Minggu, 02 September 2018

TINDAK PIDANA KHUSUS 2


HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS
 “DAMPAK DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA”
DISUSUN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU
TUGAS YANG DIBERIKAN OLEH DOSEN MATA KULIAH HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS , DOSEN ARMILIUS SH.MH SEBAGAI DOSEN PENGAJAR HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS

-------------------------------------------------------------------------------------------------------- 



Abstrak

Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil korupsinya secara demonstratif. Perbuatan kejahatan korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga kejahatan korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra- ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tampak masih memerlukan perjuangan berat dan tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extraordinary crimes). Dengan adanya tindakan oleh aparat penegak hukum, diharapkan kejahatan korupsi tidak semakin meluas. Bilamana penegakan hukum kurang baik seperti sekarang ini maka kejahatan semakin berkembang, korupsi semakin marak, kasus suap terjadi dimana-mana, penyalah gunaan narkotika, dan sebagainya hanya dapat dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan. Akhirnya, sebaik apapun peraturan perundang-undangan yang ada pada akhirnya tergantung pada aparat penegak hukumnya.











KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah tentang Korupsi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga  makalah  ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.


Jakarta, 07 July 2018

Penulis.



 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------


DAFTAR ISI



ABSTRAK…………………………………………………………………………………….2
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………3
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..…4


BAB. I. PENDAHULUAN………………………………………………………………...….5
1.   LATAR BELAKANG……………………………………………………………….....5
2.   POKOK PERMASALAHAN………………………………………………………….6
1.   Apa sajakah kerugian atau dampak yang di timbulkan dari korupsi ?..................................................................................................................................6
2.   Bagaimanakah upaya yang dilakukan pemerintah dan peran serta masyarakat dalam mengatasi korupsi ?.........................................................................................6
3.   TUJUAN……………………………………………………………………………......6
1.   Untuk mengetahui kerugian atau dampak yang di timbulkan dari KORUPSI........
2.   Untuk mengetahui Bagaimana upaya yang dapat dilakukan pemerintah  dan peran serta masyarakat dalam mengatasi KORUPSI ……………………………………..6
BAB. II. PEMBAHASAN………………………………………………………………….....7
1.    Kerugian Atau Dampak Yang Di Timbulkan Dari Korupsi ……………………….....7
2.   Upaya Yang Dapat Dilakukan Pemerintah dan Peran Serta Masyarakat Dalam
     Mengatasi Korupsi …………………………………………………………………..15

BAB.III. PENUTUP……………………………………………………………………..…22
1.      KESIMPULAN……………………………………………………………………..22
2.      SARAN…..…………………………………………………………………………23

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..…24










----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 






BAB. I
PENDAHULUAN

1.   LATAR BELAKANG
Tindak pidana korupsi merupakan sebuah kejahatan yang secara kualitas maupun kuantitasnya terus meningkat. Peningkatan jumlah tindak pidana korupsi tentu akan sangat berpengaruh terhadap turunnya kualitas kesejahteraan bagi masyarakat. Padahal negara memiliki kewajiban untuk meningatkan kesejahteraan masyarakat.
Dampak korupsi yang demikian besar, dan merupakan problem serius terhadap kesejahteraan masyarakat harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa tanpa kecuali. Sehingga ini juga menjadi tanggung jawab rakyat untuk ikut bersama-sama memerangi korupsi. Tentu bukan hal yang mudah dalam memecahkan masalah korupsi, sekalipun harusmelibatkan seluruh elemen bangsa termasuk rakyat, hal ini karena korupsi merupakan kejahatan yang dinamakan dengan White Collar Crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan kekayaan dan dipandang “terhormat”, karena mempunyai kedudukan penting  baik dalam pemerintahan atau di dunia perekonomian,[1] bahkan menurut Harkristuti Harkrisnowo,pelaku korupsi bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan korupsi tersebut, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya.[2] Sedangkan menurut Marella Buckley korupsi merupakan penyalahan jabatan publik demi keuntungan pribadi dengan cara suap atau komisi tidak sah.[3]
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.[4]
Bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga dibelahan dunia yang lain tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan dengan tindak pidana yang lainnya. Fenomena atau gejala ini harus dapat dimaklumi, karena mengingat dampak negative yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dari suatu Negara, bahkan juga terhadap kehidupan antar Negara.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan hakhak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra- ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary crimes) .
Abdullah Hehamahua dalam Ermansjah Djaja mengemukakan bahwa “korupsi di Indonesia sudah tergolong extra-ordinary crimes karena telah merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluhlantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hokum dan keamanan nasionalOleh karena itu, pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial. Ia harus dilakukan secara komprehensif dan bersama-sama, oleh penegak hukum, lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat. Untuk maksud itu, kita harus mengetahui secara persis peta korupsi di Indonesia dan apa penyebab utamanya.[5]
2.   POKOK PERMASALAHAN
1.      Apa sajakah kerugian atau dampak yang di timbulkan dari korupsi ?
2.      Bagaimanakah upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi korupsi ?

3.   TUJUAN
1.      Untuk mengetahui kerugian atau dampak yang di timbulkan dari KORUPSI ?
2.      Untuk mengetahui Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi KORUPSI ?


BAB. II
PEMBAHASAN


1.    Kerugian Atau Dampak Yang Di Timbulkan Dari Korupsi
          
     Akibat Serius dari Tindak Pidana Korupsi
                       Tindak pidana korupsi merupakan istilah yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Pada prinsipnya pengertian yuridis tentang tindak pidana korupsi tertuang sebagaimana ditegaskan Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa, korupsi adalah :
Pasal 2
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Pasal 3
     Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada Pasal 2 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa unsur penting yaitu: (1) Setiap Orang; (2) Melawan Hukum; (3) Memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi; (4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara
    
Setiap orang adalah perseorangan termasuk koorporasi (Pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), setiap orang juga dapat berkenaan dengan jabatan atau pegawai negeri. Perihal pegawai negeri ini banyak yang keliru memahaminya, seolah-olah pegawai negeri hanya mereka yang dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian, padahal pegawai negeri itu cakupannya begitu luas, hal mana ditegasskan dalam Pasal 1 angka dua Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merumuskan:
Pegawai Negeri adalah meliputi:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat.

           Mengenai pegawai negeri, sebagaimana yang disebutkan dalam huruf b di atas, Pasal 92 KUHP merumuskan: Yang disebut pejabat/pegawai negeri, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang, bukan pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh Pemeritah atau atas nama Pemerintah; begitu juga semua anggota dewan waterschap, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah. Mengenai Unsur “melawan hukum” yang terdapat dalam pengertian yuridis di atas menurut Andi Hamzah dapat diartikan tanpa hak menikmati hasil korupsi”,[6] sedangkan “memperkaya diri sendiri” menurut Sudarto adalah berbuat apa saja, sehingga pembuat bertambah kaya, misalnya pemindahbukuan, penandatanganan kontrak dan sebagainya.[7]
           Khusus mengenai sifat melawan hukum, dalam literatur ilmu hukum pidana paling tidak terdapat 2 (dua) hal yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiel. Sifat melawan hukum formil menurut D.Schaffmeister adalah semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah terpenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana),[8]
dan menurutnya bahwa sifat melawan hukum formil terjadi karena memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum merupakan sarat untuk dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas,[9] yang menurut Dupont Het legaliteitsbeginsel is een van de meest fundamentele beginselen van het strafrecht (asas legalitas adalah suatu asas yang paling penting dalam hukum pidana). [10]
     Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dapatlah dikatakan sebagai sebuah kejahatan, dan tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang memiliki dampak yang luar biasa.Sebagai sebuah kejahatan yang dampaknya sangat luar biasa, dan dampak Korupsi dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan rakyat. maka Robert Klitgaard merinci beberapa hal akibat korupsi di antaranya :[11]
a) Suap menyebabkan dana untuk pembangunan rumah murah jatuh ke tangan yang tidak
berhak.
b) Komisi untuk para penanggung jawab pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah daerah
berarti bahwa kontrak jatuh ke tangan perusahaan yang tidak memenuhi syarat.
c) Kepolisian sering kali karena telah disuap pura-pura tidak tahu bila ada tindak pidana yang
seharusnya diusutnya.
d) Pegawai pemerintah daerah menggunakan sarana masyarakat untuk kepentingan pribadi.
e) Untuk mendapatkan surat izin dan lisensi, warga masyarakat harus memberi uang pelicin
kepada petugas bahkan kadang-kadang harus memberi suap agar surat izin atau lisensi bisa
terbit.
f) Dengan memberi suap, warga masyarakat bisa berbuat sekehendak hati melanggar peraturan
keselamatan kerja, peraturan kesehatan, atau peraturan lainnya sehingga menimbulkan
bahaya bagi anggota masyarakat selebihnya.
g) Layanan pemerintah daerah diberikan hanya bila warga telah membayar sejumlah uang
tambahan di luar biaya yang resmi.
h) Keputusan mengenai peruntukan lahan dalam kota sering dipengaruhi oleh korupsi.
i) Petugas pajak memeras warga, atau lebih bersekongkol dengan wajib pajak, memberikan
keringanan pajak pada wajib pajak dengan imbalan suap.
    
     Sebagai suatu penyakit, korupsi pada hakikatnya tidak saja membahayakan keuangan negara, Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa praktik korupsi di Indonesia telah sampai pada yang paling membahayakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[12]
     Pendapat Frans Magnis Suseno tersebut tentu didasari oleh kondisi perekonomian negara
selalu berada dalam posisi yang kurang baik bagi perjalanan pembangunan di Indonesia, tetapi dalam perjalanannya kemudian lebih dari itu yaitu membahayakan dan merusak perekonomian masyarakat. Adnan Buyung Nasution menilai bahwa perbuatan dan dampak korupsi harus dilihat dari aspek yang lebih jauh, karena korupsi telah sedemikian mengganggu hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.12bahkan Tim Kerja Komisi Nasional Hak asasi manusia mencatat di tahun 2006 terdapat persoalan-persoalan mendasar bagi terhambatnya pemenuhan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia dan menempatkan korupsi sebagai faktor utama terhambatnya perlindungan tersebut.[13]
          
           Demikian akutnya korupsi di Indonesia, sehingga Azhar menyatakan bahwa korupsi
merupakan penyakit sosial yang bersifat universal dan telah terjadi semenjak awal perjalanan manusia.[14] Dampak yang demikian luas pada dasarnya akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi kelangsungan bangsa dan negara, bahkan Romli Atmasasmita menyatakan bahwa masalah korupsi sudah merupakan ancaman yang bersifat serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat nasional dan internasional.[15]Sehingga terdapat kepincangan pada bagian pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan masyarakat yang disebut sebagai relatif inequality atau terdapat tingkat kemiskinan yang absolut (absolut poverty)[16]
           Kondisi yang demikian tentu yang sangat dirugikan adalah rakyat dalam tataran akar rumput, yang seharusnya mendapat jaminan kesejahteraan sesuai dengan jaminan yang dituangkan dalam konstitusi. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “ Bumi dan  air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jadi dengan demikian, secara konstitusional kesejahteraan rakyat merupakan hak asasi manusia yang harus diwujudkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, salah satu upayanya adalah pemanfaatan sumber daya alam yang ada, yang dalam pemanfaatannya adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. [17] Sebagai negara yang kaya raya dengan segala sumber daya alam yang melimpah tidak sepantasnya rakyat Indonesia hidup dalam gelimang kemiskinan dan kesengsaraan dengan ragam kesedihan, dari mulai gizi buruk sampai persoalan ketidakmampuan memenuhi hajat hidup yang layak dan kesehatan yang cukup memadai.  
           Korupsi merupakan kejahatan yang secara kualitas maupun kuantitasnya luar biasa dan dapat merongrong kepentingan perekonomian rakyat secara signifikan, Ronny Rahman Nitibaskara menyatakan bahwa tindak pidana korupsi di masyarakat kita sudah menjadi endemik yang sulit diatasi. Tindak pidana korupsi bukan merupakan kejahatan luar biasa, hanya kualitas dan kuantitas perkembangbiakannya yang luar biasa.[18]
           Senada dengan apa yang dikatakan Ronny Rahman Nitibaskara tersebut, menurut Hendarman Supandji Tindak Pidana Korupsi telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kuantitas dan kualitas tindak pidana lainnya. semakin besarnya jurang perbedaan antara “si kaya” dan “si miskin” telah memicu meningkatnya jumlah dan modus kejahatan yang terjadi di masyarakat.[19] Tingkat perkembangan korupsi yang demikian luar biasa menurut Yudi Kristiana disebabkan oleh penanganan korupsi belum sesuai dengan harapan publik.[20] Berbanding terbaliknya
penanganan korupsi di Indonesia dengan harapan publik tersebut ditunjukkan oleh Asep Rahmat Fajar dengan memberikan bukti empirik bahwa “akhir-akhir ini salah satu lembaga penegakan  hukum di Indonesia yang kembali mendapat sorotan tajam adalah lembaga kejaksaan. Terlebih lagi dengan adanya beberapa kasus yang secara nyata (sedang diproses oleh KPK) telah menunjukkan bahwa oknum jaksa melakukan proses jual beli perkara atau menerima suap dari pihak yang berperkara”.[21] Di sini berlaku istilah “het recht hinkt achter de feiten” (hukum itu berjalan tertatihtatih mengikuti kenyataan).[22]
           Salah satu hal yang menyebabkan tertatih-tatihnya hukum mengikuti kenyataan itu terjadi adalah masih adanya anggapan dari para ahli hukum bahwa hukum sebagai sesuatu yang telah tersedia yang tinggal mempergunakan saja,mereka menyamakan hukum dengan undang-undang. Menurut mereka hukum adalah apa yang diatur oleh undang-undang. [23]Pendirian ini kemudian menganggap perubahan atas undang-undang adalah tidak penting yang kemudian menempatkan keadilan jauh dari masyarakat . Padahal menurut Sutiksno keadilan itu harus bersifat sosial.[24]
           Eratnya pengaruh kondisi sosial terhadap hukum juga digambarkan oleh Unger bergantinya tatanansosial akan menimbulkan tatanan hukum yang baru pula,[25]di mana perubahan dalam dasar-dasar masyarakat mengubah pula dasar-dasar nilai hukum,[26] di mana dasar-dasar nilai hukum ini menurut Radbruch adalah keadilan, kegunaan (kemanfaatan) dan kepastian hukum.[27] Guna menciptakan hukum yang berkeadilan dan memiliki kemanfaatan bagi seluruh rakyat, dan tidak hanya melandaskan pada kepastian hukum yang bersifat formil, maka perlu ditelusuri secara lebih seksama mengenai apa itu korupsi baik dalam tataran etimologis maupun tataran yuridis, dan bagaimana korupsi begitu cepat bergerak dalam aspek kehidupan masyarakat.
           Dalam makna yang paling sederhana, korupsi diartikan sebagai tindakan menyelewengkan uang atau benda orang lain yang bukan menjadi haknya. Dalam arti luas, korupsi diartikan sebagai tindakan menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi dan digunakan sebagai upaya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Tindakan korupsi pada tingkatan pemerintahan suatu negara sangat merugikan karena berpotensi meningkatnya kemiskinan di suatu negara. Selain itu, negara juga mengalami kerugian materi yang tidak sedikit. Korupsi bersifat menguntungkan diri sendiri, namun merugikan kepentingan umum dan negara. Di Indonesia sendiri, kasus korupsi bukan merupakan hal baru. Berdasarkan data dari Transparency Indonesia, Indonesia menduduki peringkat 12 dari total 175 negara sebagai negara terkorup. Cukup disayangkan memang, meskipun berbagai upaya hukum telah diupayakan, nyatanya tidak mampu memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi.
           Apapun alasannya, korupsi merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan dilihat dari aspek manapun. Banyak kepentingan publik yang terbengkalai, juga kerugian negara yang sangat besar akibat dari korupsi itu sendiri. Selain itu, korupsi juga memberikan dampak negatif di berbagai bidang yang meliputi:
1. Bidang Demokrasi
Dampak akibat korupsi bagi negara yang utama adalah di bidang demokrasi. Bagi Anda yang pernah menjadi Dewan Pemilih Tetap (DPT) saat pesta demokrasi (pemilu) berlangsung pasti pernah mengetahui yang disebut “serangan fajar”. Sejumlah calon tetentu memberikan imbalan uang bagi siapa saja yang memilihnya saat pemilu, sehingga ia terpilih menduduki jabatan tertentu. Pemberian imbalan uang tersebut sifatnya adalah sogokan. Beberapa memang tidak memberikan uang untuk melancarkan jalannya menduduki suatu jabatan, namun ia memberikan barang tertentu kepada masyarakat. Apapun bentuk sogokan yang diberikan tersebut adalah salah satu bentuk korupsi. Sayangnya, masyarakat Indonesia kebanyakan tidak cukup cerdas untuk memikirkan dampak jangka panjang jika mereka menerima sogokan tersebut.

Saya contohkan sebuah kasus ringan yang sangat sering terjadi saat pemilu. Ada 2 orang dari daerah yang sama yang mencalonkan diri mejadi anggota DPR. Sebut saja A dan B. Si A memiliki kepribadian pemimpin yang baik, mampu mengayomi, memberikan bantuan untuk kasus-kasus sosial yang terjadi di lingkungannya. Saat detik-detik menjelang berlangsungnya pemilu, si A menggunakan cara yang jujur, sedangkan si B memberikan uang kepada para calon pemilih agar ia terpilih menduduki kursi DPR. Karena para pemilih yang memilih sogokan dan juga tidak memikirkan dampak panjang, akibatnya si B yang justru terpilih menduduki kursi DPR, padahal dari segi kemampuan, si A lebih kompeten dibanding si B. Itulah salah satu contoh dampak korupsi bagi berjalannya demokrasi di Indonesia. Maka jangan salah jika ada semboyan “Jadilah masyarakat yang baik jika menginginkan pemimpin yang baik”.

2. Bidang Ekonomi
Maju tidaknya suatu negara biasa diukur dengan tingkat ekonomi negara tersebut. Dan penelitian juga telah membuktikan, makin maju suatu negara biasanya diikuti dengan makin rendahnya tingkat korupsi negara tersebut. Korupsi memang biasa terjadi di negara-negara berkembang. Maka tidak heran pula, jika negara-negara berkembang memiliki perekonomian yang tidak baik dan relatif tidak stabil. Bahkan pada beberapa kasus, sering ditemukan perusahaan-perusahaan yang memiliki koneksi dengan pejabat mampu bertahan dan dilindungi dari segala macam persaingan. Akibatnya, perusahaan-perusahaan yang tidak efisien bertahan dan justru merugikan perekonomian negara.
           Para ahli ekonomi juga menyebutkan bahwa buruknya perekonomian di negara-negara Afrika ternyata disebabkan oleh tingginya tingkat korupsi negara tersebut. Para pejabat yang korup, menyimpan uang mereka di berbagai bank di luar negeri. Bahkan ada data yang menyebutkan bahwa besarnya uang simpanan hasil korupsi pejabat-pejabat Afrika yang ada di luar negeri justru lebih besar dibandingkan hutang negaranya sendiri. Maka tidak heran jika ada beberapa negara di benua Afrika yang sangat terbelakang tingkat ekonomi dan juga pembangunan insfrastrukturnya, padahal jika dilihat dari kekayaan alam, mereka memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa.

3. Bidang Keselamatan dan Kesehatan Manusia
Anda mungkin masih mengingat robohnya jembatan Kutai Kertanegara. Masih ada kasus-kasus lain mengenai kerusakan fasilitas publik yang juga menimbulkan korban jiwa. Selain itu, ada pula pekerja-pekerja fasilitas publik yang mengalami kecelakaan kerja. Ironisnya, kejadian tersebut diakibatkan oleh korupsi. Bukan rahasia jika dana untuk membangun insfrastruktur publik merupakan dana yang sangat besar jika dilihat dalam catatan. Nyatanya, saat dana tersebut melewati para pejabat-pejabat pemerintahan, dana tersebut mengalami pangkas sana-sini sehingga dalam pengerjaan insfrastruktur tersebut menjadi minim keselamatan. Hal tersebut terjadi karena tingginya resiko yang timbul ketika korupsi tersebut memangkas dana menjadi sangat minim pada akhirnya. Keselamatan para pekerja dipertaruhkan ketika berbagai bahan insfrstruktur tidak memenuhi standar keselamatan karena minimnya dana.

4. Bidang Kesejahteraan Umum
Dampak korupsi dalam bidang ekonomi lainnya adalah tidak adanya kesejahteraan umum. Anda pasti sering memperhatikan tayangan televisi tentang pembuatan peraturan-peraturan baru oleh pemerintah. Dan tidak jarang pula, ketika dicermati, peraturan-peraturan tersebut ternyata justru lebih memihak pada perusahaan-perusahaan besar yang mampu memberikan keuntungan untuk para pejabat. Akibatnya, perusahaan-perusahaan kecil dan juga industri menengah tidak mampu bertahan dan membuat kesejahteraan masyarakat umum terganggu. Tingkat pengangguran makin tinggi, diikuti dengan tingkat kemiskinan yang juga semakin tinggi.
5. Pengikisan Budaya
Dampak ini bisa terjadi pada pelaku korupsi juga pada masyarakat umum. Bagi pelaku korupsi, ia akan dikuasai oleh rasa tak pernah cukup. Ia akan terus-menerus melakukan upaya untuk menguntungkan diri sendiri sehingga lambat laun ia akan menuhankan materi. Bagi masyarakat umum, tingginya tingkat korupsi, lemahnya penegakan hukum, akan membuat masyarakat meninggalkan budaya kejujuran dengan sendirinya. Pengaruh dari luar akan membentuk kepribadian yang tamak, hanya peduli pada materi, dan tidak takut pada hukum.
6. Terjadinya Krisis Kepercayaan
Dampak korupsi bagi negara yang paling penting adalah tidak adanya kepercayaan terhadap lembaga pemerintah. Sebagai pengamat, masyarakat Indonesia saat ini sudah semakin cerdas untuk menilai sebuah kasus. Berdasarkan pengamatan, saat ini masyarakat Indonesia tidak pernah merasa puas dengan tindakan hukum kepada para koruptor. Banyak koruptor yang menyelewengkan materi dalam jumlah yang tidak sedikit, namun hanya memperoleh hukuman tidak seberapa. Akibatnya, rakyat tidak lagi percaya pada proses hukum yang berlaku. Tidak jarang pula masyarakat lebih senang main hakim sendiri untuk menyelesaikan sebuah kasus. Hal tersebut sebenarnya merupakan salah satu tanda bahwa masyarakat Indonesia sudah tidak percaya dengan jalannya hukum, terutama dengan berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani kasus korupsi.[28]

2.   Upaya Yang Dapat Dilakukan Pemerintah Dalam Mengatasi Korupsi

           Menurut UUD 1945 Amandemen Pasal 1 ayat (3) : Indonesia ialah Negara Hukum. Sebagaimana layaknya suatu negara hukum, maka kepentingan masyarakat banyak harus mendapat perlindungan dari pemerintah, seperti tersebut dalam Alinea IV UUD 1945 Amandemen : ”...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ...” . Perlindungan tersebut selanjutnya merupakan hak-hak warga negara yang diatur dan dijabarkan dalam dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Warga negara berhak untuk hidup aman , damai, tenteram , terhindar dari berbagai tindak kejahatan. Bilamana terjadi tindak kejahatan, maka aparat penegak hukum harus segera bertindak sesuai kewenangan yang dimiliki. Dengan adanya tindakan oleh aparat penegak hukum, diharapkan kejahatan tidak semakin meluas. Bilamana penegakan hukum kurang baik seperti sekarang ini maka kejahatan semakin berkembang, korupsi semakin marak, kasus suap terjadi dimana-mana, penyalah gunaan narkotika, dan sebagainya hanya dapat dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan. Akhirnya, sebaik apapun peraturan perundang-undangan yang ada pada akhirnya tergantung pada aparat penegak hukumnya. [29]


Pentingnya Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi
 Melihat dampak korupsi yang demikian dahsyat, dan sangat merugikan masyarakat, maka diperlukan sebuah keseriusan dalam penegakan hukum guna pemebrantasan tindak pidana korupsi.  Berkaitan dengan penegakan hukum Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa Penegakan hokum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.[30] di sini berati bahwa penegak hokum dipercaya oleh masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang terkandung di dalam hukum. Namun demikian dalam penegakan hukum itu terdapat sisi yang penting yaitu peran serta masyarakat, yang kemudian disebut sebagai kontrol sosial.
Korupsi yang dilakukan dengan penggunaan kekuasaan pada intinya dilakukan karena
lemahnya kontrol sosial, atau lingkungan sosial yang membentuknya demikian, [31] terutama
lingkungan yang ada dalam kekuasaan yang sudah dihinggapi oleh tanggung jawab yang hilang. Jadi tak berlebihan jika James C. Scoot memiliki pendirian bahwa korupsi meliputi penyimpangan tingkah laku standar, yaitu melanggar atau bertentangan dengan hukum untuk memperkaya diri sendiri,30oleh karenanya diperlukan kontrol sosial.
Kontrol sosial menurut Ronny Hanitijo Soemitro, merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dan tingkah laku yang menyimpang serta akibatakibatnya, seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi. [32] bahkan menurutnya tingkah laku yang menyimpang tergantung pada kontrol sosial. Ini berarti, kontrol sosial menentukan tingkah laku bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang. Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial, maka semakin berat nilai  penyimpangan pelakunya.[33] jadi tindakan menyimpang tidak dibenarkan karena masyarakat secara umum merasa tindakan-tindakan tersebut tidak dapat diterima.[34] Sikap penolakan masyarakat terhadap perilaku menyimpang tersebut dapat dikualifisir sebagai kejahatan, di mana kejahatan tersebut merupakan hal yang tercela bagi masyarakat.
Oleh karena itu, menurut Emile Durkheim, kejahatan merupakan tindakan yang tidak disepakati secara umum oleh anggota masing-masing masyarakat. Suatu tindakan bersifat kejahatan ketika tindakan tersebut melanggar kesadaran bersama yang kuat dan terdefinisi.[35] Jadi dengan demikian menurut Emile Durkheim kejahatan merupakan hal yang disepakati oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Secara tegas Reiss mendefinisikan kontrol sosial sebagai kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.[36]
Berkenaan dengan kontrol sosial tersebut Soerjono Soekanto, menjelaskan bahwa, control sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan.[37]
Menurut Satjipto Rahardjo sendiri bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat, control sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. 37Bahkan di Malaysia, kontrol sosial tidak hanya dilakukan oleh lembaga yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat, hal tersebut di sampaikan oleh Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi, bahwa di Malaysia setiap warga harus menjadi pemantau atas korupsi di pemerintahan.[38] Hal tersebut menjadi wajar, karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan sosial dan yang paling dirugikan adalah masyarakat. Jadi agar tidak terjadi ketidaktertiban sosial diperlukan adanya aturan dalam rangka menanggulangi tindakan dan akibat jahat dari tindakan korupsi, yang pada hakikatnya dapat merusak kehidupan sosial, dan peraturan tersebut harus sesuai dengan aspirasi masyarakat pada umumnya.
Agar kontrol sosial terlembagakan dalam sistem perundang-undangan dan sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat, maka Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah merumuskan mengenai peran serta masyarakat, hal mana ditegaskan dalam :
Pasal 41
(1) Masyarakat dapat berpran serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a.    hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b.   hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c.    hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hokum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d.   hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
e.    hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1.  melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.b,dan c;
2. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebaga saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku;
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
(4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42 :
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai amanat Pasal 41 Ayat (5) dan Pasal 42 ayat (2) sebagaimana diuraikan di atas, maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, di mana dalam Pasal 7 ditegaskan bahwa : setiap orang, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, yang telah berjasa dalam usaha pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi, berhak mendapat penghargaan. Bentuk penghargaan ini berupa piagam dan premi yang besarnya 2 per mil dari kekayaan Negara yang dikembalikan.[39]
Namun Peraturan Pemerintah di atas, sampai saat ini belum memberikan manifestasinya, malahan banyak penegak hukum dari kejaksaan yang menyatakan tidak tahu adanya Peraturan Pemerintah tersebut. Ini merupakan probem tersendiri bagi upaya pencegahan tindak pidana korupsidengan melibatkan rakyat.
Ketika negara terlalu berpihak dan menguntungkan koruptor, timbul spirit dan gagasan baru dari masyarakat sendiri untuk ”menghukum” pelaku korupsi. Sebagian besar publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi koruptor, meski dinilai belum tentu efektif. Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik institusi, yaitu ”perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.
 Catatan Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan, hingga Agustus 2012 sebanyak 71 terdakwa korupsi melenggang bebas di pengadilan tindak pidana korupsi. Kalaupun dihukum, mayoritas vonis hukuman bagi koruptor 1-2 tahun. Dengan demikian, cukup mudah bagi para koruptor melewati ”masa penderitaan” ketimbang pelaku kriminal biasa yang bisa mencapai beberapa kali lipat masa hukumannya. Tiga dari empat responden jajak pendapat melihat kadar vonis yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi masih terlalu ringan dan dinilai tidak memberikan efek jera. Tidak heran, sinisme terhadap upaya pemberantasan korupsi tercermin kuat dari jajak pendapat kali ini. Hampir seluruh responden (89,9 persen) yang dihubungi di berbagai kota mengungkapkan ketidakpuasan akan situasi pemidanaan pelaku korupsi saat ini. Pukulan telak bagi proses wacana dan gerakan pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa atau narapidana justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik. Peristiwa paling baru adalah pengangkatan Azirwan yang pernah dipidana 2,5 tahun penjara dalam kasus suap sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Pemerintah berpedoman pada argumen ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak diberhentikan. Dari sisi aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi undang-undang.
Namun, dari aspek moral dan etika, promosi ini dipandang tidak patut. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada etika politik. Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral. Aspek tanggung jawab dan kewajiban berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat menjadi pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan jujur dan mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif, tengok pula pedoman umum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya menjadi pedoman para penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat antikorupsi.
Promosi jabatan bagi Azirwan tak pelak menjadi pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dan konsistensi sistem hukum dalam upaya pembersihan korupsi di negeri ini. Hebatnya lagi, Azirwan bukanlah satu-satunya contoh bagaimana koruptor masih mendapatkan ruang gerak di negeri ini. Dalam dua tahun terakhir sedikitnya terdapat enam pejabat publik yang tetap dilantik meski terjerat kasus korupsi. Sejak disuarakan saat reformasi, publik terus menanti kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah menggerogoti moralitas bangsa. Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih berjarak dengan kondisi realitas sesungguhnya. Karena itu, tak heran bahwa publik melihat kini saatnya mekanisme ”hukuman sosial” diterapkan bagi koruptor. Sejauh ini hukuman sosial yang dimaksudkan adalah bentuk hukuman yang lebih bersifat sanksi di luar proses hukum positif. Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal sistem peradilan.
Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial menjadi salah satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus korupsi. Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling banyak disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media massa, seperti televisi atau koran. Nyaris seluruh responden (92,8 persen) menyetujui bentuk hukuman tersebut. Bentuk berikutnya adalah mengajak masyarakat untuk tidak memilih pejabat korup dalam semua kontestasi politik. Terhadap bentuk itu, sebanyak 82,3 persen responden menyetujui. Bentuk ketiga paling ekstrem, yaitu mengucilkan dari pergaulan masyarakat, cenderung kurang disetujui. Dibanding hukuman badan (penjara), hukuman sosial memang kurang dinilai efektif meredam aksi korupsi. Bagian terbesar publik jajak pendapat ini tetap melihat perlunya pengenaan hukuman badan yang lebih tegas ketimbang sekadar pengenaan hukuman sosial. Meski demikian, bercermin dari lemahnya aturan dan sistem hukum, sepertiga bagian responden menegaskan perlunya kedua mekanisme itu diterapkan bersamaan. Penerapan hukuman sosial oleh masyarakat memang bisa dimaknai sebagai sebuah ”perlawanan publik” atas rasa putus asa publik terhadap kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku korupsi.
Lebih jauh, korupsi dan berbagai penyimpangan etika dalam konteks politik bisa membahayakan perjalanan demokrasi karena menimbulkan krisis kepercayaan terhadap parlemen, bahkan negara. Hukuman sosial bagi koruptor, menurut pengamat politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan arti ”dipenjara” secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah dahsyat dibanding hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang terbukti korup bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi kepala daerah dalam kurun tahun tertentu (Kompas, 24/8). Selain rasa tidak puas, minornya pemberantasan korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku korupsi menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya sendiri. Selama ini, penyelenggara negara dinilai terlalu permisif terhadap pelaku korupsi. Menilik fakta yang terjadi, aturan hukum dan komitmen aparatnya menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk kembali menduduki posisinya. Pengangkatan mantan narapidana korupsi dan sejumlah kebijakan permisif terkait praktik korupsi bisa mengikis moralitas bangsa. Etika dan moralitas politik bukan lagi menjadi pedoman utama dalam kehidupan bernegara. Tidak hanya korupsi, tetapi juga berbagai polah tingkah politisi dan pejabat publik yang dinilai mulai menanggalkan etika dalam berpolitik. Mayoritas responden menilai perlu larangan tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi PNS. Larangan tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi pejabat publik itu dimaksudkan agar muncul kepastian hukum untuk membangun moralitas politik yang lebih baik.







BAB.III
PENUTUP

1.   KESIMPULAN
Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya. Korupsi selalu bermuladan berkembang di sector public dengan bukti-bukti yang nyata bahwa dengan kekuasaan itulah pejabat public dapat menekan atau memeras para pencari keadilan atau mereka yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah. Korupsi di Indonesia sudah tergolong kejahatan yang merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluhlantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik dan tatanan hokum dan keamanan nasional Upaya pemberantasan kejahatan korupsi melalui penegakan hukum yang berkeadilan saat ini tampak masih memerlukan perjuangan berat. Karena kejahatan korupsi merupakain kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang berbeda dari kejahatan pidana biasa, maka upaya yang harus dilakukan memerlukan sistem yang terpadu dan luar biasa pula.
Sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) pemberantasan korupsi, memerlukan kemaun politik luar biasa sehingga Presiden sebagai kepala Negara menjadi figur penting dalam menggerakan dan mengordinasikan peran Polisi, Jaksa, Pengadilan, dan KPK menjadi kekuatan dahsyat, sehingga praktek KKN, seperti penyogokan, penggelembungan harga, gratifikasi, dan penyalah gunaan kewenangan lainnya dilakukan oknum aparat PNS dan/atau pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah dapat dipersempit ruang geraknya melalui cara-cara penegakan luar biasa dan terpadu.
Dampak korupsi demikian besar, sehingga mampu mengurangi kualitas kesejahteraan
masyarakat, tingginya kerugian Negara akibat korupsi akan berdampak pada kewajiban Negara dalam memberikan hak kesejahteraan. Jadi rakyat atau masyarakatlah yang akan menjadi korban. Untuk itulah peran serta masyarakat dalam pencegahan tindak pidna korupsi sangat dibutuhkan dan memiliki peran yang sangat penting sebagai bentuk dari kontrol sosial, tingginya kontrol sosial akan mampu mempersempit ruang gerak bagi korupsi dan memperlebar ruang bagi anti korupsi Agar tingkat pertumbuhan korupsi dapat terus ditekan, maka uapaya mendorong kesadaran masyarakat dalam pencegahan tindak pidana korupsi perlu terus diupayakan, salah  satunya adalah pemberian penghargaan pada masyarakat bagi pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai mana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, harus diwujudkan secara nyata.

2.   SARAN
1.      Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini. Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil.
2.      Perlu dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di Indonesia agar mendapat informasi yang lebih akurat. 
3.      Untuk mengantisipasi meledaknya kasus korupsi, kita harus memberi hukuman yang lebih berat kepada pelaku agar mereka tidak berani lagi untuk mengulangi perbuatannya, apabila pelaku mengulangi perbuatan tersebut untuk kedua kalinya saya berpikir lebih baik dihukum mati karena perbuatan korupsi dapat menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat banyak.
4.      Diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari.























DAFTAR PUSTAKA

http://jurnalilmiahtp2013.blogspot.com/2013/12/pidana-korupsi-di-indonesia.html
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun/article/viewFile/6037/4975
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=127938&val=538&title=PEMBERANTASAN%20KORUPSI%20SEBAGAI%20UPAYA%20PENEGAKAN%20HUKUM
http://radenwedi.blogspot.com/2016/05/makalahkorupsi-di-indonesia-matakuliah.html
http://blogsimpleuntukpelajar.blogspot.com/2013/03/makalah-tentang-korupsi.html
http://yopinovanda.blogspot.com/2014/05/makalah-korupsi-dan-solusi-pemecahannya.html

Adnan Buyung Nasution, 2004, Pergulatan Tanpa Henti, Pahit Getir Merintis Demokrasi, Aksara
Karunia, Jakarta.
Ahmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indinesia, Bogor.
Amidhan, 2006, Catatan Akhir Tahun 2006 Tentang Pelindungan dan Pemenuhan Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, Komnas HAM, Jakarta.
Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika,
Jakarta.
Asep Rahmat Fajar, 2008, “Pembaharuan Kejaksaan: Keharusan di Tengah Berbagai
Permasalahan”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “strategi Peningkatan
Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia di Undip Semarang, tanggal 29 Nopember.
Azhar, 2009, “Peranan Biro Anti Korupsi dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di Brunei
Darusalam”, Jurnal Litigasi Vol. 10.
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan,Jakarta, Kencana.
D. Schaffmeister et.all,1995, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
Hans-Otto Sano, et.al., 2003, Hak Asasi Manusia dan Good Governance, DepKumHam, Jakarta.
Harkristuti Harkrisnowo, 2002, “Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia”, Jurnal Dictum
LeIP Edisi I.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Melalui Peran Serta Masyarakat
No. 64, Th. XVI (Desember, 2014). Ridwan
398
Hendarman Supandji, 2009, "Peningkatan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Pelaksanaan
Tugas Kejaksaan”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum di Undip Semarang, tanggal
27 Februari.
Indriyanto Seno Adji, 2006, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit
Media, Jakarta.
Kamri Ahmad, 2005 “Membangun Visi Baru Pemberantasan Korupsi dengan Progresif”, Jurnal
Progresif, Vol. 1, No. 2.
Komariah Emong Sapardjaja, 2003 Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung.
Muhtar Lubis & C. Scott, James.1995, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta.
R. Diyatmiko Soemodihardjo, 2008, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati
Dinamikanya di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
Ridwan, 2009, ”Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Melalui Pendekatan Ekonomi Kerakyatan di
Kabupaten Serang” Majalah Dinamika, Vol. 34, No. 4.
Robert Klitgaard, dkk, 2005, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju,
Bandung.
_____, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana, Jakarta.
_____, 2005, Teori dan Kapita Slekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung.
Ronny Rahman Nitibaskara, 2005, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Kompas, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2004, Ilmu Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
_____, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_____, 2009, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta.
Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Sutiksno, 2002, Filsafat Hukum (bagian 1), Pradnya Paramita, Jakarta.
_____, 2003, Filsafat Hukum (bagian 2), Pradnya Paramita, Jakarta.
Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, 2003. Kriminologi, RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Yudi Kristiana, 2008, “Pendekatan Kritis Terhadap RealitasKinerja Kejaksaan”, Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan
Republik Indonesia di Undip Semarang, tanggal 29 Nopember.
Undang-undang
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


[1] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1977, hlm. 102.
[2] Harkristuti Harkrisnowo, “Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia”, Jurnal Dictum LeIP, Edisi I, Jakarta, Lentera Hati, 2002, hlm. 67.
[3] Marella Buckley, dalam Hans Otto Sano, et.al.,Hak Asasi Manusia dan Good Governance, Membangun Suatu Ketertiban, (alih bahasa oleh Rini Adriati), Jakarta, DepKumHam, 2003, hlm. 157.
[4] [http://jurnalilmiahtp2013.blogspot.com/2013/12/pidana-korupsi-di-indonesia.html]
[5][http://download.portalgaruda.org/article.php?article=127938&val=538&title=PEMBERANTASAN%20KORUPSI%20SEBAGAI%20UPAYA%20PENEGAKAN%20HUKUM]
[6] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm. 17.
[7] Ibid. hlm. 19
[8] D.Schaffmeister, et.al (diterjemahkan oleh J.E.Sahetapy), Hukum Pidana, Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm. 39.
[9] Ibid. hlm.40
[10] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung , Alumni, 2002, hlm. 6
[11] Robert Klitgaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, (alih bahasa oleh Masri Maris), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 1-2.
[12] R. Diyatmiko Soemodihardjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati Dinamikanya di Indonesia, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2008, hlm. 3
[13] Amidhan, Catatan Akhir Tahun 2006 Tentang Pelindungan dan Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta, Komnas HAM, 2006, hlm. 6.
[14] Azhar, Peranan Biro Anti Korupsi dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di Brunei Darusalam, Jurnal Litigasi Volume 10, Bandung, FH. Unpas, 2009, hlm. 160.
[15] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta, Kencana, 2003, hlm. 53, bandingkan juga pendapat Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm. 1, yang menyatakan bahwa korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang peningkatannya ditunjang oleh kemajuan kemakmuran dan teknologi, semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkatnya kebutuhan dapat mendorong orang melakukan korupsi.
[16] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung, Mandar Maju, 1995, hlm. 50.
[17] Ridwan,”Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Melalui Pendekatan Ekonomi Kerakyatan di Kabupaten Serang” Majalah Dinamika, Vol.34 No.4, 2009, hlm. 32
[18] Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta, Kompas, 2005, hlm. 5
[19] Hendarman Supandji, "Peningkatan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Pelaksanaan Tugas Kejaksaan”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum di Undip Semarang, tanggal 27 Februari 2009, hlm. 1
[20] Yudi Kristina, “Pendekatan Kritis Terhadap Realitas Kinerja Kejaksaan”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia di Undip Semarang, tanggal 29 Nopember 2008, hlm. 1
[21] Asep Rahmat Fajar, ”Pembaharuan Kejaksaan : Keharusan di Tengah Berbagai Permasalahan”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia di Undip Semarang, tanggal 29 Nopember 2008, hlm.6
[22] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Surakarta, Muhammadiyah Unversity Press, 2004, hlm. 4.
[23] Sutiksno, Filsafat Hukum (bagian1), Jakarta, Pradnya Paramita, 2002, hlm. 2.
[24] Sutiksno, Filsafat Hukum (bagian1), Jakarta, Pradnya Paramita, 2003, hlm. 60
[25] Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm. 83.
[26] Sutiksno, op.cit. hlm. 19.
[27] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (cetakan keenam), Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 19.
[28] [https://guruppkn.com/dampak-korupsi-bagi-negara]
[29][http://download.portalgaruda.org/article.php?article=127938&val=538&title=PEMBERANTASAN%20KORUPSI%20SEBAGAI%20UPAYA%20PENEGAKAN%20HUKUM/ hal-7]
[30] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 23.
[31] Topo Santoso dan Eva Achzani Zulfa, Kriminologi, Jakarta, RadjaGrafindo Persada, 2003, hlm. 58 yang menyebutkan bahwa teori kontrol sosial mendasarkan asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia
[32] Azhar, op.cit. hlm.161.
[33] Ibid.
[34] Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2007, hlm. 24
[35] Ibid
[36] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, Refika Aditama,2005, hlm. 43.
[37] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm. 119.
[38] Kamri Ahmad, “Membangun Visi Baru Pemberantasan Korupsi dengan Progresif” Jurnal Progresif, Vol.1 No.2 hlm.131.
[39] Ronny Rahman Nitibaskara, op.cit. hlm. 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar