberikan
keringanan
pajak pada wajib pajak dengan imbalan suap.
Sebagai suatu penyakit, korupsi pada
hakikatnya tidak saja membahayakan keuangan negara, Frans Magnis Suseno
menjelaskan bahwa praktik korupsi di Indonesia telah sampai pada yang paling
membahayakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[12]
Pendapat Frans Magnis Suseno tersebut tentu
didasari oleh kondisi perekonomian negara
selalu
berada dalam posisi yang kurang baik bagi perjalanan pembangunan di Indonesia,
tetapi dalam perjalanannya kemudian lebih dari itu yaitu membahayakan dan
merusak perekonomian masyarakat. Adnan Buyung Nasution menilai bahwa perbuatan
dan dampak korupsi harus dilihat dari aspek yang lebih jauh, karena korupsi
telah sedemikian mengganggu hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.12bahkan Tim
Kerja Komisi Nasional Hak asasi manusia mencatat di tahun 2006 terdapat
persoalan-persoalan mendasar bagi terhambatnya pemenuhan perlindungan dan penghormatan
hak asasi manusia dan menempatkan korupsi sebagai faktor utama terhambatnya perlindungan
tersebut.[13]
Demikian akutnya korupsi di Indonesia,
sehingga Azhar menyatakan bahwa korupsi
merupakan
penyakit sosial yang bersifat universal dan telah terjadi semenjak awal
perjalanan manusia.[14]
Dampak yang demikian luas pada dasarnya akan menjadi ancaman yang sangat serius
bagi kelangsungan bangsa dan negara, bahkan Romli Atmasasmita menyatakan bahwa
masalah korupsi sudah merupakan ancaman yang bersifat serius terhadap
stabilitas dan keamanan masyarakat nasional dan internasional.[15]Sehingga
terdapat kepincangan pada bagian pendapatan yang diterima oleh berbagai
golongan masyarakat yang disebut sebagai relatif inequality atau terdapat
tingkat kemiskinan yang absolut (absolut poverty)[16]
Kondisi yang demikian tentu yang sangat
dirugikan adalah rakyat dalam tataran akar rumput, yang seharusnya mendapat
jaminan kesejahteraan sesuai dengan jaminan yang dituangkan dalam konstitusi.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Jadi dengan demikian, secara konstitusional kesejahteraan
rakyat merupakan hak asasi manusia yang harus diwujudkan oleh pemerintah
sebagai penyelenggara negara, salah satu upayanya adalah pemanfaatan sumber
daya alam yang ada, yang dalam pemanfaatannya adalah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. [17]
Sebagai negara yang kaya raya dengan segala sumber daya alam yang melimpah
tidak sepantasnya rakyat Indonesia hidup dalam gelimang kemiskinan dan
kesengsaraan dengan ragam kesedihan, dari mulai gizi buruk sampai persoalan ketidakmampuan
memenuhi hajat hidup yang layak dan kesehatan yang cukup memadai.
Korupsi merupakan kejahatan yang
secara kualitas maupun kuantitasnya luar biasa dan dapat merongrong kepentingan
perekonomian rakyat secara signifikan, Ronny Rahman Nitibaskara menyatakan
bahwa tindak pidana korupsi di masyarakat kita sudah menjadi endemik yang sulit
diatasi. Tindak pidana korupsi bukan merupakan kejahatan luar biasa, hanya kualitas
dan kuantitas perkembangbiakannya yang luar biasa.[18]
Senada dengan apa yang dikatakan
Ronny Rahman Nitibaskara tersebut, menurut Hendarman Supandji Tindak Pidana
Korupsi telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kuantitas dan kualitas
tindak pidana lainnya. semakin besarnya jurang perbedaan antara “si kaya” dan
“si miskin” telah memicu meningkatnya jumlah dan modus kejahatan yang terjadi
di masyarakat.[19]
Tingkat perkembangan korupsi yang demikian luar biasa menurut Yudi Kristiana disebabkan
oleh penanganan korupsi belum sesuai dengan harapan publik.[20]
Berbanding terbaliknya
penanganan
korupsi di Indonesia dengan harapan publik tersebut ditunjukkan oleh Asep
Rahmat Fajar dengan memberikan bukti empirik bahwa “akhir-akhir ini salah satu
lembaga penegakan hukum di Indonesia
yang kembali mendapat sorotan tajam adalah lembaga kejaksaan. Terlebih lagi dengan
adanya beberapa kasus yang secara nyata (sedang diproses oleh KPK) telah
menunjukkan bahwa oknum jaksa melakukan proses jual beli perkara atau menerima
suap dari pihak yang berperkara”.[21]
Di sini berlaku istilah “het recht hinkt achter de feiten” (hukum itu berjalan
tertatihtatih mengikuti kenyataan).[22]
Salah satu hal yang menyebabkan
tertatih-tatihnya hukum mengikuti kenyataan itu terjadi adalah masih adanya
anggapan dari para ahli hukum bahwa hukum sebagai sesuatu yang telah tersedia
yang tinggal mempergunakan saja,mereka menyamakan hukum dengan undang-undang. Menurut
mereka hukum adalah apa yang diatur oleh undang-undang. [23]Pendirian
ini kemudian menganggap perubahan atas undang-undang adalah tidak penting yang
kemudian menempatkan keadilan jauh dari masyarakat . Padahal menurut Sutiksno
keadilan itu harus bersifat sosial.[24]
Eratnya pengaruh kondisi sosial
terhadap hukum juga digambarkan oleh Unger bergantinya tatanansosial akan
menimbulkan tatanan hukum yang baru pula,[25]di
mana perubahan dalam dasar-dasar masyarakat mengubah pula dasar-dasar nilai
hukum,[26]
di mana dasar-dasar nilai hukum ini menurut Radbruch adalah keadilan, kegunaan
(kemanfaatan) dan kepastian hukum.[27]
Guna menciptakan hukum yang berkeadilan dan memiliki kemanfaatan bagi seluruh
rakyat, dan tidak hanya melandaskan pada kepastian hukum yang bersifat formil,
maka perlu ditelusuri secara lebih seksama mengenai apa itu korupsi baik dalam
tataran etimologis maupun tataran yuridis, dan bagaimana korupsi begitu cepat
bergerak dalam aspek kehidupan masyarakat.
Dalam makna yang paling sederhana,
korupsi diartikan sebagai tindakan menyelewengkan uang atau benda orang lain
yang bukan menjadi haknya. Dalam arti luas, korupsi diartikan sebagai tindakan
menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi dan digunakan sebagai upaya
untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Tindakan korupsi
pada tingkatan pemerintahan suatu negara sangat merugikan karena berpotensi
meningkatnya kemiskinan di suatu negara. Selain itu, negara juga mengalami
kerugian materi yang tidak sedikit. Korupsi bersifat menguntungkan diri
sendiri, namun merugikan kepentingan umum dan negara. Di Indonesia sendiri, kasus
korupsi bukan merupakan hal baru. Berdasarkan data dari Transparency Indonesia,
Indonesia menduduki peringkat 12 dari total 175 negara sebagai negara terkorup.
Cukup disayangkan memang, meskipun berbagai upaya hukum telah diupayakan,
nyatanya tidak mampu memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi.
Apapun alasannya, korupsi merupakan
tindakan yang tidak bisa dibenarkan dilihat dari aspek manapun. Banyak
kepentingan publik yang terbengkalai, juga kerugian negara yang sangat besar
akibat dari korupsi itu sendiri. Selain itu, korupsi juga memberikan dampak
negatif di berbagai bidang yang meliputi:
1.
Bidang Demokrasi
Dampak
akibat korupsi bagi negara yang utama adalah di bidang demokrasi. Bagi Anda
yang pernah menjadi Dewan Pemilih Tetap (DPT) saat pesta demokrasi (pemilu)
berlangsung pasti pernah mengetahui yang disebut “serangan fajar”. Sejumlah
calon tetentu memberikan imbalan uang bagi siapa saja yang memilihnya saat
pemilu, sehingga ia terpilih menduduki jabatan tertentu. Pemberian imbalan uang
tersebut sifatnya adalah sogokan. Beberapa memang tidak memberikan uang untuk
melancarkan jalannya menduduki suatu jabatan, namun ia memberikan barang
tertentu kepada masyarakat. Apapun bentuk sogokan yang diberikan tersebut
adalah salah satu bentuk korupsi. Sayangnya, masyarakat Indonesia kebanyakan
tidak cukup cerdas untuk memikirkan dampak jangka panjang jika mereka menerima
sogokan tersebut.
Saya
contohkan sebuah kasus ringan yang sangat sering terjadi saat pemilu. Ada 2
orang dari daerah yang sama yang mencalonkan diri mejadi anggota DPR. Sebut
saja A dan B. Si A memiliki kepribadian pemimpin yang baik, mampu mengayomi,
memberikan bantuan untuk kasus-kasus sosial yang terjadi di lingkungannya. Saat
detik-detik menjelang berlangsungnya pemilu, si A menggunakan cara yang jujur,
sedangkan si B memberikan uang kepada para calon pemilih agar ia terpilih
menduduki kursi DPR. Karena para pemilih yang memilih sogokan dan juga tidak
memikirkan dampak panjang, akibatnya si B yang justru terpilih menduduki kursi
DPR, padahal dari segi kemampuan, si A lebih kompeten dibanding si B. Itulah
salah satu contoh dampak korupsi bagi berjalannya demokrasi di Indonesia. Maka
jangan salah jika ada semboyan “Jadilah masyarakat yang baik jika menginginkan
pemimpin yang baik”.
2.
Bidang Ekonomi
Maju
tidaknya suatu negara biasa diukur dengan tingkat ekonomi negara tersebut. Dan
penelitian juga telah membuktikan, makin maju suatu negara biasanya diikuti
dengan makin rendahnya tingkat korupsi negara tersebut. Korupsi memang biasa
terjadi di negara-negara berkembang. Maka tidak heran pula, jika negara-negara
berkembang memiliki perekonomian yang tidak baik dan relatif tidak stabil.
Bahkan pada beberapa kasus, sering ditemukan perusahaan-perusahaan yang
memiliki koneksi dengan pejabat mampu bertahan dan dilindungi dari segala macam
persaingan. Akibatnya, perusahaan-perusahaan yang tidak efisien bertahan dan
justru merugikan perekonomian negara.
Para ahli ekonomi juga menyebutkan
bahwa buruknya perekonomian di negara-negara Afrika ternyata disebabkan oleh
tingginya tingkat korupsi negara tersebut. Para pejabat yang korup, menyimpan
uang mereka di berbagai bank di luar negeri. Bahkan ada data yang menyebutkan
bahwa besarnya uang simpanan hasil korupsi pejabat-pejabat Afrika yang ada di luar
negeri justru lebih besar dibandingkan hutang negaranya sendiri. Maka tidak
heran jika ada beberapa negara di benua Afrika yang sangat terbelakang tingkat
ekonomi dan juga pembangunan insfrastrukturnya, padahal jika dilihat dari
kekayaan alam, mereka memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa.
3.
Bidang Keselamatan dan Kesehatan Manusia
Anda
mungkin masih mengingat robohnya jembatan Kutai Kertanegara. Masih ada
kasus-kasus lain mengenai kerusakan fasilitas publik yang juga menimbulkan
korban jiwa. Selain itu, ada pula pekerja-pekerja fasilitas publik yang
mengalami kecelakaan kerja. Ironisnya, kejadian tersebut diakibatkan oleh
korupsi. Bukan rahasia jika dana untuk membangun insfrastruktur publik
merupakan dana yang sangat besar jika dilihat dalam catatan. Nyatanya, saat
dana tersebut melewati para pejabat-pejabat pemerintahan, dana tersebut
mengalami pangkas sana-sini sehingga dalam pengerjaan insfrastruktur tersebut
menjadi minim keselamatan. Hal tersebut terjadi karena tingginya resiko yang
timbul ketika korupsi tersebut memangkas dana menjadi sangat minim pada
akhirnya. Keselamatan para pekerja dipertaruhkan ketika berbagai bahan
insfrstruktur tidak memenuhi standar keselamatan karena minimnya dana.
4.
Bidang Kesejahteraan Umum
Dampak
korupsi dalam bidang ekonomi lainnya adalah tidak adanya kesejahteraan umum.
Anda pasti sering memperhatikan tayangan televisi tentang pembuatan
peraturan-peraturan baru oleh pemerintah. Dan tidak jarang pula, ketika
dicermati, peraturan-peraturan tersebut ternyata justru lebih memihak pada
perusahaan-perusahaan besar yang mampu memberikan keuntungan untuk para
pejabat. Akibatnya, perusahaan-perusahaan kecil dan juga industri menengah
tidak mampu bertahan dan membuat kesejahteraan masyarakat umum terganggu. Tingkat
pengangguran makin tinggi, diikuti dengan tingkat kemiskinan yang juga semakin
tinggi.
5.
Pengikisan Budaya
Dampak
ini bisa terjadi pada pelaku korupsi juga pada masyarakat umum. Bagi pelaku
korupsi, ia akan dikuasai oleh rasa tak pernah cukup. Ia akan terus-menerus
melakukan upaya untuk menguntungkan diri sendiri sehingga lambat laun ia akan
menuhankan materi. Bagi masyarakat umum, tingginya tingkat korupsi, lemahnya
penegakan hukum, akan membuat masyarakat meninggalkan budaya kejujuran dengan
sendirinya. Pengaruh dari luar akan membentuk kepribadian yang tamak, hanya
peduli pada materi, dan tidak takut pada hukum.
6.
Terjadinya Krisis Kepercayaan
Dampak
korupsi bagi negara yang paling penting adalah tidak adanya kepercayaan
terhadap lembaga pemerintah. Sebagai pengamat, masyarakat Indonesia saat ini
sudah semakin cerdas untuk menilai sebuah kasus. Berdasarkan pengamatan, saat
ini masyarakat Indonesia tidak pernah merasa puas dengan tindakan hukum kepada
para koruptor. Banyak koruptor yang menyelewengkan materi dalam jumlah yang
tidak sedikit, namun hanya memperoleh hukuman tidak seberapa. Akibatnya, rakyat
tidak lagi percaya pada proses hukum yang berlaku. Tidak jarang pula masyarakat
lebih senang main hakim sendiri untuk menyelesaikan sebuah kasus. Hal tersebut
sebenarnya merupakan salah satu tanda bahwa masyarakat Indonesia sudah tidak
percaya dengan jalannya hukum, terutama dengan berbagai tindakan yang diambil
oleh pemerintah dalam menangani kasus korupsi.[28]
2.
Upaya
Yang Dapat Dilakukan Pemerintah Dalam Mengatasi Korupsi
Menurut UUD 1945 Amandemen Pasal 1
ayat (3) : Indonesia ialah Negara Hukum. Sebagaimana layaknya suatu negara
hukum, maka kepentingan masyarakat banyak harus mendapat perlindungan dari
pemerintah, seperti tersebut dalam Alinea IV UUD 1945 Amandemen : ”...untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia ...” . Perlindungan tersebut selanjutnya merupakan hak-hak warga
negara yang diatur dan dijabarkan dalam dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Warga negara berhak untuk hidup aman , damai, tenteram , terhindar dari
berbagai tindak kejahatan. Bilamana terjadi tindak kejahatan, maka aparat
penegak hukum harus segera bertindak sesuai kewenangan yang dimiliki. Dengan
adanya tindakan oleh aparat penegak hukum, diharapkan kejahatan tidak semakin
meluas. Bilamana penegakan hukum kurang baik seperti sekarang ini maka
kejahatan semakin berkembang, korupsi semakin marak, kasus suap terjadi
dimana-mana, penyalah gunaan narkotika, dan sebagainya hanya dapat dikendalikan
dari lembaga pemasyarakatan. Akhirnya, sebaik apapun peraturan
perundang-undangan yang ada pada akhirnya tergantung pada aparat penegak
hukumnya. [29]
Pentingnya Peran Serta
Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi
Melihat dampak korupsi yang demikian dahsyat,
dan sangat merugikan masyarakat, maka diperlukan sebuah keseriusan dalam
penegakan hukum guna pemebrantasan tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan penegakan hukum Barda Nawawi
Arief berpendapat bahwa Penegakan hokum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran
dan keadilan.[30]
di sini berati bahwa penegak hokum dipercaya oleh masyarakat untuk menegakkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang terkandung di dalam hukum. Namun
demikian dalam penegakan hukum itu terdapat sisi yang penting yaitu peran serta
masyarakat, yang kemudian disebut sebagai kontrol sosial.
Korupsi
yang dilakukan dengan penggunaan kekuasaan pada intinya dilakukan karena
lemahnya kontrol
sosial, atau lingkungan sosial yang membentuknya demikian, [31]
terutama
lingkungan yang ada
dalam kekuasaan yang sudah dihinggapi oleh tanggung jawab yang hilang. Jadi tak
berlebihan jika James C. Scoot memiliki pendirian bahwa korupsi meliputi
penyimpangan tingkah laku standar, yaitu melanggar atau bertentangan dengan
hukum untuk memperkaya diri sendiri,30oleh karenanya diperlukan kontrol sosial.
Kontrol
sosial menurut Ronny Hanitijo Soemitro, merupakan aspek normatif dari kehidupan
sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dan tingkah laku yang
menyimpang serta akibatakibatnya, seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan,
pemidanaan dan pemberian ganti rugi. [32]
bahkan menurutnya tingkah laku yang menyimpang tergantung pada kontrol sosial.
Ini berarti, kontrol sosial menentukan tingkah laku bagaimana yang merupakan tingkah
laku yang menyimpang. Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial,
maka semakin berat nilai penyimpangan
pelakunya.[33]
jadi tindakan menyimpang tidak dibenarkan karena masyarakat secara umum merasa
tindakan-tindakan tersebut tidak dapat diterima.[34] Sikap
penolakan masyarakat terhadap perilaku menyimpang tersebut dapat dikualifisir sebagai
kejahatan, di mana kejahatan tersebut merupakan hal yang tercela bagi
masyarakat.
Oleh
karena itu, menurut Emile Durkheim, kejahatan merupakan tindakan yang tidak
disepakati secara umum oleh anggota masing-masing masyarakat. Suatu tindakan
bersifat kejahatan ketika tindakan tersebut melanggar kesadaran bersama yang
kuat dan terdefinisi.[35]
Jadi dengan demikian menurut Emile Durkheim kejahatan merupakan hal yang
disepakati oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Secara
tegas Reiss mendefinisikan kontrol sosial sebagai kemampuan kelompok sosial
atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau
peraturan menjadi efektif.[36]
Berkenaan dengan
kontrol sosial tersebut Soerjono Soekanto, menjelaskan bahwa, control sosial
adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang
direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau
bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan
kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan.[37]
Menurut
Satjipto Rahardjo sendiri bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang
dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan
harapan masyarakat, control sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan
berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu
lembaga yang diorganisasi secara politik, melalui lembaga-lembaga yang
dibentuknya. 37Bahkan di Malaysia, kontrol sosial tidak hanya dilakukan oleh
lembaga yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan
seluruh elemen masyarakat, hal tersebut di sampaikan oleh Perdana Menteri
Malaysia Abdullah Badawi, bahwa di Malaysia setiap warga harus menjadi pemantau
atas korupsi di pemerintahan.[38]
Hal tersebut menjadi wajar, karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan
sosial dan yang paling dirugikan adalah masyarakat. Jadi agar tidak terjadi
ketidaktertiban sosial diperlukan adanya aturan dalam rangka menanggulangi
tindakan dan akibat jahat dari tindakan korupsi, yang pada hakikatnya dapat merusak
kehidupan sosial, dan peraturan tersebut harus sesuai dengan aspirasi
masyarakat pada umumnya.
Agar
kontrol sosial terlembagakan dalam sistem perundang-undangan dan sebagai bentuk
penyerapan aspirasi masyarakat, maka Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana yang diubah oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah merumuskan mengenai peran serta
masyarakat, hal mana ditegaskan dalam :
Pasal 41
(1) Masyarakat dapat
berpran serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. hak
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
b. hak
untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara
tindak pidana korupsi;
c. hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hokum yang
menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak
untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
e. hak
memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1.
melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.b,dan c;
2.
diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan
sebaga saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku;
3.
Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(4)
Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundangundangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama
dan norma sosial lainnya.
5.
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42 :
(1) Pemerintah
memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya
pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
(2) Ketentuan mengenai
penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Sebagai
amanat Pasal 41 Ayat (5) dan Pasal 42 ayat (2) sebagaimana diuraikan di atas,
maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Negara, di mana dalam Pasal 7 ditegaskan bahwa : setiap orang, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, yang telah berjasa dalam usaha
pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi, berhak mendapat penghargaan.
Bentuk penghargaan ini berupa piagam dan premi yang besarnya 2 per mil dari kekayaan
Negara yang dikembalikan.[39]
Namun
Peraturan Pemerintah di atas, sampai saat ini belum memberikan manifestasinya, malahan
banyak penegak hukum dari kejaksaan yang menyatakan tidak tahu adanya Peraturan
Pemerintah tersebut. Ini merupakan probem tersendiri bagi upaya pencegahan
tindak pidana korupsidengan melibatkan rakyat.
Ketika
negara terlalu berpihak dan menguntungkan koruptor, timbul spirit dan gagasan
baru dari masyarakat sendiri untuk ”menghukum” pelaku korupsi. Sebagian besar
publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi koruptor, meski dinilai
belum tentu efektif. Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar pemerintah yang
tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik institusi, yaitu
”perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI, ada pula
persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan pelaku korupsi. Ringannya
hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa mengapresiasi sepenuhnya
langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.
Catatan Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan,
hingga Agustus 2012 sebanyak 71 terdakwa korupsi melenggang bebas di pengadilan
tindak pidana korupsi. Kalaupun dihukum, mayoritas vonis hukuman bagi koruptor
1-2 tahun. Dengan demikian, cukup mudah bagi para koruptor melewati ”masa
penderitaan” ketimbang pelaku kriminal biasa yang bisa mencapai beberapa kali
lipat masa hukumannya. Tiga dari empat responden jajak pendapat melihat kadar
vonis yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi masih terlalu ringan dan dinilai
tidak memberikan efek jera. Tidak heran, sinisme terhadap upaya pemberantasan
korupsi tercermin kuat dari jajak pendapat kali ini. Hampir seluruh responden
(89,9 persen) yang dihubungi di berbagai kota mengungkapkan ketidakpuasan akan
situasi pemidanaan pelaku korupsi saat ini. Pukulan telak bagi proses wacana
dan gerakan pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa atau
narapidana justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik. Peristiwa paling
baru adalah pengangkatan Azirwan yang pernah dipidana 2,5 tahun penjara dalam
kasus suap sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau.
Pemerintah berpedoman pada argumen ketentuan dalam Undang-Undang Pokok
Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak
diberhentikan. Dari sisi aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi
undang-undang.
Namun,
dari aspek moral dan etika, promosi ini dipandang tidak patut. Rohaniwan Franz
Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik
untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada
etika politik. Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral. Aspek
tanggung jawab dan kewajiban berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang
pernah diucapkan saat menjadi pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu
bekerja dengan jujur dan mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif,
tengok pula pedoman umum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya
menjadi pedoman para penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat
antikorupsi.
Promosi
jabatan bagi Azirwan tak pelak menjadi pertanyaan besar tentang keseriusan
pemerintah dan konsistensi sistem hukum dalam upaya pembersihan korupsi di
negeri ini. Hebatnya lagi, Azirwan bukanlah satu-satunya contoh bagaimana
koruptor masih mendapatkan ruang gerak di negeri ini. Dalam dua tahun terakhir
sedikitnya terdapat enam pejabat publik yang tetap dilantik meski terjerat
kasus korupsi. Sejak disuarakan saat reformasi, publik terus menanti
kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah menggerogoti moralitas bangsa.
Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih berjarak dengan kondisi realitas
sesungguhnya. Karena itu, tak heran bahwa publik melihat kini saatnya mekanisme
”hukuman sosial” diterapkan bagi koruptor. Sejauh ini hukuman sosial yang
dimaksudkan adalah bentuk hukuman yang lebih bersifat sanksi di luar proses
hukum positif. Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal sistem peradilan.
Meskipun
demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial menjadi salah satu bagian
dari proses pemidanaan dalam kasus korupsi. Gagasan bentuk hukuman sosial yang
paling banyak disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media massa,
seperti televisi atau koran. Nyaris seluruh responden (92,8 persen) menyetujui
bentuk hukuman tersebut. Bentuk berikutnya adalah mengajak masyarakat untuk
tidak memilih pejabat korup dalam semua kontestasi politik. Terhadap bentuk
itu, sebanyak 82,3 persen responden menyetujui. Bentuk ketiga paling ekstrem,
yaitu mengucilkan dari pergaulan masyarakat, cenderung kurang disetujui.
Dibanding hukuman badan (penjara), hukuman sosial memang kurang dinilai efektif
meredam aksi korupsi. Bagian terbesar publik jajak pendapat ini tetap melihat
perlunya pengenaan hukuman badan yang lebih tegas ketimbang sekadar pengenaan
hukuman sosial. Meski demikian, bercermin dari lemahnya aturan dan sistem
hukum, sepertiga bagian responden menegaskan perlunya kedua mekanisme itu
diterapkan bersamaan. Penerapan hukuman sosial oleh masyarakat memang bisa
dimaknai sebagai sebuah ”perlawanan publik” atas rasa putus asa publik terhadap
kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku korupsi.
Lebih
jauh, korupsi dan berbagai penyimpangan etika dalam konteks politik bisa
membahayakan perjalanan demokrasi karena menimbulkan krisis kepercayaan
terhadap parlemen, bahkan negara. Hukuman sosial bagi koruptor, menurut
pengamat politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan arti
”dipenjara” secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah dahsyat
dibanding hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang terbukti korup
bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi
kepala daerah dalam kurun tahun tertentu (Kompas, 24/8). Selain rasa tidak
puas, minornya pemberantasan korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku
korupsi menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya
sendiri. Selama ini, penyelenggara negara dinilai terlalu permisif terhadap
pelaku korupsi. Menilik fakta yang terjadi, aturan hukum dan komitmen aparatnya
menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk kembali menduduki
posisinya. Pengangkatan mantan narapidana korupsi dan sejumlah kebijakan
permisif terkait praktik korupsi bisa mengikis moralitas bangsa. Etika dan
moralitas politik bukan lagi menjadi pedoman utama dalam kehidupan bernegara.
Tidak hanya korupsi, tetapi juga berbagai polah tingkah politisi dan pejabat
publik yang dinilai mulai menanggalkan etika dalam berpolitik. Mayoritas
responden menilai perlu larangan tegas terhadap narapidana korupsi untuk
menjadi PNS. Larangan tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi pejabat
publik itu dimaksudkan agar muncul kepastian hukum untuk membangun moralitas
politik yang lebih baik.
BAB.III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Korupsi
berkaitan dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat
menyalahgunakan
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya. Korupsi selalu
bermuladan berkembang di sector public dengan bukti-bukti yang nyata bahwa
dengan kekuasaan itulah pejabat public dapat menekan atau memeras para pencari
keadilan atau mereka yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah. Korupsi di
Indonesia sudah tergolong kejahatan yang merusak, tidak saja keuangan Negara
dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluhlantakkan pilar-pilar
sosio budaya, moral, politik dan tatanan hokum dan keamanan nasional Upaya
pemberantasan kejahatan korupsi melalui penegakan hukum yang berkeadilan saat
ini tampak masih memerlukan perjuangan berat. Karena kejahatan korupsi
merupakain kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang berbeda dari kejahatan
pidana biasa, maka upaya yang harus dilakukan memerlukan sistem yang terpadu
dan luar biasa pula.
Sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) pemberantasan korupsi, memerlukan kemaun
politik luar biasa sehingga Presiden sebagai kepala Negara menjadi figur
penting dalam menggerakan dan mengordinasikan peran Polisi, Jaksa, Pengadilan,
dan KPK menjadi kekuatan dahsyat, sehingga praktek KKN, seperti penyogokan,
penggelembungan harga, gratifikasi, dan penyalah gunaan kewenangan lainnya
dilakukan oknum aparat PNS dan/atau pejabat negara, baik di tingkat pusat
maupun daerah dapat dipersempit ruang geraknya melalui cara-cara penegakan luar
biasa dan terpadu.
Dampak
korupsi demikian besar, sehingga mampu mengurangi kualitas kesejahteraan
masyarakat, tingginya
kerugian Negara akibat korupsi akan berdampak pada kewajiban Negara dalam
memberikan hak kesejahteraan. Jadi rakyat atau masyarakatlah yang akan menjadi korban.
Untuk itulah peran serta masyarakat dalam pencegahan tindak pidna korupsi
sangat dibutuhkan dan memiliki peran yang sangat penting sebagai bentuk dari
kontrol sosial, tingginya kontrol sosial akan mampu mempersempit ruang gerak
bagi korupsi dan memperlebar ruang bagi anti korupsi Agar tingkat pertumbuhan
korupsi dapat terus ditekan, maka uapaya mendorong kesadaran masyarakat dalam
pencegahan tindak pidana korupsi perlu terus diupayakan, salah satunya adalah pemberian penghargaan pada
masyarakat bagi pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai mana yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, harus diwujudkan secara
nyata.
2.
SARAN
1. Sikap
untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini. Dan pencegahan
korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil.
2. Perlu
dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
agar mendapat informasi yang lebih akurat.
3. Untuk
mengantisipasi meledaknya kasus korupsi, kita harus memberi hukuman yang lebih
berat kepada pelaku agar mereka tidak berani lagi untuk mengulangi
perbuatannya, apabila pelaku mengulangi perbuatan tersebut untuk kedua kalinya
saya berpikir lebih baik dihukum mati karena perbuatan korupsi dapat
menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat banyak.
4. Diharapkan
para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya di dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
http://jurnalilmiahtp2013.blogspot.com/2013/12/pidana-korupsi-di-indonesia.html
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun/article/viewFile/6037/4975
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=127938&val=538&title=PEMBERANTASAN%20KORUPSI%20SEBAGAI%20UPAYA%20PENEGAKAN%20HUKUM
http://radenwedi.blogspot.com/2016/05/makalahkorupsi-di-indonesia-matakuliah.html
http://blogsimpleuntukpelajar.blogspot.com/2013/03/makalah-tentang-korupsi.html
http://yopinovanda.blogspot.com/2014/05/makalah-korupsi-dan-solusi-pemecahannya.html
Adnan Buyung Nasution,
2004, Pergulatan Tanpa Henti, Pahit Getir Merintis Demokrasi, Aksara
Karunia, Jakarta.
Ahmad Ali, 2008,
Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indinesia, Bogor.
Amidhan, 2006, Catatan
Akhir Tahun 2006 Tentang Pelindungan dan Pemenuhan Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya,
Komnas HAM, Jakarta.
Andi Hamzah, 2005,
Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika,
Jakarta.
Asep Rahmat Fajar,
2008, “Pembaharuan Kejaksaan: Keharusan di Tengah Berbagai
Permasalahan”, Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “strategi Peningkatan
Kinerja Kejaksaan
Republik Indonesia di Undip Semarang, tanggal 29 Nopember.
Azhar, 2009, “Peranan
Biro Anti Korupsi dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di Brunei
Darusalam”, Jurnal
Litigasi Vol. 10.
Barda Nawawi Arief,
2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan
Kejahatan,Jakarta, Kencana.
D. Schaffmeister
et.all,1995, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.
Evi Hartanti, 2005,
Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
Hans-Otto Sano, et.al.,
2003, Hak Asasi Manusia dan Good Governance, DepKumHam, Jakarta.
Harkristuti
Harkrisnowo, 2002, “Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia”, Jurnal
Dictum
LeIP Edisi I.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Melalui Peran Serta Masyarakat
No. 64, Th. XVI
(Desember, 2014). Ridwan
398
Hendarman Supandji,
2009, "Peningkatan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Pelaksanaan
Tugas Kejaksaan”,
Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum di Undip Semarang, tanggal
27 Februari.
Indriyanto Seno Adji,
2006, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit
Media, Jakarta.
Kamri Ahmad, 2005
“Membangun Visi Baru Pemberantasan Korupsi dengan Progresif”, Jurnal
Progresif, Vol. 1, No.
2.
Komariah Emong
Sapardjaja, 2003 Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana
Indonesia, Alumni,
Bandung.
Muhtar Lubis & C.
Scott, James.1995, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta.
R. Diyatmiko
Soemodihardjo, 2008, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati
Dinamikanya di
Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
Ridwan, 2009,
”Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Melalui Pendekatan Ekonomi Kerakyatan di
Kabupaten Serang”
Majalah Dinamika, Vol. 34, No. 4.
Robert Klitgaard, dkk,
2005, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah,
Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
Romli Atmasasmita,
1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju,
Bandung.
_____, 2003, Pengantar
Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana, Jakarta.
_____, 2005, Teori dan
Kapita Slekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung.
Ronny Rahman
Nitibaskara, 2005, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Kompas, Jakarta.
Satjipto Rahardjo,
2004, Ilmu Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
_____, 2006, Ilmu
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_____, 2009, Pendidikan
Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta.
Soeharto, 2007,
Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme
dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Sudarto, 1977, Hukum
dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Sutiksno, 2002,
Filsafat Hukum (bagian 1), Pradnya Paramita, Jakarta.
_____, 2003, Filsafat
Hukum (bagian 2), Pradnya Paramita, Jakarta.
Topo Santoso & Eva
Achjani Zulfa, 2003. Kriminologi, RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Yudi Kristiana, 2008,
“Pendekatan Kritis Terhadap RealitasKinerja Kejaksaan”, Makalah
disampaikan dalam
Seminar Nasional tentang “strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan
Republik Indonesia di
Undip Semarang, tanggal 29 Nopember.
Undang-undang
Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[1]
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1977, hlm. 102.
[2]
Harkristuti Harkrisnowo, “Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia”,
Jurnal Dictum LeIP, Edisi I, Jakarta, Lentera Hati, 2002, hlm. 67.
[3]
Marella Buckley, dalam Hans Otto Sano, et.al.,Hak Asasi Manusia dan Good
Governance, Membangun Suatu Ketertiban, (alih bahasa oleh Rini Adriati),
Jakarta, DepKumHam, 2003, hlm. 157.
[4] [http://jurnalilmiahtp2013.blogspot.com/2013/12/pidana-korupsi-di-indonesia.html]
[5][http://download.portalgaruda.org/article.php?article=127938&val=538&title=PEMBERANTASAN%20KORUPSI%20SEBAGAI%20UPAYA%20PENEGAKAN%20HUKUM]
[6]
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm. 17.
[7]
Ibid. hlm. 19
[8]
D.Schaffmeister, et.al (diterjemahkan oleh J.E.Sahetapy), Hukum Pidana,
Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm. 39.
[9]
Ibid. hlm.40
[10]
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum
Pidana Indonesia, Bandung , Alumni, 2002, hlm. 6
[11]
Robert Klitgaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah,
(alih bahasa oleh Masri Maris), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.
1-2.
[12]
R. Diyatmiko Soemodihardjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati
Dinamikanya di Indonesia, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2008, hlm. 3
[13]
Amidhan, Catatan Akhir Tahun 2006 Tentang Pelindungan dan Pemenuhan Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, Jakarta, Komnas HAM, 2006, hlm. 6.
[14]
Azhar, Peranan Biro Anti Korupsi dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di Brunei
Darusalam, Jurnal Litigasi Volume 10, Bandung, FH. Unpas, 2009, hlm. 160.
[15]
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta, Kencana, 2003,
hlm. 53, bandingkan juga pendapat Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan
Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm. 1, yang
menyatakan bahwa korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang peningkatannya
ditunjang oleh kemajuan kemakmuran dan teknologi, semakin maju pembangunan
suatu bangsa, semakin meningkatnya kebutuhan dapat mendorong orang melakukan
korupsi.
[16]
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung, Mandar
Maju, 1995, hlm. 50.
[17]
Ridwan,”Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Melalui Pendekatan Ekonomi Kerakyatan
di Kabupaten Serang” Majalah Dinamika, Vol.34 No.4, 2009, hlm. 32
[18]
Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta, Kompas, 2005,
hlm. 5
[19]
Hendarman Supandji, "Peningkatan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam
Pelaksanaan Tugas Kejaksaan”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum di Undip
Semarang, tanggal 27 Februari 2009, hlm. 1
[20]
Yudi Kristina, “Pendekatan Kritis Terhadap Realitas Kinerja Kejaksaan”, Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Strategi Peningkatan Kinerja
Kejaksaan Republik Indonesia di Undip Semarang, tanggal 29 Nopember 2008, hlm.
1
[21]
Asep Rahmat Fajar, ”Pembaharuan Kejaksaan : Keharusan di Tengah Berbagai
Permasalahan”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Strategi
Peningkatan Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia di Undip Semarang, tanggal 29
Nopember 2008, hlm.6
[22]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Surakarta, Muhammadiyah Unversity Press, 2004,
hlm. 4.
[23]
Sutiksno, Filsafat Hukum (bagian1), Jakarta, Pradnya Paramita, 2002, hlm. 2.
[24]
Sutiksno, Filsafat Hukum (bagian1), Jakarta, Pradnya Paramita, 2003, hlm. 60
[25]
Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Yogyakarta,
Genta Publishing, 2009, hlm. 83.
[26]
Sutiksno, op.cit. hlm. 19.
[27]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (cetakan keenam), Bandung, Citra Aditya Bakti,
2006, hlm. 19.
[28]
[https://guruppkn.com/dampak-korupsi-bagi-negara]
[29][http://download.portalgaruda.org/article.php?article=127938&val=538&title=PEMBERANTASAN%20KORUPSI%20SEBAGAI%20UPAYA%20PENEGAKAN%20HUKUM/
hal-7]
[30]
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 23.
[31]
Topo Santoso dan Eva Achzani Zulfa, Kriminologi, Jakarta, RadjaGrafindo
Persada, 2003, hlm. 58 yang menyebutkan bahwa teori kontrol sosial mendasarkan
asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia
[32]
Azhar, op.cit. hlm.161.
[33]
Ibid.
[34]
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung, Refika Aditama,
2007, hlm. 24
[35]
Ibid
[36]
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, Refika
Aditama,2005, hlm. 43.
[37]
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm.
119.
[38]
Kamri Ahmad, “Membangun Visi Baru Pemberantasan Korupsi dengan Progresif”
Jurnal Progresif, Vol.1 No.2 hlm.131.
[39]
Ronny Rahman Nitibaskara, op.cit. hlm. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar